58. MARIO 2

1.2K 123 166
                                    

Sorenya, ketika Marshell menjemput Marsya, Rio juga meminta ijin dokter untuk pulang. Karena kata Marshell besoknya akan di adakan pengajian untuk pemakaman Meisya. Dan sejak awal, Marshell sudah menetapkan untuk menempatkan peristirahatan terakhir Meisya di pemakaman milik keluarga besar Saputra. Yang letaknya tidak jauh dari pemakaman umum di sekitar komplek perumahan.

Keadaan Marsya sudah lebih baik sejak di beri pengertian oleh Rio kala itu. Hanya saja, jika melihat orang yang terasa asing di matanya, Marsya masih takut. Apalagi jika berada di luar, Marsya benar-benar langsung memeluk siapa saja yang menggendongnya saat itu.

"Halo Acha aku adalah princess Sofia yang baik hati dan cantik jelita." Seru Ella yang sengaja memakai gaun princess kesukaan Marsya. Mereka sedang berusaha mengajak Marsya main di halaman belakang rumah. Acara pemakaman sudah selesai sejak jam satu siang tadi. Dan sore ini, mereka menikmati kebersamaan sambil menunggu waktu maghrib untuk sholat kemudian mengadakan acara tahlilan bersama para tetangga.

Rina ikut bergabung seraya membawa dua cangkir kopi untuk Marshell dan Marvin. Kemudian duduk di samping Marvin sambil menonton pertunjukkan Ella dan Marsya di halaman rumput. Dengan Marshell yang tentu saja menggendong Marsya karena dia masih takut jika di tinggal sendirian.

"Onty Ella. Pinces Sofia bukan gitu omongnya." Seru Ella mengajukan protesnya.

"Hah? Masa? Coba dong Acha contohin." Kata Ella pura-pura terkejut.

"Kenapa?" tanya Rio cemas dan langsung menahan tubuh Ify yang hampir jatuh. Rio baru saja ingin bergabung setelah dia membersihkan diri. Tapi terkejut melihat Ify yang berjalan menuju ke dalam sambil memegangi pelipisnya.

"Nggak tahu. Tiba-tiba pusing banget kepala aku, mas."

"Kita ke rumah sakit aja kal-"

Ify menggeleng seraya menyenderkan kepalanya di dada Rio. "Cuma butuh tiduran aja aku, mas. Mungkin kebanyakan nangis tadi."

Rio mengusap lembut kepala Ify lalu menunduk untuk mencium kening istrinya. "Ya udah. Kita ke kamar aja kalau gitu." Rio langsung menggendong Ify kemudian berjalan menaiki tangga menuju kamarnya.

Sesampainya di kamar, Rio langsung membaringkan Ify di atas tempat tidur mereka. Lalu melepas sandal Ify dan membenarkan letak selimut hingga membuat Ify benar-benar dalam posisi yang nyaman.

"Pusing banget?" Rio mulai cemas karena Ify terlihat lemas sekarang.

"Hmm." Lihat saja bagaimana istrinya ini merespon. Mengerti wajah Rio yang mulai panik, tangan kanan Ify terangkat untuk mengusap wajah suaminya.

"Jangan khawatir. Aku cuma pusing nanti juga baikan." Katanya.

Rio meraih tangan Ify dari wajahnya lalu ia cium. Rio lantas ikut berbaring dengan posisi tidur menyamping. Menyangga kepalanya pada tangan kiri yang sikunya tertekuk di atas bantal.

"Sebelah mana yang pusing?" tanya Rio seraya memijat pelan pelipis Ify dengan tangan kanannya.

"Mas." Gumam Ify memejamkan menikmati pijatan tangan Rio yang cukup membuat pusingnya perlahan mereda.

"Hm." Beralih memijat kepala bagian belakang Ify.

"Aku khawatir sama Kak Marshell. Di antara kita semua, dia yang paling hancur tadi.".

Rio diam sebentar. Meredakan jantungnya yang seakan baru saja tertembak. Rio diam bukan karena tidak tahu harus berkata apa. Tapi, tiba-tiba teringat bayangan di mana dia hampir kehilangan Ify dulu. Inilah yang membuat Rio kembali merasakan ketakutan itu.

"Iya. Mas tahu gimana rasanya. Pastinya itu nggak akan mudah. Mas juga nggak tahu gimana caranya buat kak Marshell bisa bangkit." Tanggap Rio pelan seraya mengarahkan pandangannya pada tv dengan pandangan kosong. Lalu tersenyum tipis menatap Ify yang ternyata menatapnya sejak tadi. Membuat Rio langsung mendekat untuk mencium kening istrinya.

MARIOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang