Happy Reading
Suasana pagi di kota New York terasa sangat dingin. Jam menunjukkan pukul 05.30 matahari belum muncul sempurna ke permukaan langit biru. Di sebuah mansion mewah seorang pemuda tengah termenung melihat pemandangan pagi dengan wajah murung dan datar.
"Hey Jeno, you get up very asap."
Jeno menolehkan pandangannya pada sumber suara. Ia hanya mengedikkan bahunya enggan merespon teman sebayanya dengan satu dua patah kata.
Pemuda berwajah Amerika campuran Korea asli itu terkekeh melihat Jeno yang tidak bersemangat. Ia mendekati teman sebayanya seraya menepuk pundak lebar Jeno dua kali.
"I know you must miss that beautiful and sweet girl a lot. You must be excited about today Lee Jeno."
"Thanks Jake," respon Jeno.
Jeno berdiri dari tempat duduknya. Ia bersiap-siap melakukan olahraga pagi. Kegiatan teratur yang ia lakukan di pagi hari sebelum sarapan kemudian sekolah. Sehari-hari ia ditemani oleh Jake. Pemuda itu adalah sepupunya yang juga sedang bersekolah di Amerika demi kelangsungan bisnis orangtuanya. Entah apa yang terjadi, namun mereka berdua sama-sama korban penerus perusahaan raksasa keluarga mereka.
Ting tong!
Bell sekolah berbunyi. Para siswa yang masih ada di luar kelas segera masuk ke kelas masing-masing. Jeno dan Jake berjalan berdampingan, banyak mata yang kagum karena keduanya. Mereka berdua selalu menjadi sorot perhatian di Senior High School Of Bussiness New York. Sejak kedatangan keduanya menjadi murid baru di kelas 12 sorot semua siswa tertuju pada keduanya. Mereka sangat highclass dan cenderung cool dalam bertindak.
"Excuse me." Seorang gadis menghadang jalan mereka. Gadis berkebangsaan Amerika asli itu menyodorkan sebuah poster untuk mereka berdua.
"I just want to offer you a fantastic show tomorrow week. I hope you're interested."
Keduanya hanya saling pandang setelah menerima poster tersebut kemudian kembali berjalan menuju ke kelasnya. Dunia terasa ter slow motion melihat visual mereka.
■■■
"Ravena, mata kamu kenapa bengkak banget?" tanya Lily heran melihat mata Ravena yang bengkak juga wajahnya yang tampak sembab di pagi hari.
Gadis itu segera menggeleng. "Iyakah?"
"Iya, coba deh ngaca." Lily menyodorkan cerminnya. Ravena langsung menatap pantulan wajahnya dari cermin.
Gadis itu tersenyum. "Ah iya, beneran sebengkak itu." Ravena menyentuh kedua matanya. Biarkan yang semalam itu menjadi cerita tersendiri untuknya. Ia tidak mau membebani Lily dengan apapun.