Terdengar suara pintu ruangannya di buka, Rio lantas mendongak siapa yang kali ini datang. Biasanya, jika bukan lewat perantara Fatma pasti orang rumah atau kalau tidak kekasihnya. Tapi mengingat saat ini masih jam sekolah dan juga gadis itu marah padanya, tidak mungkin kan itu Ify?
"Eh, pa?" Rio sedikit terkejut mengetahui sang papa datang ke ruangannya sendiri.
"Mukamu kenapa kecewa gitu?" Kekeh Marvin yang baru saja menutup pintu, "Berharap siapa tadi?" Lanjutnya tersenyum menggoda.
Rio tersenyum tipis seraya mengusap tengkuknya. Tingkah yang memang selalu Rio lakukan di landa kebingungan menjawab. "Nggak pa."
Marvin hanya menggeleng sambil tertawa kecil.
"Duduk." Titah Marvin seraya meletakkan sebuah map berwarna biru di meja kerja Rio. Pria paruh baya itu kemudian duduk menatap sang putra.
"Itu proyek baru yang harus kamu kerjakan. Lokasinya sudah di tentukan, kamu hanya perlu mencari arsitek yang cukup handal untuk bisa di ajak kerja sama. Soal investor, bisa sambil berjalan dan papa akan bantu. Pelan-pelan aja sambil belajar." Terang Marvin, mengingat putranya memang masih membutuhkan banyak bimbingan sebelum nanti bertugas menggantikan posisinya.
"Oke, pa. Rio akan pelajari dulu konsepnya."
Marvin mengangguk seadanya. "Oh ya, papa denger kalau kemarin kamu menolak kerja sama dengan Anton."
Rio mengangguk tanpa ragu. Tanpa adanya rasa takut jika papa akan memarahinya karena sudah menolak bekerja sama dengan pemilik perusahaan furniture yang cukup besar itu.
"Iya pa, benar."
"Kenapa?"
Ini yang Rio suka dari papanya. Selalu bertanya terlebih dahulu tanpa langsung menghakimi keputusannya yang mungkin sedikit gegabah. Ya, akan banyak keuntungan untuk perusahannya jika Rio menyetujui kerja sama itu. Dan mungkin, jika bukan papanya, Rio pasti akan langsung mendapat makian dengan alasan tidak pintar dalam mengambil keputusan.
"Karena Rio nggak bisa memberi harapan pada pak Anton, pa."
Marvin mengernyit, "Harapan?"
"Iya, pa. Pak Anton meminta Rio untuk mau mengenal lebih dekat dengan putrinya. Dan Rio, nggak bisa melakukan itu."
Marvin terkekeh mendengar jawaban putranya. "Oh jadi karena itu, Anton mau menyetujui kerja sama yang kita ajukan? Putrinya tertarik padamu, betul?"
Rio mengangguk santai. "Sepertinya."
"Papa pernah denger, kalau putri Anton itu cantik sekali. Kenapa kamu nggak coba, siapa tahu aja cocok."
Rio menggeleng pelan. "Rio nggak suka sama hubungan yang terlibat dalam bisnis. Dan alasan kenapa Rio menolak, tentu papa sudah tahu jelas akan hal itu."
Marvin tertawa kecil melihat putranya yang jarang kesal, kini tampak sewot. "Iya-iya, papa hanya bercanda." Pembawaan Marvin memang sedikit santai. Beda sekali dengan Rio yang super kaku.
"Ify, bukan? Gify Anastasya?" Sebenarnya Marvin sudah beberapa kali bertemu dengan Ify. Di rumah tentu saja, ketika istrinya itu meminta Rio untuk datang ke rumah, dia pasti mengajak Ify.
"Iya, pa."
"Yakin dengan keputusanmu?"
Rio mengangguk. "Yakin, pa." Jawaban tegas itu membuat Marvin tersenyum bangga. Berbincang dengan putranya yang satu ini memang terasa kaku sekali. Sulit mengajak Rio bercanda atau sekedar berbasa-basi. Kebanyakan sikap canggung yang tercipta, karena Rio hanya akan menjawab semua pertayaan yang di ajukan dengan kalimat seadanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MARIO
RomanceRomance (21+) Sudah satu tahun lebih Gify Anastasya menjadi kekasih seorang CEO muda nan rupawan bernama Mario Dwi Saputra. Keduanya memiliki sifat yang bertolak belakang. Namun, tekadang karena itulah hubungan keduanya menjadi terasa bisa saling me...