21. Mourning

2.1K 189 65
                                    

Gabriel sudah mematikan mesin mobilnya di depan rumah. Dia tidak bisa masuk karena di teras rumahnya sudah banyak tetangga yang melayat. Gabriel menghela panjang. Kenyataan ini kenapa masih sangat menyakitkan untuk ia terima. Sejujurnya, Gabriel juga terpukul. Sangat terpukul. Bahkan rasanya dia ingin berteriak memanggil nama bunda. Merengek, merajuk, memohon sambil menangis sekencang mungkin agar bunda tidak pergi meninggalkan mereka. Tapi, ketika melihat keadaan Ify, Gabriel tidak akan sanggup melakukan hal itu, karena dia harus lebih kuat untuk menjaga Ify. Satu-satunya keluarga yang harus ia lindungi dengan segenap jiwanya. Mau tak mau Gabriel harus lebih kuat menghadapi ini semua.

"Kita udah sampe, dek." Kata Gebriel setelah berhasil mengusai suaranya yang tadi hampir tersedak oleh tangis. Dan usaha Gabriel pun sia-sia ketika melihat  Ify menoleh padanya. Pandangan mata sang adik terlihat sedang ketakutan. Bahkan sangat ketakutan hingga wajahnya hampir putih memucat.

Meski air matanya sudah mengalir, Gabriel mencoba tersenyum pedih. Meraih tangan Ify yang terasa dingin sekali dalam genggaman. "Ada kakak. Kita hadapi ini sama-sama, ya?"

"Kaki Ify nggak bisa gerak." Jiwa Ify mungkin masih sangat terguncang hingga berakibat pada tubuhnya yang melemas tak bertenaga.

"Kakak gendong." Kata Gabriel kemudian membuka pintu mobilnya turun menghampiri Ify.

"Depan belakang?"

"Belakang aja."

Gabriel mengangguk lalu memutar tubuhnya membelakangi Ify. Saat itulah, Ify mulai naik ke punggung Gabriel seraya mengalungkan kedua tangannya di leher sang kakak. Lalu Ify menyembunyikan wajahnya di pungung Gabriel sambil menangis. Menghindari tatapan semua orang yang pasti tengah menyambut kedatangannya.

Ketika sampai dalam rumah, Ify sedikit mengintip tubuh bunda yang sudah tak bernyawa tertutup kain dan terbaring di atas kasur. Dengan di kelilingi orang-orang. Dapat Ify dengar lantunan surat Yasin di telinganya yang teramat indah untuk mengantarkan bunda pergi menuju rumah terakhir bagi semua umat manusia. Membuat Ify semakin membenamkan wajahnya yang lagi-lagi ingin meledakkan tangisnya.

Shilla, Sivia, Ray, Deva dan beberapa teman Ify lainnya juga ada di sana. Ikut mendoakan bunda. Ella, mama Rina, papa Marvin, kak Marshell dan juga Rio langsung menatap Ify yang masih di gendong oleh Gabriel menaiki anak tangga. Rio ingin bergerak menggantikan posisi Gabriel sekarang, tapi di tahan oleh Rina karena ini bukan waktu yang tepat bagi Rio untuk cemburu.

"Kak Gab keluar aja. Ify mau ganti baju." Lirih Ify saat Gabriel sudah menurunkan dirinya di atas tempat tidur.

Gabriel mengangguk, kemudian berlutut di depan Ify seraya menggenggam tangan sang adik. Gabriel mendongak, mengusap air mata Ify yang berhenti mengalir.

"Ada kakak. Ify nggak usah takut. Ify nggak sendiri. Kakak bisa jadi apapun yang Ify mulai dari sekarang. Nangis boleh hari ini. Tapi Ify harus tetep kuat, ya?"

Ify mengangguk saja karena rasanya sulit untuk bersuara. Gabriel perlahan bangkit kemudian berjalan menuju pintu kamar dan meninggalkan Ify yang mungkin membutuhkan waktu sendiri.

Setelah melihat Gabriel sudah menutup pintu kamarnya, tubuh Ify luruh ke lantai. Dia terduduk di sana sambil menangis tersedu-sedu. Menyerukan rasa sesak di dadanya yang tak akan mudah untuk hilang saat ini.

"Bunda." Ify memanggil pelan.

"Bundaaa." Panggilnya dengan intonasi yang cukup memilukan.

"Bundaa jangan pergi. Ify masih butuh bunda. Bunda Ify belum jadi anak yang baik buat bunda. Maafin Ify bunda, maafin Ify! Argh!" Menjerit dalam tangis seraya memukul dadanya berkali-kali. Berusaha melawan dan menghajar sesuatu yang membuat dadanya sesak. Sesak yang tak pernah Ify rasakan selama hidupnya. Bahkan kematian ayah dulu, Ify tidak merasa sesakit ini karena ada pelukan bunda yang memberinya kekuatan. Tapi sekarang, satu-satunya kekuatan di dunia yang ia miliki telah pergi dari hidupnya untuk waktu yang sangat lama dan tak akan pernah kembali. Bunda, Ify tak akan pernah bisa melihatnya lagi. Tak akan lagi ada senyuman bunda yang menyambutnya setiap pagi. Detik ini hingga selamanya Ify tak akan bisa merasakan sentuhan lembut bunda yang membelai kepalanya.

MARIOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang