Rio baru saja selesai rapat. Ketika baru saja kakinya masuk ke dalam ruang kerja serta pintu itu berhasil di tutupnya, Rio merasakan dua buah tangan melingkari perutnya. Lalu tak lama tercium aroma shampo yang sudah sangat di kenalinya. Tanpa mengatakan apapun, Rio mendekap hangat pemilik aroma itu.
"Kangen. Lo sibuk mulu masa."
Sebagai jawaban bahwa dia juga merasa rindu, Rio mengeratkan pelukannya. Mengendus aroma rambut kekasihnya ini yang selalu mampu menenangkannya.
"Emang lo nggak kangen sama gue? Kita udah hampir sebulan nggak ketemu lho. Lo tuh sebenernya sayang nggak sih sama gue? Apa waktu lo minta gue jadi pacar lo waktu itu cuma iseng. Iya?"
Rio melepas pelukannya dengan mendorong bahu kecil milik Ify agar tubuh mereka sedikit berjarak.
"Ke sini naik apa?" tanya Rio berjalan menjauh. Dia ingat jika hari ini Ify tidak meminta untuk di jemput. Dan Rio juga ingat tidak menyuruh siapapun untuk menjemput kekasihnya ini.
Ify bersedekap. Menyalangkan tatapannya pada Rio yang sudah berjalan menuju kursi kerjanya. Tak lama Ify semakin ingin meledakkan amarahnya saja ketika melihat Rio justru membuka laptopnya dengan wajah super santai.
"Selalu gitu. Gue nanya apa jawabnya apa. Nggak pernah nyambung!" Seru Ify setelah menghentakkan kakinya kesal.
"Lo aneh." Sahut Rio pelan tanpa beralih dari layar laptopnya ataupun sedikit saja mendongak untuk menatap wajah Ify yang sudah super duper kesal, pun tidak. Iya, Rio merasa aneh karena semua yang Ify ucapkan itu terdengar tidak masuk akal. Tapi Rio bingung bagaimana menjelaskan tentang semua perasaannya.
Bingung bagaimana menjelaskan bahwa apa yang Ify katakan itu sama sekali tidak benar. Bingung bagaimana menyampaikan betapa berharganya sosok Ify di hidupnya. Dan bingung bagaimana Rio mengatakan bahwa semua yang dia lakukan, tujuannya hanya untuk mewujudkan semua keiginan gadisnya.
Di bilang aneh, Ify pun mendelik tak terima. "Lo tuh yang aneh. Enak aja ngatain gue. Yang nggak berperikepacaran itu elo, ya? Bukan gue! Kita udah hampir setengah tahun pacaran. Tapi lo nya masih gitu aja. Cuek, dingin, nggak peka, sok sibuk, suka seenaknya sendiri! Kalau nggak beneran sayang sama gue putus aja udah."
Ify mengangkat dagunya menantang. Tidak takut dengan Rio yang kini sudah mendongak dan menatapnya tajam. Ify sama sekali tidak takut. Toh dia juga bicara fakta.
"Gue kerja." Kata Rio setelah menghelakan nafasnya. Berusaha agar emosinya tidak terpancing. Lalu kembali menatap layar laptopnya dengan pikiran yang sudah tidak fokus lagi. Dia bukannya tidak peduli pada kemarahan Ify. Hanya saja, dia bingung harus melakukan apa.
Kalau boleh jujur, hati Rio cukup was-was sekarang karena Ify benar-benar terlihat menyeramkan jika sedang marah. Tapi, tetap saja di mata Rio, wajah imut itu masih terlihat menggemaskan. Ya, setidaknya itu yang bisa membuat Rio lebih tenang menghadapi kemarahan kekasihya ini.
"Ya udah sih pacaran aja sama kerjaan lo sana. Toh itu lebih penting dari gue. kan? Iya sih gue cukup sadar diri kalau gue tuh cuma pacar yang sama sekali nggak penting buat lo peduliin."
Rio menghela lagi. Sudah cukup! Jika begini ceritanya Rio tidak bisa fokus bekerja. Dia lantas mendongak dan tak lama kemudian berdiri menghampiri Ify yang masih menampilkan wajah permusuhan padanya.
Berdiri di seberang meja kerjanya. Kedua tangannya terlipat di dada serta wajah mungilnya itu sedikit terangkat yang terarah padanya. Tidak lupa kedua matanya menampilkan kesinisan sebagai tanda bahwa dia benar-benar marah dan juga kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
MARIO
RomanceRomance (21+) Sudah satu tahun lebih Gify Anastasya menjadi kekasih seorang CEO muda nan rupawan bernama Mario Dwi Saputra. Keduanya memiliki sifat yang bertolak belakang. Namun, tekadang karena itulah hubungan keduanya menjadi terasa bisa saling me...