Happy Reading
Seperti mimpi di musim panas. Begitu pun yang dirasakan Ravena saat ini. Ia benar-benar dekat dengan Jeno seperti sebuah hati yang tergabung dalam dua sisi. Rasanya nyaman, enggan saling melepas satu sama lain. Tapi, apakah itu akan bertahan lama?
"Kak Jeno," panggil Ravena saat Jeno hendak melangkah keluar kamar untuk mengganti kompres nya. Ravena demam tinggi semalaman, dan kini suhunya sudah turun karena sentuhan kasih sayang pemuda itu mungkin.
"Kenapa sayang?" tanya Jeno dengan tutur lembut.
Hal yang benar-benar membuat Ravena bahagia. Seulas senyuman tampak dari wajah Ravena yang sudah tak sepucat kemarin. Ia menggeleng pelan membuat Jeno terkekeh hingga eye smile nya yang indah bisa Ravena lihat dari tempat ia merebah.
Beberapa menit kemudian Jeno kembali dengan semangkuk bubur. Perlahan ia membantu Ravena bersandar di kepala ranjang dengan tumpuan bantal di belakang punggung dan kepala. Setelah itu perlahan mulai menyuapi adik tirinya dengan telaten.
"Makasih Kak," ujar Ravena dengan suara seraknya. Jeno mengangguk, perlahan mengelus kepala gadis itu dan menyuruh Ravena kembali terlelap agar tubuhnya segar kembali seperti sedia kala.
Langkah Jeno kembali urung ketika Ravena menahan lengannya. Ia menatap Ravena dengan bingung. Sedang wanita itu menatap Jeno dengan sedih.
"Jangan tinggalin Ravena, Kak."
Suara pilu Ravena membuat Jeno terdiam. Pria itu merebahkan diri di samping Ravena, lekas mendekap erat agar jelita merasa nyaman.
"Gue gak ninggalin lo, sayang." Jeno mengelus lembut pipi Ravena. Wajahnya maju untuk sekedar mengecup mesra labium yang agak terbuka membuat rona merah di pipi Ravena nampak semburatnya.
"Tapi, Kak Jeno sebentar lagi bakal pergi." Perkataan Ravena memang benar. Gadis itu tidak berbohong, sebentar lagi Jeno akan pergi. Namun dalam hati Jeno sudah terpatri untuk kembali. Samar-samar sebuah rasa tergores dalam hatinya. Ia mencintai Ravena. Bukan sebagai seorang kakak, namun sebagai seorang pria yang ingin mendapatkan wanitanya.
"Ravena," panggil Jeno.
Kedua mata mereka saling beradu pandang. Mata Ravena berkaca-kaca, menatap Jeno nanar seakan harapannya tidak lain hanyalah debu yang betebaran.
"Gue cinta sama lo, Ravena."
Pernyataan Jeno membuat air mata Ravena mengalir deras. Wanita itu terisak pilu, mendengar kata cinta yang seharusnya membuat hati bahagia. Rasa yang seharusnya bahagia itu terasa seperti ribuan pisau tajam yang meyayat hati kecilnya.
"Lo tau, gue pergi karena gue mau memperbaiki diri gue lagi."
Ravena menggeleng. Ia membalas tautan tangan Jeno yang semakin mengerat di sela jari-jarinya.
"Ravena gak bisa jauh dari Kak Jeno."
Napas Jeno terasa berat. Matanya tiba-tiba panas dan ada rasa bersalah dari hatinya yang membuat dadanya terasa nyeri. Ia menatap nanar Ravena kemudian memejamkan mata.
"Gue juga gak bisa jauh dari lo."
Sepasang kakak beradik tiri itu terdiam, saling merasakan kesedihan masing-masing. Entah apa yang akan terjadi pada episode hari berikutnya. Jika itu membuat keduanya kehilangan maka semesta tidak memihak mereka berdua.
Pada akhirnya mereka harus menemukan cintanya masing-masing tanpa harus mengenang apa yang telah mereka lalui berdua. Entah itu kecelakaan atau karena cinta yang tumbuh dari hari ke harinya.
■■■
Dan hari ini adalah pagi cerah terkejam bagi Ravena. Gadis itu berdiri dengan baju musim dinginnya. Mengantar kepergian Jeno yang akan terbang ke lain negara. Sang Ibu dan Ayah tersenyum mengantar putranya yang hendak berjuang. Sedangkan Ravena, ia hanya diam menatap Jeno dengan kesedihan mendalam.
Jeno mendekati gadis itu. Dan hal itu justru membuat hati Ravena semakin sakit. Terlebih saat Jeno mendekapnya dengan erat.
"Gue pergi dulu ya, lo harus belajar yang rajin. Gue harap kita bisa ketemu lagi."
"Kak Jeno bisa janji?" tanya Ravena sambil menyodorkan kelingkingnya.
Hati Jeno terasa tersayat. Satu sisi ia sudah menghancurkan gadis itu dan hendak meninggalkannya begitu saja. Dan sisi lainnya, ia memiliki harapan besar untuk mengambil Ravena kembali agar menjadi miliknya, seutuhnya.
"Gue janji." Jeno menyambut tautan kelingking itu dengan yakin. Ravena tak dapat menahan air matanya.
"Gue cinta sama lo, Ravena." Bisikan itu membuat Ravena semakin hancur. Bagaimana ia bisa menaruh harapan sebesar itu. Sedangkan kemungkinannya sangat kecil.
Kini Ravena membuka sebuah lembaran. Menjalani hari demi hari tanpa sosok yang sangat ia cintai.
■■■
Suasana di sekolah sangat ramai. Banyak siswa berkerumun di depan mading sekolah. Sebuah pengumuman yang membuat mereka tertarik, membaca tulisan yang ada di dalam poster itu dari atas sampai bawah.
"Ravena, kamu ikut acara perkemahan gak?" tanya Lily sambil menikmati makan siangnya.
Gadis berseragam SMP itu nampak bingung. Lantas ia menggeleng karena tidak tertarik dengan acara yang sekarang menjadi trending topic di sekolahnya.
"Yah, kok kamu gak mau ikut sih. Pliss Ravena, ikut ya." Lily nampak terus membujuk temannya itu.
"Kan ada Haewon, Jini, Sullyoon dan lain-lain. Mereka bisa satu tenda sama kamu," ucap Ravena agar Lily tak terus menjerumuskannya untuk ikut acara melelahkan itu.
Lily menggeleng. "Aku gak suka sama mereka. Lihat sekarang mereka gak mau temenan lagi sama aku. Pliss, Ravena temenin aku."
Ravena menghela napas panjang. Ia paling tidak bisa menolak permintaan yang kesannya memohon sampai hati nurani gadis itu terketuk.
"Okelah, aku temenin kamu."
Lily seketika girang bukan main. Membuat Ravena hanya bisa menggelengkan kepalanya.
To be continue!