Sehabis salat magrib, mereka baru pulang. Ify masih enggan berbicara pada Rio. Saat makan siang bersama tadipun Ify memilih duduk di samping Ella. Sesudah makan, Ify membantu mbok Tina membawa piring kotor ke dapur. Meski Rina dan mbok Tina sudah melarang, tapi Ify menolak karena terbiasa melakukan tugas itu saat di rumah. Bahkan selesai membantu cuci piring, Ify langsung menyusul Ella ke kamarnya. Sama sekali tak mau menatap Rio yang berusaha mencari celah untuk mengajaknya bicara.
Akhirnya Rio menyerah saja dan melanjutkan obrolannya bersama Marvin mengenai proyek barunya yang sedang berlangsung. Di temani Rina juga yang kadang ikut memberi masukan. Hanya hal inilah yang bisa membuat pikiran Rio teralihkan dari kemarahan Ify.
Oh ya, Marshell kebetulan sedang tidak ada di rumah. Dia sedang sibuk menangani kasus di pengadilan. Ya, Marshell memiliki impian menjadi seorang jaksa sejak dulu. Karena itulah, dia sama sekali tidak keberatan jika perusahaan keluarga akan jatuh di tangan sang adik. Marshell merasa menjadi pengusaha itu sama sekali bukanlah passion-nya.
Kembali pada Rio dan Ify yang sampai sekarang masih dalam mode saling mendiamkan. Lebih tepatnya Ify yang enggan mengajak atau di ajak bicara.
"Fy." Rio mulai memanggil. Dia sudah tidak tahan di diami selama seharian penuh. Berakibat pada dadanya yang selalu sesak tiap kali melihat wajah jutek Ify saat menatapnya. Padahal, jika bersama Ella, Rina, Marvin atau bahkan pekerja di sana, Ify terlihat ramah dan ceria sekali.
"Jadi belanja?" Tanya Rio karena tadi panggilannya tak mendapat sahutan. Lagi, Rio menghela sesak karena tampak tak ada tanda-tanda Ify akan menjawab pertanyaannya.
"Mau makan dulu?" Rio bertanya percuma karena masih juga tak mendapat jawaban. Ify benar-benar menutup rapat mulutnya.
"Marah banget, ya?" Rio bingung harus berbicara apalagi. Dia tidak sepintar Ify yang bisa membangun suasana saat mereka bersama. Tidak seluwes Ify yang bisa mengucapkan kata manis untuk menarik perhatiannya. Rio, sama sekali tidak pandai melakukan hal semacam itu. Karena itulah, Rio merasa jadi serba salah sekarang.
Rio melirik Ify yang ternyata masih tak bergerak sedikitpun. Masih seperti tadi saat masuk ke dalam mobil dan menatap keluar jendela. Ify tetap di posisi itu sekarang, enggan sekali begerak walau hanya sekilas menatapnya. Sungguh, Rio tersiksa menghadapi sikap Ify yang seperti ini. Terasa sekali kemarahan yang di tunjukkan gadis ini padanya.
"Mas, minta maaf." Kata Rio lagi terdengar pasrah dan juga putus asa. Itu pun juga masih tetap tak mendapat balasan, Rio mulai tak bisa berkonsetrasi untuk menyetir. Dia lantas mencari tempat untuk memarkirkan sejenak mobilnya.
Rio meneguk ludahnya setelah berhasil memarkirkan mobilnya di depan sebuah ruko kosong. Dia memutar tubuhnya menyamping. Menghadap Ify yang masih bersedekap menatap ke arah luar jendela.
"Fy-"
"Mending mas diem kalau nggak mau kasih aku penjelasan kenapa tadi telat dan nggak bisa di hubungi." Sela Ify tajam dan terdengar dingin sekali.
"Fy, mas bukannya nggak mau jelasin. Cuma tadi-" Rio masih merasa berat sekali jika harus jujur. Rio belum siap menerima bagaimana reaksi Ify.
"Oke!" Putus Ify. Jengah menunggu Rio melanjutkan ucapannya. "Jangan ajak aku ngomong kalau mas belum bisa cerita."
"Kasih mas waktu." Terdengar memohon.
Ify perlahan menggerakkan tubuhnya menoleh, hingga menghadap Rio. "Apa ini ada hubungannya sama Meisya? Apa tadi mas telat karena bertemu dengan Meisya?"
Rio mengangguk seadanya.
Respon Rio semakin membuat Ify enggan melanjutkan pembicaraan ini. Dia ingin tahu, tapi, melihat Rio yang terasa berat untuk berterus terang, membuat Ify sedikit merasa takut. Sebenarnya apa yang terjadi?
KAMU SEDANG MEMBACA
MARIO
RomanceRomance (21+) Sudah satu tahun lebih Gify Anastasya menjadi kekasih seorang CEO muda nan rupawan bernama Mario Dwi Saputra. Keduanya memiliki sifat yang bertolak belakang. Namun, tekadang karena itulah hubungan keduanya menjadi terasa bisa saling me...