Benang Tak Terlihat

164 21 2
                                    

Menjelang senja, Karin baru saja melangkahkan kedua kakinya ke dalam pekarangan rumah. Samar-samar ia mendengar suara tawa dan ledekan yang nampaknya berasal tak jauh dari dalam pintu rumah. Karin menyunggingkan senyum mendengar suara-suara yang terasa ceria tapi sekaligus perasaan khawatir lambat laun suara gembira itu akan berubah jadi pertengkaran seperti yang biasanya terjadi pada Luna dan Miki. 

Sebelah tangannya menekan gagang pintu, kemudian sambil mengangkat kepala, Karin melihat Luna dan Miki sedang saling merangkul dan seperti hendak menuju ruang keluarga. "Deuh, adem banget lihat dua saudara saling rangkul begini." sapanya sambil melangkah masuk. 

"Kariiiinnn~, akhirnya pulang juga.." sambut Miki yang langsung menghempaskan rangkulan Luna begitu saja, membuat saudara keduanya sedikit oleng karena kehilangan keseimbangan. 

"Iya, tadi nemenin Tante dulu jalan-jalan sebentar sebelum pisah." jawab Karin. Tangannya bergerak memasukkan sepatunya ke dalam rak sepatu. "Kalian udah pada makan siang?" tanyanya dengan pandangan terarah secara bergantian pada dua saudara yang masih berdiri menatapnya. 

Miki memberikan jawaban dengan anggukan, "Udah, sih.. tapi perut gua udah mulai lapar lagi." katanya jujur sambil memegangi perut. 

Karin memberikan jawaban berdeham pelan, "Lu?" tanyanya pada Luna. 

"Udah. Pas lu telepon Paman Agung, kita baru aja selesai makan siang." jawab Luna. 

"Good." Karin berjalan menuju mereka yang menutupi anak tangga, "...buat malam ini, kita pesan makanan aja ya? Kayaknya, gua enggak sanggup kalau harus masuk ke dapur buat masak. Capek." ia berjalan melewati dua saudaranya.

"Oke, kak ! Eh, tapi mau pesan apa?" tanya Miki yang tanpa sadar menggaruk-garuk kepalanya. Luna memandangnya dengan agak jijik, dan sedikit membuat jarak. Ia khawatir adiknya mengalami masalah ketombean atau kutuan sehingga memungkinkan dua benda itu melayang terbang kearahnya. 

"Terserah... yang penting sehat, dan jangan makanan yang terlalu mengandung rasa pedas..." Karin bicara dengan dua kaki telah menginjak satu anak tangga ke atas, "...dan pesan yang mengandung sayur-sayuran, buat dia." jari telunjuk Karin mengarah pada Luna.

"Siap, kak !" jawab Miki dengan bersikap hormat dan satu tangan menempel ke kening, layaknya baru menerima perintah dari komandan tertinggi. 

"Oke, gua mau mandi dulu." kemudian saudara tertua itu berlalu naik keatas. Miki mengambil handphone dari sakunya. 

"Lu mau ngapain?" tanya Luna. 

"Mau pesan makanan di restoran Sonyaria." jawabnya dengan dua mata fokus ke layar handphone.

"Telepon pakai itu?" jawab Luna lagi.

"Ya iyalah, emang pakai apa lagi? Handphone lu? Sini, kalau lu rela pulsanya gua pakai, gua bakal senang banget." jawab Miki sambil menengadahkan tangannya. 

"Ngarep." jawab Luna sambil mendorong kembali tangan adik bungsunya ke bawah, tanda kalau ia menolak permintaannya. Sebenarnya, ia ingin mengatakan kalau sebaiknya Miki menggunakan telepon rumah saja jadi tidak terlalu mengkhawatirkan pulsanya tersedot namun ia urungkan penjelasan itu dan membiarkan adiknya menggunakan handphone-nya. 

Miki berdecak sebal namun enggan berargumen. Handphone ia tempelkan pada telinga kanannya, menunggu seseorang dari restoran yang dituju mengangkat panggilannya. "Halo, restoran Sonyaria?" 

Luna berlalu pergi lebih dulu ke ruang keluarga. Tangannya meraih remote tivi, begitu ia sudah memosisikan duduknya dengan nyaman. Beberapa tombol ditekan, kemudian dia menghela nafas panjang karena tak menemukan acara yang cocok. Tak ada kartun kesukaannya. Tak ada acara sitkom. Akhirnya, tontonannya dialihkan pada berita membosankan di salah satu stasiun televisi. Beberapa menit kemudian, Miki menyusul masuk. 

"Udah pesannya?" tanya Luna. 

"Udah." ia duduk dibawah sofa. Menghela nafas saat melihat acara yang ditonton. "berita, kak? bosan.. ganti dong, yang lain."

"Enggak ada kartun." jawab Luna. 

"Enggak kartun juga, gua enggak demen. Sinetron." pintanya. 

Luna menyerahkan remote tivi pada sang adik. Ia tak mencela atau menolak permintaannya karena memang tak ada acara yang sesuai yang ingin dilihatnya. Sehingga, dia memberi kesempatan bagi Miki untuk menguasai benda kotak datar didepan mereka. 

'Tok tok tok !' Luna dan Miki menoleh kearah luar ruangan saat mendengar pintu rumah diketuk. "Pesanannya udah nyampe? Cepet amat." kata Luna. 

"Enggak mungkin, Lun.. semahir apapun chef masak, enggak mungkin sekarang udah sampai. Ini belum ada 5 menit, terus.. emang yang nganter pakai kendaraan apa'an? awan kinton? teleportasi?" jawab Miki. 

Kemudian, tak lama pintu rumah mereka terbuka. Namun tak ada suara dari orang yang membuka pintu tersebut. "Coba cek, su... itu dia udah masuk." Luna memerintah. 

"Lu aja yang didepan." jawab Miki, yang agak khawatir kalau yang masuk adalah orang asing yang berniat jahat. 

Luna berdecak namun tetap berdiri mengikuti permintaan sang adik. Ia berjalan menuju luar ruangan. 

"BWAAA !" 

Luna tersentak hingga mundur beberapa langkah ke belakang. Suara besar yang mengagetkannya ternyata berasal dari saudara ketiganya, Reynata. "Kampret ! Kaget gua !" buru-buru ia melangkah maju lagi kemudian memukul pundak saudaranya beberapa kali.

Reynata tertawa puas karena berhasil mengagetkan saudara keduanya yang dingin. "Sorry..sorry, abis udah ketuk pintu pun, enggak ada yang nyambut terus gua dengar suara kalian berdua... jadi, timbul ide iseng, eehh tahunya yang kena elu." ia melanjutkan tawanya. Miki ikut tertawa karena senang melihat reaksi Luna yang menurutnya memang lucu. 

Luna mendecak, "eh, omong-omong lu ngapain pulang ke rumah? Besok masih kerja, kan?" tanyanya yang merasa bingung dengan alasan kedatangan Reynata yang tiba-tiba. 

Reynata berjalan masuk. Meletakkan satu ransel besar dan dua tas tangan secara sembarang dilantai. Kemudian, duduk diatas sofa, "Hari ini adalah hari terakhir gua kerja.. alias resign."  ia berkata dengan nada enteng. 

"Resign?" Luna merespon dengan tatapan tak percaya.

"Kenapa, kak? Kok tiba-tiba banget. Ada yang jahatin lu di kantor makanya enggak betah?" tuduh Miki dengan wajah agak memerah karena membayangkan kalau benar kakaknya keluar akibat diganggu.

"Bukan. Gua resign bukan karena diganggu partner tapi keluar karena keputusan sendiri, aja." jawab Reynata dengan tenang. 

"Tapi, kenapa?" tanya Luna yang kini ikut duduk disamping Reynata. 

"Karena, mimpi."

Luna seketika memiringkan kepalanya saat mendengar jawaban Reynata yang terkesan tak masuk akal. "Mimpi?" 

"Maksudnya gimana?" Miki ikut bertanya karena juga tak mengerti dengan korelasi resign dan mimpi yang disebutkan Reynata. 

"Iya.. gua mimpi.. singkat tapi ngena, sampai akhirnya gua putusin buat resign saat itu juga." jawabnya. 



My Lovely Sisters 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang