Happy Reading
Semburat cahaya mengusik tidur seorang pemuda berwajah tampan paripurna. Perlahan matanya terbuka. Tangannya bergerak-gerak menepuk ranjang sebelahnya namun yang ia dapati kekosongan.
Jeno mendudukkan dirinya di atas ranjang. Pemuda itu mendapati dirinya tanpa sehelai benang. Memorinya teringat permainan panas semalaman penuh. Ia benar-benar tidak bisa mengendalikan diri untuk tidak terus ho menggagahi adiknya yang masih di bawah umur itu.
Perlahan Jeno berjalan memasuki kamar mandi. Mulai membersihkan dirinya, membiarkan air shower yang hangat mengguyur seluruh tubuhnya. Jeno mengeram rendah, bahkan sekarang miliknya menengang karena membayangkan betapa hangatnya saat ia bersarang ke tempatnya. Pemuda itu segera menepis pikiran kotornya. Fokus membersihkan diri sampai selesai.
Sedangkan di ruangan dapur, seorang jelita tengah sibuk menyiapkan hasil masakannya. Sesekali ia meringis karena bagian bawahnya terasa ngilu sisa perjuangan semalam. Akhir-akhir ini napsu kakak tirinya semakin meledak-ledak dan Ravena hanya bisa pasrah akan itu semua.
Tubuh gadis itu menegang kala tubuhnya di peluk dari belakang. Bisa ia cium aroma maskulin perlahan merambat menyelimuti tubuhnya yang akhir-akhir ini semakin menonjol bagian sensitif yang sering di jamah oleh Jeno tiap malam.
"Kak Jeno udah mandi?" tanya Ravena penuh kelembutan. Semua sikap yang membuat Jeno semakin tak ingin kehilangannya. Atau mungkin Jeno sudah mencintai adik tirinya itu.
Mudah sekali untuk Jeno memutar posisi badan gadis itu sehingga berhadapan dengannya. Bisa ia lihat rona merah di wajah Ravena. Perlahan kedua tangannya menangkup pipi gadis itu. Membingkai perlahan kemudian kedua ibu jarinya mengelus pipi mulus nan cantik yang semakin membuat Jeno kecanduan.
Tak butuh waktu lama, kedua bilah bibir mereka telah bersatu. Jeno melumat lembut bibir Ravena. Menyalurkan perasaan cinta di pagi hari. Tangan kirinya digunakan untuk mendorong tengkuk Ravena agar ciuman mereka semakin dalam sedangkan tangan kanannya perlahan merengkuh pinggang ramping gadis itu.
Ravena hanyut, ia memejamkan mata dan berusaha membalas lumatan yang Jeno berikan. Kedua tangannya pasrah melingkar indah di leher Jeno. Sedangkan dada dan perutnya terasa amat tegang terlebih ketika Jeno menghisap lidahnya seakan-akan benda itu mengeluarkan madu yang amat manis.
Ciuman keduanya terlepas pada menit ke dua puluh. Dua puluh menit yang membuat keduanya saling menetralkan napas.
Jeno tersenyum, memberikan kecupan manis pada bibir tipis Ravena sebagai akhir dari ciuman panas mereka di pagi hari.
"Makasih morning kiss nya, manis."
"Sama-sama," jawab Ravena dengan senyum yang tak pernah luntur.
Keduanya memulai aktivitas sarapan di selingi obrolan ringan. Entah mengapa keduanya semakin terpesona dengan masing-masing lawan bicara. Saling melempar senyum indah dengan degupan jantung tiada tara. Padahal setiap malam mereka bercinta. Bukankah ini sebuah dilema? Tak ada ikatan sah diantara mereka.
Jeno kembali menahan Ravena yang hendak beranjak memasuki kamarnya. Gadis itu benar-benar berdegup kencang di sertai rasa malu yang semakin meledak-ledak.
"Kak Jeno butuh sesuatu lagi?" tanya Ravena menahan kegugupannya.
"Netflix and chill."
Ravena terdiam. Menonton film di siang yang mendung seperti ini. Mungkin bukan ide yang buruk. Ia mengangguki ajakan Jeno. Lekas pemuda itu langsung menarik tangan Ravena menggiring gadis itu menuju ke ruang tamu.
Duduk canggung di sofa dengan wajah yang tidak tahu harus ia ekspresikan bagaimana. Ravena terdiam melihat Jeno yang berjalan menuju meja kaca, mengambil sebuah remote.
Film pun mulai terputar. Jeno dengan santai duduk di sebelah Ravena. Dengan santai pria itu menarik Ravena agar lebih dekat dengannya.
"Lo kelihatan kaku banget sumpah. Gak biasanya kayak gini." Jeno menyandarkan kepala Ravena ke pundaknya yang lebar. Gadis itu hanya tersenyum. Berusaha mencari posisi nyaman sebelum akhirnya tangan kiri Jeno yang bebas melingkar di pinggang rampingnya.
Adegan demi adegan film mulai berputar. Ternyata Jeno memilih film action. Dimana banyak adegan perkelahian disitu. Ravena meringis melihat banyak luka yang terlihat pada setiap vibes pemain dalam film tersebut.
"Lo gak suka ya?"
Gadis di sebelahnya menggeleng. "Bukannya gitu, tapi Ravena gak kuat lihat luka-luka di muka."
"Kenapa?" tanya Jeno, sengaja menatap gadis itu hingga pandangan keduanya terkunci.
"Soalnya kan Kak Jeno sering dapet luka di wajah juga. Jadi a-hmppttt... "
Lagi, tanpa permisi Jeno membungkam bibir tipis yang sudah menjadi candunya tersebut. Mengungkung tubuh gadis itu di badan sofa. Kedua tangan Ravena terkunci di sisi kanan dan kiri bertaut dengan jemari Jeno yang merengkuh di sela-sela jemari lentik gadis itu. Ravena memejamkan mata, pasrah apa yang Jeno lakukan padanya.
Lima belas menit kemudian, Jeno baru melepaskan ciumannya. Ia tersenyum melihat bibir gadis itu yang basah dan membengkak karena ulahnya. Di tatapnya sosok jelita di hadapannya dengan napas terengah. Perlahan ia kembali mengecup pipi gadis itu dengan sayang. Satu hal yang membuat Ravena terkejut.
"Gue, emm... "
"Gue gak tau kenapa. Tapi, makin kesini gue nyaman banget sama lo."
Tak ada jawaban dari Ravena, gadis itu masih menatap sosok tampan di hadapannya. Pandangannya benar-benar terkunci. Jeno terkekeh, perlahan ia memeluk gadis itu. Mendekap Ravena ke dalam dada bidangnya. Menghirup dalam-dalam aroma rambut Ravena yang membuatnya nyaman.
"Ravena sayang Kak Jeno," ucap gadis itu membuat Jeno tersenyum.
"Gue juga sayang sama lo, Ravena."
Keduanya terdiam. Saling meresapi dekapan tubuh masing-masing. Ada rasa nyaman yang menjalar dalam diri Ravena. Sama hal nya dengan Jeno. Pria itu juga semakin nyaman dengan sosok gadis dalam dekapannya.
"Kak, apa kita bisa terus kayak gini?" tanya Ravena tiba-tiba.
Jeno terdiam. Ia melonggarkan pelukannya. Menggenggam kedua tangan gadis itu kemudian perlahan mengusap punggung tangan Ravena.
"Gue harap, kita selalu bisa kayak gini."
"Ravena, gue sebenarnya... "
Ting!
Tong!To be continue!