17. MARIO 2

950 92 117
                                    

Pagi ini, Rio terlihat semangat berangkat kerja. Berbeda dengan lima hari ke belakang. Karena, kemarin sore, Meisya sudah menjemput Marsya. Sehingga malamnya, Rio bisa berbuka dan menyerang Ify tanpa gangguan. Rio tersenyum kecil jika mengingat pertempuran panas mereka tadi malam. Jika saja, Ify tidak lelah hingga ketiduran, sampai pagi Rio sepertinya juga masih kuat. Stop! Sudah cukup Rio waktunya bekerja. Oke!

"Akh!" Rio yang baru saja berjalan keluar dari lift dan menuju ruangannya, seketika berhenti melangkah. Dia mendapati Ajeng terduduk di lantai sambil memegangi kakinya.

"Kenapa?" Tanya Rio bergerak mendekat lalu menekuk satu lututnya dan menempel di lantai.

"Kaki aku kayaknya kesleo, Pak." Ringis Ajeng tampak kesakitan. Menatap Rio seolah meminta pertolongan.

"Bisa berdiri?"

"Sakit, Pak." Ajeng menggeleng pelan.

Rio menghela lalu melihat sekeliling untuk mencari salah satu stafnya.

"Budi!" Panggil Rio melihat salah satu bawahannya yang sepertinya baru dari pantry. Karena di tangannya tengah memegang sebuah cangkir yang entah isinya teh atau kopi.

Merasa di panggil, Budi langsung berjalan mendekat. "Iya Pak."

"Tolong kamu bawa Ajeng ke klinik perusahaan." Titah Rio setelah berdiri.

Budi mengangguk patuh. "Baik, pak." Dia meletakkan cangkirnya lebih dulu ke meja kerja Ajeng. Lalu kembali lagi mengangkat Ajeng dalam gendongannya. Kemdian berjalan menjauh dari hadapan Rio.

Sementara Ajeng yang merasa rencananya gagal lagi, hanya bisa mendengus kesal. Tapi Ajeng bertekad tidak akan menyerah. Ajeng yakin, suatu saat dia pasti bisa menaklukan Rio. Dan bagaimanapun caranya, Ajeng harus bisa merebut Rio dari Ify.

Sedangkan Rio sendiri langsung melanjutkan langkah menuju ruang kerjanya. Tugasnya beberapa hari ini memang hanya memeriksa beberapa dokumen. Beberapa proposal dari perusahaan lain yang meminta untuk bekerja sama. Atau menghadiri rapat dengan para direktur yang memberi laporan padanya tentang hasil pekerjaan mereka. Intinya, pekerjaan Rio sekarang lebih santai dan juga ringan di banding dulu. Rio hanya perlu menggunakan otaknya untuk menilai dan mengamati yang ada.

Dahi Rio mengernyit melihat sebuah amplop coklat dengan logo perusahaan yang cukup asing untuk sampai di ruangannya. Tapi tidak asing bagi Rio karena dia mengenalnya. Lalu ingatan Rio melayang pada perkataan Satria yang ingin membantunya. Dengan segera Rio membuka amplop itu.

Di sana tertera data yang menjelaskan tentang mantan istri Satria beserta anaknya. Anak yang secara tidak langsung pernah menjadi adik tirinya. Dan di sana juga menjelaskan bahwa tempat asal tinggal mereka itu di kota Malang. Satu yang mengusik Rio sekarang adalah data dari adik tirinya.

Rio beralih pada ponselnya yang bergetar. Di sana tertera nama Ajeng. Dahi Rio berkerut, untuk apa Ajeng menelponnya?

"Halo Kak Yo." Suara Ajeng seketika masuk dalam pendengaran Rio.

"Ya, kenapa?" tanggap Rio seadanya.

"Kak Yo, hari ini aku ijin nggak apa-apa? Kaki aku sakit banget, kak. Terus kepala aku pusing."

"Iya. Nggak apa-apa." Jawab Rio tenang sambil menatap foto seorang anak laki-laki berusia kira-kira sekitar sepuluh tahun. Ini foto lama, di ambilnya kapan Rio tidak tahu. Dan umur berapa anak itu sekarang Rio tidak bisa menebak.

"Kak Yo kan hari ini nggak ada jadwal ketemu client atau rapat. Aku boleh minta anterin pulang nggak, kak?"

Rio meletakkan lagi kertas itu di atas mejanya. "Gue pesenin taksi aja, ya?"

MARIOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang