31. Kiss

2.5K 163 51
                                    

"Bekas jahitannya masih belum terlalu kering. Lo jangan banyak gerak dulu deh, ya?" Peringat Andin, dokter yang bertugas merawat Rio sejak dia di pindah ke ruang inap. Selesai mengganti perban di perut Rio, Andin memeriksa lagi keadaan Rio yang ternyata semakin membaik.

Rio tak menyahut dan hanya menurunkan bajunya untuk menutupi perut kotaknya yang terluka. Pandangan Rio beralih pada sosok Ify yang duduk di sofa seraya memainkan ponselnya. Setelah puas berpelukan dan atas ijin Ify, Rio memanggil Andin lagi untuk segera memeriksanya.

"Udah sih semua baik-baik aja. Lo tinggal perlu istirahat cukup abis itu bisa pulang." Kata Andin lagi seraya mencatat hasil pemeriksaannya. Pandangan Rio beralih dari Ify dan mengangguk seadanya.

"Sus satu jam lagi tolong infusnya di ganti." Lanjut Andin memeriksa infus Rio yang tinggal sedikit.

"Baik dok." Sahut sang suster.

"Ganti sekarang aja." Sela Rio datar.

Andin menaikkan sebelah alisnya. "Ini masih, Yo. Sayang kalau di buang."

"Sekarang aja." Kata Rio pelan dan tegas. Seakan tidak ingin lagi mengulang kalimatnya. Dia menatap Andin datar namun tersirat sebuah makna. Dan Rio harap teman SMA-nya ini bisa mengerti maksudnya kali ini.

"Oh oke." Andin tersenyum kecil seraya mengangguk. Mulai paham maksud Rio ketika arah matanya menatap sosok Ify yang duduk di sofa.

"Sekarang aja sus." Titah Andin. Lalu perawat perempuan itu pun melakukan tugasnya. Tak butuh waktu lama, infus baru Rio sudah terpasang dengan rapi.

"Ya udah. Gue pergi kalau gitu. Inget, Rio. Istirahat!" Kata Andin mengingatkan. "Obat buat nanti sore udah di laci. Jangan lupa di minum." Lanjut Andin.

Rio mengangguk saja. Kemudian Andin dan perawatnya berjalan keluar.

"Pantes aja betah nggak hubungin aku. Orang di jagainnya sama dokter cantik gitu." Sindir Ify seraya sok sibuk menatap ponselnya. Tentu setelah memastikan bahwa di kamar hanya tersisa dirinya dan juga Rio.

Rio yang baru saja membenarkan posisi duduknya dengan bersandar langsung fokus menatap Ify. Dia tersenyum kecil dengan satu ide muncul di benaknya.

"Iya enak," katanya santai yang bahkan terdengar sangat santai. Tak lupa ekspresi datar tetap menghiasi wajah tampannya.

Ify yang mendengar itu pun langsung menegakkan duduknya. Mendongak dan menatap Rio geram. "Oh gitu?"

"Hm."

Ify semakin mendelik dengan ekspresi marah yang ingin mengibarkan bendera perang.

"Canda, sayang." Sahut Rio terkekeh geli. Sudah berapa kali Rio bilang, Ify itu lucu kalau lagi marah. Rio sebenarnya agak kaget sih mendengar sindiran Ify tadi. Tepatnya, sejak kapan Ify bisa cemburu pada perempuan yang dekat dengannya? Oh mungkin iya ada, Meisya. Dan hanya itu yang Rio tahu. Padahal Ify sering melihatnya berfoto dengan beberapa model untuk menjadi BA di perusahannya. Tapi gadis itu tak pernah protes ataupun mempermasalahkannya. Karena apa? Rio juga tak tahu pasalnya Ify tidak pernah membahas hal itu. Makanya, saat melihat reaksi Ify tadi membuat Rio entah kenapa jadi senang saja. Apalagi kalau Ify kesal wajahnya jadi semakin membuat Rio gemas.

Ify mencebik. "Nggak denger. Sinyalnya jelek!" ketusnya. Ify kembali menyandarkan punggungnya ke belakang sofa. Sambil mengirimi pesan pada Shilla. Mengatakan maaf pada sahabatnya itu karena harus membiarkannya pulang sendiri. Ya, mau gimana lagi Shilla juga katanya tak mau berada di sini lama-lama. Sedangkan dia masih ingin bersama Rio. Ify salah, nggak? Nggak, kan? Egois, nggak?  

Ah untung saja Shilla adalah sahabatnya yang super pengertian.

"Lihat apaan, sih?"

Ify telonjak kaget dan langsung mendongak lalu berdiri. Berdiri tepat di hadapan Rio yang entah sudah sejak kapan. Rio berdiri dengan tangan kirinya memegang tiang infus. Sementara tangan kanannya memegang perutnya yang pasti masih terasa sakit.

MARIOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang