18. MARIO 2

952 97 129
                                    

Ify masih diam sedari tadi. Suaranya belum keluar sedikitpun sejak Rio menjemputnya. Di dalam mobil, Ify langsung tidur memejamkan matanya. Sesampainya di rumah, Ify langsung mandi kemudian mengerjakan tugas. Rio yang berusaha mengerti kesibukan istrinya pun menyibukkan diri dengan pekerjaannya.

Dua-duanya sibuk tanpa bertegur sapa. Dan perbedaan itu jelas Rio rasakan karena Rio dangat tahu, Ify bukan tipe orang yang suka dengan kesunyian. Ify tidak akan berhenti mengajaknya bicara jika sedang tidak marah padanya. Lalu apakah Ify sekarang marah padanya?

Setelah sepuluh menit ketika mereka selesai sholat maghrib, Rio menghampiri Ify yang kembali larut dengan tugasnya. Istrinya itu terlihat serius sekali duduk di atas tempat tidur dengan memangku laptopnya.

"Mas ada salah, ya?" Tanya Rio duduk di samping Ify.

Ify yang semula fokus dengan tugasnya, seketika semua kalimat yang tersusun rapi dalam benaknya langsung buyar begitu saja. Kedua tangannya berhenti mengetik dan helaan panjang itu lolos begitu saja darinya.

Ify lantas menoleh dan tersenyum. Menyandarkan kepalanya di bahu Rio yang kini terasa nyaman. "Nggak, mas. Cuma lagi capek aja. Tugas kuliah masih banyak banget yang mesti aku kerjain buat lengkapi nilai."

"Jangan di paksa. Kalau capek istirahat dulu." Tangan Rio langsung bergerak memeluk pinggang Ify. Mencium puncak kepala Ify untuk memberi istrinya kekuatan. Dia mengambil alih laptop Ify. Menyimpan data yang Ify buat lalu mematikannya. Kemudian Rio letakkan di atas nakas.

"Tapi nanti nggak selesai-selesai."

"Mas kuliahin kamu buat kamu bahagia, dek. Bukan buat kamu jadi tertekan gini."

Ify mendongak dan mencium dagu Rio. Memberi hadiah pada suaminya yang sudah berhasil membuat perasaannya membaik sekarang. "Aku bahagia kok, mas. Selalu bahagia sama, mas." Ify merebahkan lagi kepalanya di bahu Rio. Jika mengingat hal yang tadi siang ia alami, kepala Ify terasa berat dan dia benar-benar membutuhkan suaminya untuk bersandar saat ini.

Rio tidak merespon dengan kata. Dia hanya mengeratkan tubuh Ify semakin mendekat padanya. Dan hal itu sudah membuat Ify mengerti jika Rio merasakan hal yang sama.

"Oh ya, seharian ini mas kerjanya gimana? Di kantor aja atau keluar?" tanya Ify memulai pembicaraan. Hal biasa yang setiap malam kadang Ify tanyakan pada Rio.

Dan hal biasa itu terasa berat untuk Rio dengar saat ini. Dia mulai bingung harus menjawab jujur atau justru berbohong. Tapi jika dia jujur, Ify pasti marah karena tadi tidak memberitahunya. Jika bohong, apa Ify akan tahu suatu saat nanti? Semoga saja tidak. Toh dia hanya mengantar Ajeng tidak lebih.

"Nggak kemana-mana. Mas di kantor aja seharian."

Ify tersenyum kecil. Rio bohong. Rio jelas-jelas sengaja berbohong. Tapi, kenapa Rio harus bohong?

"Oh gitu. Aku juga seharian cuma ada dua kelas terus selebihnya ngerjain tugas di perpus sambil nunggu mas jemput." Ify berganti menceritakan kegiatannya yang tidak sepenuhnya berbohong. Ify tidak berani mengangkat wajahnya untuk menatap Rio. Karena perasaannya sekarang campur aduk. Takut, kecewa dan juga marah.

Takut mengenai orang yang mengiriminya foto tadi siang. Kecewa karena Rio berbohong padanya. Marah karena apa yang orang itu katakan bahwa Rio tidak akan jujur padanya ternyata benar.

"Kok diem?"

"Heh? Emang mas Rio nanya apa?" Kaget Ify mendongak kecil.

Rio terkekeh lalu menyundul kening Ify dengan keningnya. "Mau makan malam apa?"

Ify manyun lalu merubah posisinya. Kali ini Ify merebahkan kepalanya di paha Rio. Dia menatap wajah Rio yang kini menunduk. Sedang di kepalanya, Ify merasakan tangan Rio bergerak lembut di sana.

MARIOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang