Berbagi

242 22 3
                                    

Seusai makan siang, Luna memilih kembali ke dalam kamarnya. Ia merasa sedikit mengantuk sesaat setelah meminum obatnya. Pintu kamarnya dibiarkan sedikit terbuka karena perintah Karin yang melarangnya menutup rapat pintu apalagi menguncinya. Saudara tertuanya itu masih trauma mengingat kejadian beberapa hari, saat Luna mengunci diri di kamar seharian. 

Saat akan merebahkan diri, ia teringat belum sempat membaca surat yang diberikan oleh bibinya karena sudah terlebih dahulu didera sakit kepala yang hebat. Dirinya pun belum menyalakan handphone semenjak pulang dari perjamuan makan malam. Ia mengurungkan niat untuk tidur dan bergerak menuju tasnya kemudian mengambil sebuah amplop usang. Luna berpindah ke tempat duduk belajarnya dan menguatkan diri sebelum membacanya. 

Saat sedang menarik kertas di dalam amplop, tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamarnya. 

"Lun?" ternyata Reynata, yang diperintahkan oleh Karin untuk mengecek keadaan Luna. "Lu enggak tidur?" tanyanya. 

Luna terkejut namun tak menampakkan ekspresi apapun. Dengan tenang, ia memasukkan kembali kertas kedalam amplop. Reynata bergerak masuk. "Belum."

"Katanya ngantuk, tapi kok malah duduk disitu.." kata Reynata lagi lalu mendapati amplop yang dipegangi oleh Luna. "Itu.... amplop apa?" tanyanya penasaran. 

"Surat dari bibi gua. Ini dikasih sewaktu gua makan malam sama paman dan bibi sebelum sakit." Luna menjawab dengan jujur.

Reynata mengangguk mengerti, "Kenapa dia ngasih lu surat? Apa itu... ada hubungannya sama masalah warisan kemarin?"

Luna memandangi amplop itu, lalu menggelengkan kepalanya, "Bukan.. ini surat yang dibuat sama nyokap sebelum dia meninggal." 

"Oh ya?" Reynata terkejut mendengar pengakuannya, "Kalau boleh tahu.. isinya tentang apa?" 

Luna terdiam kemudian menghela nafas panjang. 

"Kalau lu belum mau cerita, enggak apa-apa, kok. Gua enggak mau maksa, lagipula bukan tempat gua buat ikut campur." lanjut Reynata yang merasa tidak enak karena sudah begitu penasaran.

"Enggak apa-apa." jawabnya sambil menatap Reynata dan berekspresi serius. "...sejujurnya, gua juga belum tahu isi surat ini. Belum sempat gua baca." 

"Oh gitu, jadi lu baru mau baca sekarang?" tanya Reynata lagi. Luna menjawab dengan mengangguk sekali. "Oke. Kalau gitu, gua enggak akan ganggu lu, deh." Reynata bergerak akan meninggalkan Luna. 

"Rey.." panggil Luna sebelum Reynata melangkahkan salah satu kakinya keluar kamar. Ia menoleh kearah Luna yang sudah menatapnya dengan serius. "Sebenarnya, gua curiga kalau keluarga Karin terlibat dengan pembunuhan nyokap gua." lanjutnya. 

Reynata tak merespon apapun selain menatap saudaranya. Ia meyakinkan dirinya kalau tidak salah dengar dengan pernyataan Luna. 

"Sebenarnya udah beberapa hari ini, gua berusaha cari tahu dengan bertanya sama paman dan bibi gua... bahkan, gua juga udah ketemu sama para pembunuh nyokap di penjara dengan didampingi sama Paman Agung." lanjutnya. 

Reynata berusaha menguasai dirinya dari  rasa terkejut. Ia menoleh ke kanan dan kiri. Mengecek kalau tak ada siapapun yang ikut mendengarkan diluar kamar. "Keberatan enggak kalau gua mau tahu lebih jauh soal omongan lu barusan? Kalau enggak keberatan, mau gua tutup pintunya supaya enggak ada yang dengar." tanyanya. Kini, gilirannya berkata dengan serius. Ia merasa kalau apa yang sedang dilakukan Luna benar-benar akan menjadi masalah yang serius dan menyangkut keutuhan keluarganya. 

Luna mengangguk setuju, "Lagipula, kayaknya gua emang butuh seseorang untuk berbagi." jawabnya dengan tenang. Ia meletakkan amplop usang ditangannya kedalam laci. Mengurungkan niatnya untuk membaca dan memilih untuk bercerita. Meskipun masih ada ragu dalam dirinya, namun ada dorongan cukup kuat dari dalam hati yang membuatnya yakin tidak akan ada masalah kalau ia bercerita pada Reynata. "Tapi, bisa enggak lu berjanji untuk enggak cerita lagi sama saudara-saudara yang lain sampai waktunya tepat?" tanyanya. 

Reynata mengangguk kemudian duduk ditepi tempat tidur Luna. Ia menaikkan kedua kakinya keatas dan menyilangkannya. Menyiapkan diri untuk mendengar kelanjutan cerita saudaranya. "Apa yang bikin lu mengira kalau keluarga Karin terlibat sama kematian nyokap lu? Bukannya waktu awal ketemu, lu sendiri yang bilang kalau almarhum nyokap tewas karena jadi korban perampokan?" 

Luna memutar bangkunya supaya bisa duduk berhadapan dengan Reynata. "Iya. Kasus nyokap memang dianggap sebagai korban perampokan." jawabnya. 

"Jadi, apa lu punya bukti soal pernyataan lu tadi?" 

Luna menggelengkan kepalanya, "Belum. Tapi.. lu masih ingat kan, soal perkataan Paman Agung setahun lalu.. soal adanya dalang utama yang belum tertangkap dari kematian orangtua kita?" 

Reynata menganggukkan kepalanya. "Gua masih ingat, tapi jujur aja gua enggak mau lagi mengungkit soal kematian nyokap." nadanya terdengar sedih. 

"Sorry. Gua enggak maksud buat mengorek luka lama." jawab Luna yang berubah prihatin. "Tapi, gua berniat buat nyari tahu kebenarannya dan mencari keadilan buat nyokap gua." lanjutnya, "Dari kemarin gua bolak balik ketemu paman dan bibi, karena mereka selalu mengatakan kalau nyokap Karin terlibat sama kasus kematian nyokap gua."

"Kenapa mereka ngomong begitu? Mereka punya alasan yang kuat?" tanya Reynata yang mengesampingkan kesedihannya. 

Luna mengendikkan dua bahunya, "Sejauh ini mereka enggak ngasih bukti apapun selain menceritakan hubungan nyokap sama nyokap Karin yang enggak baik."

"Dan lu percaya sama semua omongan mereka?" tanya Reynata. 

"Sejauh ini gua enggak bisa menyimpulkan apapun, selain mendengarkan semua cerita mereka. Bibi gua yang namanya Rindi, percaya kalau kematian nyokap karena rasa enggak suka nyokap Karin." Luna menyedekapkan dua tangannya ke dada dan mengambil nafas panjang kemudian menhelanya keluar, "sepintas, masalahnya kelihatan tentang pembagian kasih sayang kakek dan ayah yang menurut nyokap Karin enggak adil." 

"Itu menurut cerita bibi lu, kan? Kalau menurut paman Agung, gimana? Lu cerita juga kan soal dugaan lu ini ke dia?" tanya Reynata. 

Luna menganggukkan kepala, "...dan yang mengejutkan adalah Paman Agung juga memiliki dugaan kalau dalang utama kematian orangtua kita adalah keluarga Karin. Ada dua nama yang disebut sama Paman." katanya. 

"Siapa?" tanya Reynata. Ia mulai merasa cemas saat mengetahui Paman Agung juga memiliki dugaan kalau keluarga Karin terlibat dalam kasus pembunuhan beberapa belas tahun lalu itu

"Talitha dan Iqbal." jawab Luna. "Mereka adalah bibi dan paman Karin." 

Reynata terdiam. Tak lagi mengeluarkan suaranya untuk bertanya. Ia merasa bingung sekaligus cemas. Bingung karena kenyataan yang tiba-tiba muncul namun masih belum kuat karena kurangnya bukti dan masih berupa dugaan. Sedangkan ia merasa cemas, karena dua nama itu tercetus dari Paman Agung. Itu artinya, kemungkinan besar dua orang itu memang terlibat dengan kasus pembunuhan orangtuanya. 


My Lovely Sisters 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang