49. Anger

1.6K 148 57
                                    

Marshell sedang membaca beberapa berkas kasus yang harus ia tangani besok. Dia sengaja membawa berkas itu ke rumah agar besok bisa langsung memprosesnya. Selain itu, Marshell juga butuh banyak hal untuk bisa mengalihkan perasaannya. Terutama ketika dia mengingat tentang Meisya yang sampai saat ini masih menjauhinya. Semua pesan Marshell tak ada yang di balas. Dan teleponnya juga selalu di tolak. Bahkan saat Marshell menunggu di depan gedung agenci-nya, Meisya seolah tak melihatnya.

Meisya ini seorang model. Dan awal pertemuan mereka itu saat Meisya terlibat perkelahian dengan salah satu rivalnya di dunia modeling. Kebetulan, Meisya butuh pengacara waktu itu. Dan Rio meminta tolong padanya yang kebetulan saat itu Marshell masih menjadi pengacara dan belum menjadi Jaksa.

TOK TOK

"Marshell!"

Marshell menoleh ke arah pintu kamarnya. Suara Rina terdengar dari sana. Membuatnya mengernyit heran karena tidak biasanya Rina mendatangi kamarnya.

"Udah tidur belum?" Seru Rina lagi dari luar.

"Bentar, ma." Marshell merapikan semua berkasnya di dalam map. Lalu berjalan menuju pintu dan membukanya.

"Kenapa, ma?"

Rina tersenyum sebentar lalu masuk ke dalam. Kemudian meletakkan secangkir teh dan roti bakar isi selai nanas kesukaan Marshell.

"Duduk sini." Pinta Rina menepuk tepi kasur agar Marshell duduk di sebelahnya.

"Kenapa sih, ma?" Marshell benar-benar heran melihat tingkah mamanya. Namun Marshell tetap mematuhi perintah Rina.

Rina menatap putranya dengan seksama lalu menunduk dan meraih kedua tangan Marshell. Rina menangkup tangan besar milik anaknya itu kemudian di usapnya dengan lembut.

"Udah lama mama nggak pegang tangan kamu gini." Gumam Rina teringat dulu sering sekali meraih tangan Marshell saat mereka ada waktu luang untuk duduk dan ngobrol bersama.

"Marshell terlalu sibuk ya, ma?" tersenyum tipis. Hatinya menghangat merasakan sentuhan lembut dari Rina. Terlebih dalam kondisi hatinya yang seperti ini. Berantakan.

"Iya. Anak mama udah bukan anak kecil atau remaja lagi." Kata Rina seraya mencubit pipi Marshell yang tak segembil saat anak laki-lakinya ini masih berumur lima tahun. Rasanya, waktu begitu cepat berlalu.

"Tapi kamu tetap anak mama." Lanjut Rina menyendu.

Marshell terkekeh saja. "Marshell baik-baik aja, ma." Berusaha menenangkan Rina yang kini terlihat mengkhawatirkan dirinya.

"Hati seorang mama nggak pernah salah mengenai anaknya, sayang. Mama bisa rasain gimana perasaan kamu sekarang. Mata kamu itu kayak papa, yang nggak akan bisa bohongin mama."

Marshell tersenyum tipis lalu mengubah posisinya menjadi tidur. Merebahkan kepalanya di paha sang mama yang sekarang membelai lembut rambutnya. Untuk saat ini saja, Marshell ingin menjadi anak kecilnya mama.

"Mama pikir, Meisya akan bawa dampak buruk buat kamu. Makanya, mama melarang keras hubunganmu sama dia." Rina menghela sebentar. Tidak menyangka dia bisa mengatakan hal ini.

"Tapi ternyata justru anak mama yang memberi dampak buruk buat wanita yang selama ini mama anggap buruk."

"Maaf, ma."

Rina mengangguk. "Iya. Kamu emang harus minta maaf. Nggak ada alasan apapun yang membenarkan soal perselingkuhan." Tegas Rina. Meski dia ini seorang ibu. Tapi Rina tetap perempuan yang perasaannya jadi sensitif jika membahas topik itu.

"Tapi berhubung kamu anak mama. Mama mau denger kenapa kamu bisa sampai duain Meisya. Padahal, setahu mama kamu sayang banget sama dia."

"Hm, Marshell nggak tahu ini sebenernya gimana, ma. Marshell emang sering jalan sama Bella. Dia asisten Marshell dan kita sering keluar buat nyelidiki beberapa kasus di TKP. Marshell nyaman sama dia, dan dia juga nyaman sama Marshell. Tapi kita cuma partner yang saling butuh teman buat ngobrol aja."

MARIOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang