Embun di pagi buta
Menebarkan bau basah
Detik demi detik kuhitung
Inikah saatku pergi?Oh Tuhan, kucinta dia
Berikanlah aku hidup
Takkan kusakiti dia
Hukum aku bila terjadiAku tak mudah untuk mencintai
Aku tak mudah mengaku ku cinta
Aku tak mudah mengatakan
Aku jatuh cintaSenandungku hanya untuk cinta
Tirakatku hanya untuk engkau
Tiada dusta, sumpah kucinta
Sampai ku menutup mata
Cintaku
Sampai ku menutup mataOh Tuhan, kucinta dia
Berikanlah aku hidup
Takkan kusakiti dia
Hukum aku bila terjadiAku tak mudah untuk mencintai
Aku tak mudah mengaku ku cinta
Aku tak mudah mengatakan
Aku jatuh cintaSenandungku hanya untuk cinta
Tirakatku hanya untuk engkau
Tiada dusta, sumpah kucinta
Sampai ku menutup mata
Cintaku
Sampai ku menutup mataSeorang pria tampak berdiri di sebuah tempat tinggi. Dimana tempat itu memiliki tembok keramik yang kokoh. Di setiap tembok tertempel foto serta guci keramik berisi abu. Ia menatap foto gadis cantik dan manis yang terhiasi pigura itu dengan nanar. Dan lagi, ia kembali mengeluarkan air matanya. Entah sudah berapa banyak ia menangis, mata pria itu sampai sembab.
"Kamu tega ninggalin aku duluan ya Vi, padahal aku suka sama kamu sejak pandangan pertama."
Menghela napas dalam, Renjun mulai berjalan pelan setelah berdoa dengan sungguh-sungguh berjam-jam lamanya. Pria itu menuruni anak tangga pemakaman yang amat sepi. Pikirannya mendadak kosong. Seperti ada ruang di hatinya yang hampa. Sungguh hampa sampai pria itu hanya menatap lurus kedepan tanpa siratan semangat dalam guratan wajahnya.
Jadi begini rasanya kehilangan. Ia bahkan tidak mau menggunakan kendaraan mobilnya lagi. Rasanya perih, mengingat gadis yang sering duduk di sebelah kemudinya, kini pergi untuk selama - lamanya.
Renjun berjalan melewati zebra cross yang sepi. Ia tidak masuk kuliah karena sedang liburan semester, dan begitulah ketika mahasiswa liburan anak sekolah dan pekerja kantoran tidak libur. Mahasiswa memang memiliki jadwal libur yang berbeda. Mungkin karena ini hari aktif kantor dan sekolah, makanya jalanan tampak sepi.
Langkah Renjun terhenti begitu saja saat merasakan pergelangan tangannya ditahan dari belakang. Pria itu mengerutkan keningnya kemudian berbalik.
"Kak Renjun."
Bruk!
"Kak Renjun!"
"Kak! Kakak! Huang Renjun sayang."
Mata Renjun terbuka, ia menatap sekeliling dan didapatinya suasana temaram seperti malam hari. Di hadapannya ada seorang gadis yang menatapnya khawatir.