47. MARIO 2

928 103 151
                                    

Gabriel baru bisa bernafas lega ketika mengetahui keadaan kandungan Ify baik-baik saja. Ternyata dia hanya kram, dan itu hal wajar di alami Ify pada usia kandungannya saat ini. Dia terkekeh pelan melihat wajah cemberut adiknya. Ify sepertinya malu pada dokter kandungannya tadi. Mereka saat ini sudah ada di dalam mobil dalam perjalanan pulang. Mobil Rio dan juga di kendarai oleh sopir Rio, tentu saja.

"Kakak nggak tahu, dek. Kakak juga panik tadi lihat kamu kesakitan."

Ify hanya menghela. Bukan salah Gabriel sebenarnya. Tapi Ify juga kesulitan menjelaskan pada Gabriel jika sakit di perutnya bukanlah hal besar. Dan Ify masih bisa mengatasi rasa sakit itu. Karena rasa sakit di hati Ify lebih berat untuk di tanggungnya saat ini. Terlebih, dalam keadaan perutnya yang seperti tadi, hal pertama yang terlintas dalam benak Ify ada suaminya. Ify hanya perlu minta Rio mengusap perutnya maka semua akan baik-baik saja.

"Kenapa?" Gabriel menyadari raut kesedihan tergambar jelas di wajah Ify. Tanpa Gabriel sadari, sikapnya ini justru semakin melemahkan hati Ify.

"Sst. Jangan mikir apa-apa dulu." Gabriel menarik Ify dalam pelukannya. Dia usap bahu mungil adiknya yang kini sedikit bergetar.

'Kak.' Batin Ify memanggil di tengah isakan kecilnya.

"Nangis nggak apa-apa asal itu bisa buat perasaan kamu lebih baik." Terang Gabriel merasakan tangan Ify mencengkeram kuat bajunya. Menandakan bahwa Ify tengah berusaha menumpahkan rasanya sesaknya.

'Ify kangen mas Rio, kak. Tapi, Ify nggak mau ketemu mas Rio. Jadi, rasanya sakit banget di sini.' Seberapapun Ify berusaha untuk kuat, rasanya tetap saja berat. Kebiasaannya yang selalu di manja Rio tidak akan mudah di gantikan oleh apapun. Tidak akan  bisa di gantikan oleh siapapun. Tidak satupun ada yang bisa menggantikan sosok Rio dalam hidupnya. Kenyataan ini berat, sangat berat.

"Assalamu'alaikum, ma."

Ify langsung berusaha menghentikan tangisannya. Dia mendongak saat mendengar Gabriel yang tengah menjawab telepon dari Rina.

"Mama denger Ify di bawa ke rumah sakit? Gimana keadaannya? Mama sama papa mau ke sana sekarang."

"Nggak apa-apa, ma. Ify baik-baik aja kok. Dia cuma kram tadi. Kita juga sedang dalam perjalanan pulang."

Terdengar helaan panjang di seberang. "Alhamduillah ya Allah. Mama takut banget Ify kenapa-kenapa tadi."

"Mama tenang aja. Aku bakal jagain Ify. Jangan nangis terus ma." Pinta Gabriel melembutkan suaranya. Hatinya terusik mendengar suara isakan Rina yang berusaha keras di tahan.

"Nggak bisa, nak. Nggak mungkin mama bisa tenang sekarang. Rio bahkan nggak mau keluar kamar dari semalem."

Gabriel menatap Ify yang kini terlihat penasaran mengenai apa yang dia bicarakan dengan Rina. Gabriel lantas menarik kepala Ify lagi lalu di sandarkan di dadanya. Meminta agar Ify untuk tidak memikirkan apapun lagi saat ini.

"Nanti coba Gab bicara sama Rio, ma."

Terdengar Rina menangis lagi. "Mama bakal makasih banget kalau kamu mau lakuin itu, nak. Mama nggak tahu harus gimana ngadepin Rio sekarang. Tapi mama juga nggak bisa maksa Ify buat lupain semuanya."

Gabriel menundukkan pandangannya sejenak. Seraya mengusap pelan kepala Ify dengan satu tangan yang sejak tadi merangkul bahu adiknya. "Sebenernya apa yang terjadi ma? Gabriel masih nggak ngerti. Ify juga nggak cerita apa-apa sama Gabriel."

"Nanti malam Ella sama Vian biar ke sana. Kamu ke sini, mama sama papa akan jelasin semua."

"Iya, ma."

MARIOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang