"Kau barusan melakukan suatu pelanggaran, Veronica! Kau harus jujur dengan itu semua." Destiny laut memukulkan tongkat besinya ke pasir.
Veronica terkekeh. "Apa maksudmu? Aku hanya ingin tau, apa obat dari pada sakit pusing yang melandaku akhir-akhir ini. Tapi kenapa kau justru bilang aku melanggar peraturan?"
Destiny laut mencebik kesal. "Aku tahu jelas kesalahanmu Veronica. Mau tidak mau kau harus menanggung akibatnya."
"Apa?" tanya Veronica seraya berkaca-kaca.
"Kau telah menolong nyawa sesosok manusia. Benar bukan?" Destiny laut jelas tidak bisa di tipu.
Veronica menunduk. "Bukankah menolong adalah sifat yang baik? Aku hanya ingin menolongnya, Destiny."
Destiny laut menghela napas pelan. Ia memijat keningnya. Perlahan merapihkan tiara di atas rambutnya.
"Bukan masalah tolong menolong atau tidaknya, Veronica. Tapi kau bahkan sudah memberikan ciuman mu pada orang itu bukan?"
"Kau tau, bahwa laut tidak suka melihat hal-hal yang tidak setia. Jika kau sudah memberikannya ciuman dan separuh nyawamu untuk dia. Maka, dia adalah orang yang wajib bersamamu. Dan menjadikanmu pendamping Ver."
Veronica melebarkan matanya. Ia tidak percaya tentang apa yang dikatakan Destiny Laut.
"Jika tidak, kau akan mati sia-sia." Destiny laut melanjutkan perkataannya.
Jantung Veronica seakan dihantam secara tiba-tiba. Ekornya melemas, juga kepalanya tertunduk lesu.
"Cari dia, dan dapatkan cintanya." Setelah mengucapkan itu, Destiny laut menutup kerang mutiara berwarna putih bersih, tempat tinggalnya.
"Tapi bagaimana caraku ke daratan sana?" Veronica berteriak sebelum Destiny menghilang.
Sebuah kalung mutiara tersemat di lehernya tiba-tiba.
"Ucapkan, aku ingin menjadi manusia. Setelah itu kau akan memiliki kaki. Jangan sampai kakimu terkena air menggenang ya di daratan nanti. Jika air percikan dan air mengalir masih aman." Suara Destiny laut menggema.
"Semoga beruntung, Veronica."
🐬
Kelima pemuda yang menaiki mobil silver telah sampai. Satu persatu mereka turun dari mobil dan melihat apartment yang masih tegak menjulang.
Mark mengerutkan dahinya. "Hey, lo semua sadar gak sih? Inikan mobilnya Chenle? Kok kinclong ya. Mana diparkir didepan."
Renjun mengelus bagian depan mobil Tesla putih milik Chenle. Masih terasa terawat dan kesat seperti habis dicuci.
"Gila, aneh banget! Padahal Mama Lily bilang kemarin Tesla nya Chenle dari pada gak dirawat mending buat kita kan?"
Jeno mengangguk. Ia juga menyentuh bagian kaca mobil tesla tersebut. Dan perkataan Renjun memang benar adanya. Mobil itu terasa kesat dan terawat juga kinclong.