Seusai makan malam dan mencuci piringnya sendiri, Luna langsung masuk kedalam kamarnya hendak menghubungi Arga. Reynata masih didapur, suka rela membereskan peralatan makan malam hari ini karena Karin harus menemani dokter yang diutus oleh Paman Agung ke kamar Miki.
Dokter paruh baya bernama Rio itu mulai melakukan pekerjaannya. Karin mengawasi disamping tempat tidur Miki.
"Ini enggak apa-apa. Cuma flu dan kecapekan." kata sang dokter setelah selesai memeriksa perempuan mudah yang berbaring diatas tempat tidurnya. Ia merapikan peralatan kedokterannya dan mulai mencorat coret resep diselembar kertas putih. "Banyak makan sayur, minum air putih, dan istirahat yang cukup." saran sang dokter dengan ramah, yang mendapat anggukan dari Miki. "Saya kasih antibiotik dan paracetamol, sisanya, tolong dibeli diapotek, yah." ujarnya sembari menyerahkan selembar kertas penuh coretan tangan kepada Karin.
Dokter itu berdiri dan memohon pamit kepada Karin. Ia menolak dibayar karena semua biaya dan akomodasi telah dibayar oleh Paman Agung. Reynata berhenti melangkah saat melihat Karin sedang menutup pintu selepas mengantarkan Dokter Rio.
"Udah pulang, dokternya?" tanya Reynata.
Karin menganggukkan kepalanya dan berjalan menaiki tangga. Reynata mengikuti dari belakang. "Sakit apa, katanya?" tanya Rey.
"Flu dan kecapekan."
"Hmm, syukur deh bukan penyakit yang aneh-aneh." tanggap Reynata. Saat akan memasuki kamar, mereka melihat Luna juga baru keluar dari kamarnya.
"Udah balik, dokternya?" tanya Luna.
Karin menganggukkan kepalanya dan melanjutkan langkahnya kekamarnya untuk mengambil dompet. "Rey, suruh Miki minum obat antibiotik dan paracetamolnya. Gua mau ke apotik didepan komplek buat beli obat lainnya." Karin melewati Luna, "Lu temenin gua, ya."
"Oke." jawab Luna yang kemudian turun menuju pintu depan. Reynata masuk kedalam kamar menjalani permintaan kakak sulungnya.
Luna duduk dekat rak sepatu menunggu Karin turun dari kamarnya. Ia mengambil handphone dari saku celana kulotnya ketika merasa getaran dari dalam. Ia membuka sebuah pesan yang dikirimkan oleh bibinya.
'Mau apalagi, sih Bibi bawel ini?' pikirnya. Kedua matanya terpaku pada deretan pesan berisi sebuah peringatan.
Bibi serius soal akan mencari keberadaan rumah kamu, kalau Minggu besok sampai enggak datang.
Luna berdecak lalu mengetikkan deretan kalimat balasan. 'Enggak masalah, kok Bi kalau Bibi mau main ke rumah. Tapi, kemungkinan aku enggak dirumah dan cuma ada saudara-saudara aku aja, gimana?' Ia menekan tombol kirim.
Karin turun dan segera mengajak Luna keluar. "Sakit apa, sih si Miki?" tanya Luna.
"Flu sama kecapekan, doang kok." jawab Karin.
Handphone Luna lagi-lagi bergetar, balasan dari Bibinya. 'Bibi, enggak sudi ketemu sama saudara-saudara kamu. Kamu juga bodoh enggak ketulungan, main terima aja buat tinggal bareng sama mereka. Apa yang kamu lakuin sama aja bikin almarhum mama kamu tersiksa.'
"Maksudnya apa, sih nih orang..." gumam Luna. Karin memperhatikan raut saudaranya itu, yang terlihat serius dengan handphone-nya.
"Kenapa, Lun?" dia penasaran.
"Bibi gua. Dia mulai ngirim-ngirim sms aneh." jawab Luna sambil mengetikkan pesan balasan.
Bibi, ngomong apa, sih? -_- Lagi, mabok sama Paman, ya? Apa hubungannya aku bikin mamaku tersiksa?
Dua mata Karin terbelalak saat melihat kata mabok, pada balasan yang dikirimkan oleh Luna. "Mabok?"
Luna menutup aplikasi pesannya. "Iya. Dulu, waktu gua masih tinggal sama mereka, kalau malam Paman dan Bibi gua suka mabuk-mabukan terus ngomong yang aneh-aneh. Enggak jelas."
"Gua baru tahu kalau keluarga lu ada yang kayak gitu." komentar Karin.
"Karena, gua emang belum pernah cerita sama lu, kan?." jawab Luna, "Alasan, gua keluar dari rumah mereka pun, karena tindakan mabuk-mabukan itu. Pernah, satu waktu mereka ngajak gua minum padahal jelas-jelas gua masih dibawah umur."
"Lu berapa lama, sih tinggal sama mereka?" tanya Karin.
"Sejak nyokap meninggal sampai gua kelas 2 SMA."
"Kenapa lu enggak pindah ke rumah kerabat yang, lain?"
"Saudara-saudara nyokap yang lain lebih parah dari dia. Enggak ada satupun yang mau nampung gua. Dianggep pun, enggak, kayaknya" Luna bicara sambil tersenyum, mengenang masa pahitnya dulu.
"Kok, gitu? Emang kenapa?"
Luna mengendikkan bahunya, "Enggak tahu." dia enggan menjelaskan lebih detail, cuma akan membuatnya ingat bagaimana paman-paman dan bibi-bibinya membodoh-bodohi ibunya. Ia membuka aplikasi pesan saat merasakan handphonenya kembali bergetar.
Lancang, kamu ya !? Nuduh bibi kamu mabok. Mentang-mentang udah bisa hidup sendiri, jadi enggak ngehormatin orang yang udah ngerawat kamu. Ngeluarin biaya buat kamu. Enggak tahu terima kasih ! Kamu itu bisa jadi anak jalanan, kalau bukan Aku yang rela merawat kamu. Mana ada kerabat lain yang mau menerima anak dari pengusaha penggila perempuan seperti Ayahmu. Ibumu juga bodoh mau menikah dan dijadikan istri kedua, sehingga tidak mendapatkan apapun sampai kematiannya. Malah menjadi korban dari istri pertamanya.
Luna benar-benar kesal sekarang karena membaca pesan penuh tanda seru seperti itu. Ia tidak membaca sampai habis dan langsung menonaktifkan handphone-nya.
"Kok dimatiin?" tanya Karin.
"Biar enggak baca sms sampah." jawab Luna yang berubah kesal.
Karin tak lagi mengatakan apapun saat mendengar nada Luna yang berubah datar dengan raut yang dingin. Sudah lama rasanya tak melihat sosok saudaranya yang seperti itu. Keduanya, menyebrang jalan agar bisa mencapai apotek. Sepanjang perjalanan hingga kerumah tak ada obrolan diantara mereka.
Begitu sampai didalam rumah, Karin langsung melangkah menuju kamar Miki. Luna menutup serta mengunci pintu. Ia ikut masuk kedalam kamar dan memandang adiknya yang sepertinya habis mengobrol hal lucu dengan Reynata. Karin menyerahkan obat yang dibelinya agar segera diminum oleh adik bungsunya itu. Mereka menunggui adiknya sampai meminum semua obatnya hingga kemudian Luna pamit untuk tidur duluan.
"Cepet sembuh, Ki." pesan Luna sebelum akhirnya keluar dari kamar.
Reynata dan Miki menatap heran dengan kepergian kakak keduanya itu. Mereka menangkap perubahan sikap dari saudaranya.
"Dia kenapa, Rin? Kok kayaknya, sikapnya beda dari sebelum keluar dari rumah?" tanya Reynata.
"Kalian enggak berantem lagi, kan?" susul Miki yang juga khawatir dengan sikap Luna yang menurutnya aneh.
Karin buru-buru menggelengkan kepalanya, "Dia lagi ada masalah sama Bibinya."
"Kenapa?" tanya Miki.
Karin mengendikkan dua bahunya. "Awalnya, sih masalah warisan. Terus, daritadi dia saling kirim sms, dan kayaknya Bibinya udah bikin dia kesal."
Reynata dan Miki mengangguk mengerti. "Gua udah ngeri aja kalau kalian berantem lagi kayak dulu. Serem ih." komentar Miki yang ingat bagaimana ekspresi menyeramkan Luna saat Karin akan pergi meninggalkan rumah.
Setelah Miki meminum obatnya, Karin menyuruhnya untuk tidur. Begitupun dengan keduanya yang juga masuk kedalam kamar masing-masing.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lovely Sisters 2
General FictionPertemuan yang terjadi karena permintaan Paman Agung, membuat Karin, Luna, Reynata dan Miki harus menerima kenyataan kalau mereka adalah saudara dari satu Ayah yang sama. Hari demi hari mereka lalui dengan tenang dalam rumah yang diwariskan ole...