Hari ini Rio pulang dari rumah sakit. Tujuan Rio bukanlah Apartemen melainkan rumah kedua orang tuanya. Rina sudah mengingatkannya dari semalam untuk menyuruhnya pulang. Dengan sebuah ancaman, Rina akan melarang Rio untuk bertemu dengan Ify sampai hari H pernikahan mereka. Bagaimana Rina melakukan itu? Tentu saja membawa Ify ke rumahnya dan mengawasi setiap pergerakan gadis itu agar Rio tidak bisa mencuri kesempatan.
Sebenarnya tanpa di ancam Rio pasti menurut. Karena dia sudah berjanji pada Ify. Dan Rio sangat tidak ingin melanggar janji itu yang akan membuat Ify kecewa.
"Kamu istirahat. Jangan mikirin kerjaan dulu. Mama udah bilang ke papa buat alihin semua kerjaan kamu Septihan." Septihan adalah sekertaris andalan sekaligus orang kepercayaan Marvin.
"Iya ma." Rio menurut saja.
Rina tersenyum senang seraya merapikan selimut Rio. "Aduh mama seneng kamu jadi nurut gini. Ya udah, sekarang kamu tidur nanti siang mama bangunin buat makan sama sholat."
Rio mengangguk saja.
"Mukanya kenapa nggak semangat gitu? Capek? Apa lemes? Ada yang sakit lagi?" Pasalnya sejak tadi pagi mereka check out dari rumah sakit. Hingga sampai rumah terus makan plus minum obat. Wajah Rio tidak terlihat senang. Berbeda sekali dengan semalam.
"Nggak apa-apa, ma." Jawab Rio tersenyum tipis.
"Jangan bohong!" Tuding Rina tak percaya.
Rio menghela pelan. Sepertinya memang dia tidak bisa membohongi sang mama. "Ify masih nggak angkat telepon Rio, ma." Adunya sambil menatap ponsel yang baru tadi pagi diberikan Obiet padanya. Semalam sebelum pulang, Ify memintanya untuk segera membeli handpone baru. Maka segeralah Rio mengirim pesan email pada Obiet untuk malam itu juga membelikannya ponsel. Tapi nomor lamanya baru bisa di aktifkan pagi tadi.
"Masih istirahat mungkin." Jelas Rina. Karena tadi pagi Alvin memberi kabar kalau Ify sedang demam dari Gabriel dan tidak bisa menemani Rio untuk pulang.
"Heem."
Rina menghela lalu duduk di pinggiran kasur Rio. Meski saat ini ekspresi wajah Rio tak menujukkan apa-apa tapi Rina tahu putranya ini pasti sangat khawatir.
"Ify itu anaknya lincah. Paling susah kalau di suruh diem. Jadi, meskipun sekarang dia sakit, mama yakin dia pasti cepet sembuh juga. Karena keinginan dia buat sembuh lebih besar di banding harus terus berdiam diri."
Rio mengangguk setuju. Tapi tetap saja, Rio tak bisa menghilangkan rasa bersalahnya.
"Dia pasti kecapean gara-gara bolak balik nemenin Rio." Rio mulai tidak bisa menyembunyikan rasa khawatirnya saat ini. Rio jadi teringat ketika Ify sedang sakit saat itu. Mama benar, Ify pasti sedang istirahat sekarang. Makanya tidak memegang ponselnya. Padahal, setahu Rio, di manapun gadis itu pasti tidak akan lepas dari benda itu. Yang berarti saat ini Ify sedang melirih kesakitan.
"Belum lagi dari kemarin dia pasti banyak pikiran juga karena masalah kita." Rio mengusap wajahnya. "Dan kata almarhumah bunda, Ify pasti gampang sakit kalau terlalu sering mikirin sesuatu."
"Masalah apa sampe buat Ify mikir keras gitu? Jangan bilang bukan masalah apa-apa karena dari yang mama tangkep itu sepertinya masalah yang serius."
"Ya gitu, ma." Jawab Rio seenaknya seraya menyandarkan punggung ke dipan. Memejamkan matanya untuk mencari ketenangan.
Rina berdecak. Kumat lagi cueknya. "Gitu gimana? Itu bukan jawaban, Rio. Oh ya, terus salah paham apa yang Ify maksud semalem? Pasti itu berhubungan sama masalah kalian, kan?"
"Iya, ma."
"Iya iya gimana? Jelasin dong sayang. Mama gimana bisa bantu kalau kamu nggak cerita."
KAMU SEDANG MEMBACA
MARIO
RomanceRomance (21+) Sudah satu tahun lebih Gify Anastasya menjadi kekasih seorang CEO muda nan rupawan bernama Mario Dwi Saputra. Keduanya memiliki sifat yang bertolak belakang. Namun, tekadang karena itulah hubungan keduanya menjadi terasa bisa saling me...