Chapter 199 : Rid dan Duke Louis

6 3 0
                                    


"Tuan Duke San Lucia ingin berbicara denganku ?," tanyaku.
"Iya, ayo ikuti aku," ucap senior Nadine.
Senior Nadine pun berjalan menuju gedung lobi akademi dan aku mengikutinya dari belakang.
"Kira-kira apa yang mau dibicarakan oleh Duke San Lucia ? Apa ini tentang aku yang menjadi pacar Irene saat ini ? Kalau dipikir-pikir, selama aku menjadi pacar Irene, aku memang belum berinteraksi dengan keluarganya selain kakaknya. Karena Irene merupakan putri seorang Duke, wajar bagi ayahnya yang merupakan seorang Duke untuk mengetahui secara langsung tentang pacarnya saat ini. Sebenarnya aku sejak tadi kepikiran untuk mengobrol dengan beliau tapi aku masih mencari momen yang tepat untuk mengobrol dengan beliau, tidak kusangka kalau beliau sendiri yang ingin menemuiku," pikirku.
Lalu kami berdua pun sampai di tempat Duke San Lucia, Irene dan yang lainnya. Ternyata mereka sudah berpindah dari tempat semula yang berada tepat di depan gedung lobi akademi dan kini mereka berada di sebelah kanan dari bagian depan lobi akademi. Mereka menunggu tepat di tikungan jalan yang menuju gedung penginapan. Terlihat Irene sudah bisa berdiri yang menandakan dia sudah pulih total karena sebelumnya, aku melihatnya sedang duduk saat Duke San Lucia menghampirinya ketika dia baru sadar.
"Tuan Duke, saya sudah membawa Rid Archie bersama saya," ucap senior Nadine.
"Sudah berapa kali kubilang padamu, Nadine, tidak perlu bersikap formal seperti itu dihadapanku. Meski aku adalah seorang Duke, tapi aku adalah pamanmu," ucap Duke Louis.
"Meski begitu, saya merasa tidak enak apabila berbicara normal dengan anda," ucap senior Nadine.
"Ya sudah, senyamanmu saja," ucap Duke Louis.
Saat senior Nadine dan Duke Louis sedang mengobrol, aku memperhatikan kalau warna rambut mereka itu sama. Aku memang sudah menyadari kalau warna rambut dari keluarga San Lucia itu berwarna putih seperti salju. Tapi begitu melihat senior Nadine, Irene dan Duke San Lucia, aku jadi menyadari kalau mereka benar-benar berasal dari keluarga San Lucia.
"Jadi kamu ya yang bernama Rid Archie," ucap Duke Louis.
"Benar, tuan Duke. Suatu kehormatan bisa bertemu dengan anda," ucapku.
"Tidak perlu seformal itu. Aku memanggilmu kemari hanya untuk mengenalmu lebih dekat. Lagipula kamu saat ini merupakan pacar putriku,"
"Nadine, Leandra, Lily dan para prajurit lainnya, bisakah kalian meninggalkan tempat ini ? Aku mau mengobrol bertiga dengan Irene dan pacarnya ini," ucap Duke Louis.
"Baik, tuan," ucap senior Nadine, Leandra, Lily dan para prajurit lainnya.
Lalu mereka pun pergi meninggalkan kami bertiga.
"Nah karena sekarang hanya ada kita bertiga, kita bisa berbicara dengan santai. Sebelumnya izinkan aku untuk memperkenalkan diriku, namaku adalah Louis Emerald San Lucia, aku adalah ayah dari Irene," ucap Duke Louis.
"Izinkan saya untuk meminta maaf, tuan Duke. Ketika Yang Mulia Ratu menghampiri saya untuk meminta mengantarkannya ke kepala akademi, itu pertama kalinya saya melihat anda. Saya merasa anda merupakan ayahanda dari Irene dan sebenarnya saya berniat menyapa anda tapi saya belum bisa menemukan momen yang tepat untuk menyapa anda. Malah anda sendiri yang memanggil saya duluan," ucapku.
"Tidak apa-apa, kamu tidak perlu minta maaf. Dan bukankah sudah aku bilang tadi kalau kamu tidak perlu bersikap formal ?," tanya Duke Louis.
"Maafkan aku, tuan Duke," ucapku.
"Panggilan 'tuan Duke' itu masih formal untukku," ucap Duke Louis.
"Lalu aku harus memanggil anda apa, tuan Duke ?," tanyaku.
"Hmmmm bagaimana dengan 'paman' ?," ucap Duke Louis.
"'paman' ?," tanyaku yang terkejut.
"Atau kamu juga bisa memanggilku 'ayah' atau 'ayahanda' juga seperti Irene. Tinggal kamu pilih saja mau memanggil dengan panggilan apa," ucap Duke Louis.
"Eh ??," ucapku yang terkejut.
Aku melihat ke arah Irene dan dia nampak tidak peduli dengan apa yang ayahnya katakan.
"Panggilan apa yang mau kamu pakai ?," tanya Duke Louis.
"Kalau begitu aku pilih panggilan 'paman' saja," ucapku.
"Sayang sekali, aku kira kamu akan memanggilku 'ayahanda' juga seperti Irene," ucap Duke Louis.
"Mana mungkin aku menggunakan panggilan itu, lagipula aku dan Irene hanya pacaran saja. Terlebih lagi, status pacaran kami hanyalah pura-pura. Tidak mungkin kan aku memanggil beliau dengan panggilan 'ayahanda'," pikirku.
"Ya sudahlah, yang penting sekarang panggilanmu terhadapku tidaklah formal lagi. Ngomong-ngomong, aku sudah dengar kalau kamu memenangkan turnamen akademi ini meskipun kamu masih menjadi murid tahun pertama. Selamat ya," ucap Duke Louis.
"Terima kasih, paman," ucapku.
"Kamu cepat juga bisa langsung memanggilku dengan sebutan 'paman',' ucap Duke Louis.
"Yah anggap saja aku ini sangat pandai dalam beradaptasi," ucapku.
"Begitu ya. Tentang turnamen akademi, aku ingin sekali menonton pertandinganmu dan Irene di turnamen itu tetapi karena suatu hal, aku memutuskan untuk tidak datang ke akademi saat itu. Untuk sekarang, aku memutuskan untuk datang ke akademi karena sangat khawatir saat mendengar akademi diserang oleh kelompok yang tidak dikenal," ucap Duke Louis.
"Anda benar-benar ayah yang peduli dengan anaknya ya, paman," ucapku.
"Tentu saja. Ngomong-ngomong, bagaimana dengan ayah dan ibumu ? Apakah dia akan kemari juga karena khawatir padamu ?," tanya Duke Louis.
"Ayah dan ibuku meninggalkan aku sejak kecil, aku tidak tahu keberadaan mereka sekarang. Sejak kecil aku tinggal bersama kakekku dan sekarang kakekku sudah tiada. Mungkin hanya orang-orang yang tinggal di desaku saja yang khawatir kepadaku jika mereka mendapatkan kabar tentang penyerangan ini," ucapku.
"Maafkan aku. Aku tiba-tiba bertanya seperti itu tanpa mencari tahu informasinya terlebih dahulu," ucap Duke Louis.
"Tidak apa-apa, paman," ucapku.
Lalu kami pun lanjut mengobrol. Duke Louis banyak bertanya tentangku mulai darimana asalku hingga keseharian di akademi ini. Aku pun menjawab pertanyaan itu satu persatu. Kami mengobrol banyak hal hingga tidak terasa waktu pun sudah semakin sore.
"Obrolan tadi sangat menyenangkan sampai tidak terasa kalau sudah mau menjelang malam saja. Sepertinya sudah saatnya bagiku untuk kembali ke San Lucia. Mungkin besok aku akan kembali lagi kesini atau mungkin Irwin lah yang menggantikanku untuk datang kesini,"
"Rid, aku titip anakku ini kepadamu selama di akademi ini. Mungkin terkadang sifat dan sikap Irene nampak dingin, berbeda dengan dirinya yang dulu tetapi dia tetaplah anak yang baik. Tolong jaga dia ya," ucap Duke Louis sambil mengelus-ngelus kepala Irene.
Irene nampak tidak terganggu ketika kepalanya dielus-elus oleh ayahnya itu.
"Tenang saja, paman. Aku akan menjaga Irene selama di akademi ini. Lagipula saat ini aku adalah pacarnya," ucapku.
Setelah mendengar perkataanku itu, Irene nampak tersenyum kecil.
"Hahaha, kamu berani sekali ya bilang begitu saat aku yang merupakan ayahnya Irene sedang ada disini. Yah tidak apa-apa, lagipula aku merestuimu sebagai pacar Irene," ucap Duke Louis.
Setelah Duke Louis mengatakan itu, aku merasakan kalau ada beberapa orang yang menatap kemari. Aku pun menoleh ke arah orang-orang yang menatap kemari. Mereka terlihat membawa Artifact atau sebuah alat sihir yang entah kegunaannya untuk apa. Irene yang melihatku menoleh ke arah lain pun bertanya kepadaku.
"Ada apa, Rid ?," tanya Irene.
"Tidak ada apa-apa, hanya saja aku merasakan kalau orang-orang itu sedang menatap kemari," ucapku.
Irene dan Duke Louis pun menoleh ke arah orang-orang yang aku lihat.
"Oh mereka ya. Mereka itu dari 'Diganta', 'Diganta' merupakan penerbit surat kabar terbesar dan satu-satunya di kerajaan San Fulgen. Sepertinya mereka kesini untuk mencari bahan berita untuk mereka terbitkan. Sebelumnya mereka terlihat berada di sekitar luar gerbang akademi tapi sekarang mereka sepertinya sudah diizinkan masuk ke dalam akademi ini," ucap Duke Louis.
"Surat kabar ya. Saat aku masih tinggal di desa, aku memang melihat ada beberapa orang yang mengantarkan surat kabar ke desa tempatku berada. Tapi sejak aku masuk ke akademi ini, rasanya tidak ada surat kabar yang beredar di dalam akademi ini," ucapku.
"Surat kabar tetap beredar di dalam akademi ini tetapi surat kabar itu hanya ditujukan kepada orang dewasa yang ada di akademi ini seperti para staf, guru dan bahkan kepala akademi. Surat kabar itu tidak beredar ke kita," ucap Irene.
"Begitu ya," ucapku.
"Kebanyakan surat kabar yang beredar sejauh ini isinya tentang berita para bangsawan, kasus kejahatan, serangan monster, ataupun bencana alam yang jarang terjadi. Tetapi karena kali ini terjadi sebuah insiden besar yaitu tentang insiden penyerangan akademi satu-satunya di kerajaan San Fulgen ini, seperti mereka akan mendapatkan banyak bahan berita segar yang akan mereka terbitkan dalam beberapa hari ke depan. Mereka bahkan sampai membawa 'Kamera' untuk meliput tempat ini," ucap Duke Louis.
"'Kamera' ?," tanyaku.
"Itu adalah alat yang mereka bawa untuk memotret apa yang alat itu lihat. Tidak hanya itu, 'Kamera' ada juga yang berfungsi untuk merekam sesuatu yang dilihat 'kamera' itu. Tetapi jenis 'kamera' yang digunakan untuk memotret dan merekam itu berbeda," ucap Irene.
"Aku mengerti," ucapku.
"Memang bentuk alat itu menyerupai seperti Artifact atau alat sihir lainnya, namun nyatanya 'kamera' bukanlah sebuah Artifact. 'Kamera' hanyalah alat biasa yang bisa digunakan tanpa harus menggunakan Mana. Hanya ras Dwarf saja yang bisa membuat alat ini. Kerajaan ini bisa mendapatkan 'kamera' karena mengimpor dari kerajaan Dwarf," ucap Duke Louis.
"Begitu ya," ucapku.
Lalu aku melihat sekelilingku dan melihat nona Karina sedang dikelilingi oleh banyak orang. Beberapa dari orang itu membawa alat yang bernama 'Kamera'. Ratu Kayana dan Raja Albert pun juga tampak dikelilingi oleh orang-orang itu tetapi para prajurit kerajaan berusaha menghadang mereka agar tidak terlalu dekat dengan Ratu Kayana dan Raja Albert.
Setelah orang-orang itu mengelilingi nona Karina, beberapa dari mereka pun pergi dan tiba-tiba menghampiriku. Mereka lalu menanyaiku tentang insiden penyerangan ini. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi saat ini dan juga kenapa orang-orang ini malah datang menghampiriku.
"Sepertinya kepala akademi menceritakan tentang kontribusimu dalam melawan para pelaku penyerangan ini. Jadi tidak heran kalau orang-orang ini datang untuk menghampirimu," ucap Duke Louis.
Orang-orang yang menghampiriku pun mulai tambah banyak namun beruntung para prajurit Duke San Lucia tiba-tiba datang dan menahan orang-orang itu agar tidak mendekatiku. Nona Karina pun juga datang dan menyuruh orang-orang itu untuk pergi karena waktu juga sudah mau menjelang malam hari. Awalnya orang-orang itu tidak mau pergi, namun dengan paksaan akhirnya orang-orang itu pun pergi.
"Haaaahhh padahal aku berniat untuk menceritakan yang sebenarnya tapi aku tidak menyangka kalau mereka akan langsung menghampirimu, Rid. Maafkan aku, seharusnya aku berbohong saja kepada mereka ya," ucap nona Karina.
"Tidak apa-apa, nona. Terima kasih karena telah membantuku," ucapku.
"Gara-gara aku ikut membantu menghalau mereka, aku jadi terlambat untuk pulang. Sekarang aku akan benar-benar pulang, kalau begitu sampai jumpa lagi, Irene, Rid dan kepala akademi," ucap Duke Louis.
"Sampai jumpa, paman. Terima kasih karena telah membantuku juga," ucapku.
Duke Louis pun pergi meninggalkan akademi dengan para prajuritnya.
"Tunggu sebentar, Rid, barusan kamu memanggil Duke San Lucia dengan sebutan 'paman' ?," tanya nona Karina.
"Iya, ceritanya panjang, nona," ucapku.
"Begitu ya. Untuk sekarang, aku tidak punya waktu untuk mendengarkan ceritamu itu. Kalau begitu, aku permisi dulu karena aku harus menjelaskan kepada para orang tua atau wali murid yang datang kesini karena khawatir dengan keselamatan anak mereka," ucap nona Karina.
Nona Karina pun pergi. Lalu setelah itu, kami semua pun disuruh untuk beristirahat di asrama, sementara para staf, guru dan tamu akademi yang masih berada di akademi disuruh beristirahat di gedung penginapan. Beruntung asrama dan gedung penginapan tidak mengalami kerusakan yang parah jadi bisa dipulihkan dengan cepat menggunakan Artifact yang dibawa oleh Ratu Kayana. Sementara gedung akademi khususnya gedung lobi akademi mengalami kerusakan yang sangat parah sehingga perbaikan akan dilakukan besok. Tidak hanya itu, hutan akademi pun juga mengalami kerusakan yang parah karena banyak pohon yang telah tumbang.
Kami sudah diberitahu kalau festival akademi ditutup paksa hari ini dan ditiadakan besok meskipun seharusnya besok adalah hari terakhir festival. Tetapi mau bagaimana lagi, dekorasi festival dan booth-booth yang tersedia sudah dihancurkan oleh para penyerang itu. Beberapa tempat di akademi ini juga dihancurkan. Mustahil untuk melanjutkan festival dalam keadaan begini.
Untuk korban insiden penyerangan di akademi ini, beruntung tidak ada yang tewas dalam penyerangan yang terjadi di dalam akademi ini. Tapi ada dari mereka yang terluka parah dan langsung disembuhkan dengan sihir agar kondisi mereka tidak semakin gawat. Tetapi, untuk korban yang terkena serangan di luar akademi, khususnya di gerbang dan di jalan yang menuju akademi, terdapat 33 orang yang tewas karena penyerangan itu. Karena hal itu, Ratu Kayana mengumumkan situasi darurat di kerajaan ini selama beberapa hari. Setiap wilayah diminta untuk waspada dan mencari keberadaan para penyerang itu yang kemungkinan masih berada di wilayah kerajaan San Fulgen.
San Fulgen Akademiya pun saat ini dalam kondisi penjagaan ketat yang melibatkan banyak prajurit. Makanya kami bisa sedikit beristirahat dengan tenang dengan banyaknya prajurit yang tetap berjaga di malam harinya.
-
Keesokan harinya.
Surat kabar yang diterbitkan 'Diganta' pun beredar hingga ke seluruh wilayah kerajaan San Fulgen. Mereka yang semula belum mengetahui kabar tentang insiden penyerangan San Fulgen Akademiya pun terkejut begitu melihat kabar ini. Selain insiden penyerangan San Fulgen Akademiya, terdapat berita lain yang membuat mereka yang membacanya kembali terkejut.
-Bersambung

Peace HunterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang