22. Refrain

2.1K 172 46
                                    

Semua kembali normal dan memulai aktifitas seperti biasa. Melanjutkan hidup yang masih tersisa sambil belajar ikhlas dan berusaha menjadi diri yang lebih baik. Ify sudah merasa lebih baik sekarang. Emosi tentang kesedihannya secara perlahan dapat ia atasi ketika melihat semua orang yang menginap dirumahnya beberapa hari yang lalu begitu menyayanginya. Itu membuat Ify berpikir, tak ada waktu baginya untuk terus mengeluh.

"Dek."

Ify mendongak sambil mengunyah nasi goreng buatannya. Tadi pagi, seusai salat  subuh, Ify langsung menuju ke dapur dan mendapati sang kakak tampak bingung di sana. Gabriel menggaruk kepala sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling dapur. Mencari sesuatu tapi tak tahu apa yang di carinya. Membuat Ify terkekeh karena Gabriel pasti sedang ingin memasak sesuatu tapi tak tahu mau masak apa.

Ify lantas memutuskan untuk memasak nasi goreng. Karena masih ada sisa nasi semalam yang ia simpan di dalam kulkas.

"Kenapa, kak?"

"Kak Gab nanti sore mesti keluar kota lagi buat dinas."

"Kok dinas lagi sih kak?" Ify tampak tak rela di tinggal pergi. Lagipula, nanti dia tinggal sama siapa kalau Gabriel pergi?

"Biasa dek karyawan baru emang harus gitu. Lumayan sih karena kalau kakak berhasil nyelesein kerjaan ini, kakak bisa di angkat jadi karyawan tetap. Syukur-syukur naik jabatan."

Mendengar penjelasan Gabriel membuat Ify tidak tega jika harus merajuk agar sang kakak tidak pergi. Oh ya, ngomong-ngomong kenapa panggilan mereka jadi lebih kalem gini?

"Ya udah deh. Kak Gab yang semangat aja kerjanya kalau gitu. Nanti Ify juga keknya mau cari kerjaan deh. Hari ini terakhir Ify ngajar soalnya mereka udah ketemu sama guru yang cocok."

"Nggak usah dek. Lagian sebentar lagi mau nikah sama Rio, kan?"

Ah ya, Rio. Ify hampir lupa dengan pemuda itu. Padahal, setelah Ify menangis di pangkuan Rio sambil keduanya berpelukan, Ify kembali bersikap dingin dan enggan untuk bicara pada pemuda itu lagi. Hari ini juga tepat tiga hari berlalu sejak tujuh hari kematian bunda. Dan selama tiga hari itu, Rio sering datang ke rumah setelah pulang dari kantor. Selama itu pula, Ify tidak mengajak bicara atau menunjukkan ekspresi wajahnya yang mulai melunak. Ify bahkan hanya berdiam diri di kamar dan membiarkan Rio duduk di ruang santai sampai Gabriel pulang, baru Rio mengetuk pintu kamarnya untuk pamit.

"Ya kan belum, kak. Kali aja kita nggak jadi nikah." Sahut Ify asal. Kemudian dengan santai menyuap lagi nasi gorengnya. Ify berusaha mengabaikan Gabriel yang langsung berhenti menyuap nasi gorengnya dan beralih menatapnya serius.

"Rio nyakitin kamu, ya?" Tanya Gabriel menebak.

"Nggak kok." Jawab Ify sambil tersenyum yang terlihat sekali di paksakan.

Gabriel meletakkan sendok dan gapurnya di atas piring. Lalu menekuk kedua tangannya di atas meja. Menyalin sepuluh jarinya menjadi satu untuk ia jadikan sebagai sandaran dagunya. Gerakan pelan itu Gabriel lakukan dengan kedua matanya tak lepas dari gerakan bola mata Ify yang terlihat gelisah.

"Jangan bohong, dek. Kaka tahu kamu." Katanya pelan. Namun terdengar cukup tegas seakan Ify tak bisa membantah.

"Kamu nggak mungkin marah sama Rio sampai berhari-hari kalau dia nggak bikin kamu terluka. Dia nyakitin kamu gimana?" Tanya Gabriel lagi dan lebih menuntut.

Ify menghela. Berpura-pura baik di depan Gabriel memang tidak akan berhasil. Karena sang kakak memang sangat tahu bagaimana dirinya. "Ada masalah. Tapi kakak tenang aja. Ify masih bisa handle sendiri kok."

"Ya udah." Gabriel memilih mengalah dan melanjutkan makannya. "Masalah emang harus di bicarain. Jangan ngeihindar terus. Oh ya, nanti sore Rio jemput kamu. Kakak pergi, dan nggak mungkin biarin kamu tinggal di rumah sendiri. Jadi, kamu bisa sekalian bicarain masalah yang mau di bahas."

MARIOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang