15. Truth or Dare

2.2K 175 67
                                    

Keesokan harinya, saat bangun, Ify minta di antar pulang oleh Rio karena kangen dengan bunda. Dan Rio, tentu saja menuruti permintaan kekasihnya itu. Tentu dengan catatan Ify harus sarapan terlebih dahulu dan minum obat. Keadaan Ify sekarang sudah jauh lebih baik dari semalam. Rio menelpon Alvin sekitar jam sepuluh malam karena demam Ify masih tinggi dan gadisnya itu bahkan melirih.

Rio menyebutkan semua keluhan yang Ify rasakan sehingga Alvin langsung menyiapkan beberapa obat yang harus di bawanya untuk Ify. Dan alhamdulillah setelah mendapat obat dari Alvin, panas Ify turun, meski gadis itu masih mengeluh pusing juga mulutnya yang terasa pahit. Wajahnya yang sudah tidak lagi panas, justru tampak sedikit pucat. Kata Alvin, Ify sakit gejala tipes. Baru gejala, belum sampai tahap benar-benar jika Ify tengah sakit tipes. Karena jika itu terjadi, Ify harus menjalani pemeriksaan di rumah sakit. Dan Rio bisa sedikit bernafas lega, saat mendengar penjelasan Alvin semalam.

"Kamu ini, sakit bukannya pulang malah ke tempat Rio." Omel bunda pada Ify yang terbaring di tempat tidurnya. Rio tadi langsung pamit pulang setelah menggendong Ify ke dalam kamarnya. Untung saja, Ify tidak merajuk minta di temani, karena dia harus benar-benar berangkat ke kantor.

"Kasihan, kan. Rio pasti nggak bisa tidur semalaman gara-gara jagain kamu." Meski ngomel tapi bunda tidak berhenti memijat kaki Ify yang katanya masih terasa pegal dan ngilu. Sementara Ify tak ada keinginan untuk membantah ataupun menyahut. Kepalanya masih terasa lumayan berat. Dan badannya juga lemas, jadi tak ada tenaga untuk Ify menanggapi omelan bunda.

"Kamu itu kalau lagi sakit kan manjanya kebangetan. Udah gitu, suka drama lagi pake bilang mau meninggal segala."

Ify tersenyum lemah mendengar itu. "Ya abis, badan Ify rasanya bener-bener sakit semua, bunda. Bukan pertama kali, tapi tetep Ify nggak kuat rasainnya. Kepala Ify kayak ada yang neken terus di pukul kenceng banget. Kaki Ify apalagi rasanya pegel sama ngilu banget."

Sebenarnya, memang ini bukan pertama kali Ify sakit. Dulu waktu dia SMP malah sering. Hampir setiap sebulan sekali, Ify sakit dengan kondisi yang sama. Hanya saja, saat SMA daya tahan tubuh Ify jadi lebih kuat. Mungkin karena Ify mensugesti dirinya agar tidak bersikap manja lagi setelah kepergian ayah.

"Makanya olah raga, biar sehat, kalau pagi berjemur, jalan-jalan kalau pagi kan udaranya seger. Biar nggak gampang sakit lagi. Jangan bantuin kerjaan bunda terus! Bunda itu masih kuat buat urus rumah ini sendiri."

"Kok bunda malah ngomong gitu, sih." Ify langsung berusaha untuk duduk. Melawan rasa pusingnya saat melihat bunda malah menangis sambil terus memijit kakinya.

"Tuh kan, bunda nangis. Ini kenapa Ify milih nggak pulang kemarin." Ify tidak pernah kuat menahan air matanya jika melihat bunda menangis seperti ini. Terlebih karena dirinya.

"Bundaa jangan nangis dong, jangan sedih. Ify nggak apa-apa kok beneran." Isak Ify tanpa berusaha menahan tangisnya. Bergerak maju seraya memeluk tubuh bunda yang bergetar.

"Maafin bunda ya, nak. Semenjak ayah nggak ada, bunda jadi sering ngrepotin kamu sama kakak. Bunda terpaksa nggak memperkerjakan orang karena keadaan ekonomi kita saat ayah pergi. Kakak kamu masih kuliah, bunda nggak kerja, sementara pemasukan kita cuma dari tabungan dan uang pensiunan ayah. Untungnya, sebelum ayah meninggal, ayah udah ada tabungan buat uang sekolah kalian. Bunda ngerasa nggak berguna sama sekali buat kalian."

Air mata Ify semakin mengalir deras. Sumpah, hati Ify paling lemah jika bunda sudah menangis seperti ini. Rasanya Ify ingin menukar semua kebahagiaan yang ia punya untuk membuat bunda tersenyum. "Ih bunda ngomong apa sih? Jangan minta maaf dong, bunda nggak salah apa-apa juga. Bunda itu udah ngelakuin segalanya buat Ify sama kakak."

"Bunda ngerasa belum bisa ngerawat kalian dengan baik."

"Enak aja!" Ify melepas pelukannya lantas menatap bunda seraya menghapus air mata di wajah bunda.

MARIOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang