Ditempat lain, ada laki-laki yang juga tengah mengkhawatirkan serta bertanya-tanya tentang sikap Luna. Arga melihat pesan-pesan whatsapp-nya belum juga dibalas, bahkan dibaca pun tidak. Ia sempat menelepon beberapa kali setelah makan siang, namun nomor yang dihubunginya tidak aktif.
"Ini cewek kemana, sih? Sampe jam segini enggak dibalas juga. Tadi siang, nomornya enggak aktif lagi." gerutunya. Ia sedang berada di warteg favoritnya yang terletak dekat rumah kosnya. Arga mencoba kembali menghubungi nomor kekasihnya itu. Beruntung, kali ini nomor Luna sudah aktif.
"Halo, Ga?" jawab Luna tanpa basa-basi.
"Halo, Lun. Kamu seharian kemana aja sih? Aku wa sama telepon enggak ada yang direspon." jawab Arga.
"Sorry, Ga.. aku lagi ada urusan sama Paman Agung jadi sementara harus matiin handphone dan enggak bisa balas wa kamu."
"Kenapa sampe segitunya, sih? Kamu lagi ngapain emang sama Paman Agung?"
"Ga, pertanyaan kamu kayak nuduh aku lagi macem-macem sama Paman Agung. Pokoknya ada hal penting yang harus aku lakuin. Kalau ada waktu ketemu, bakal aku ceritain." kata Luna.
"Sekarang aja, ceritanya." pinta Arga.
"Enggak bisa, aku lagi ada acara makan malam sama Paman dan Bibi. Jadi, sorry ya aku matiin dulu handphone-nya."
"Eh eh eh !" panggil Arga sebelum percakapan mereka diputus sepihak oleh Luna. Ia tak menyadari teriakannya sudah menarik perhatian dari para pengunjung warteg.
"Apa, Ga?" tanya Luna yang dari nadanya menuntut agar Arga cepat bicara.
"Kamu pulang jam berapa? Aku jemput dan antar sampe rumah, ya."
"Enggak usah, Ga. Kamu istirahat aja, besok masih kerja, kan? Udah ya, bye. Love you." kali ini Luna benar-benar memutus percakapan mereka. Membuat Arga jadi kesal dengan sikap Luna yang seenaknya itu. Dengan kasar, ia meletakkan handphone-nya diatas meja.
"Ck ! Punya pacar seringnya bikin kesel mulu." gerutu Arga yang kemudian memakan nasinya dengan raut kesal.
Sementara di mes, Reynata pun ikut merasa khawatir dengan kabar perubahan sikap Luna. Ia menerka-nerka apa yang terjadi pada saudaranya itu. Tak kunjung menemukan alasan yang bisa menjawab pertanyaannya, akhirnya Reynata memutuskan untuk bergerak cepat dengan menghubungi Paman Agung.
Namun sayang, beberapa kali dia menghubungi, pengacara itu tak kunjung menjawab teleponnya. Reynata berhenti menelepon. Apa pamannya sedang sibuk sehingga tidak bisa dihubungi? Handphone-nya diletakkan secara sembarang di atas kasur lipat. Reynata berpikir mungkinkah ia dan saudara-saudaranya sudah khawatir secara berlebihan. Bagaimana kalau nyatanya, Luna seperti itu memang karena kecapekan? Jangan-jangan memang tak ada yang harus dikhawatirkan selain dia hanya harus mengurus berbagai hal yang berkaitan dengan warisan mendiang ibunya.
Saat sedang berpikir, tiba-tiba layar handphone-nya menyala dan menampilkan pesan whatsapp yang masuk. Dari Miki.
"Rey, si Luna keluar lagi.." pesan Miki terasa seperti laporan baginya.
"Kemana?" tanya Reynata.
Terlihat status Miki yang sedang mengetikkan balasan, "Katanya ada acara makan malam sama Paman dan Bibinya."
"Ooh. Tapi, dia pulang, kan? Apa malah menginap di rumah Paman dan Bibinya?"
"Enggak tahu, cuma dia bilang sama Karin supaya cabut kunci rumah kalau kita tidur. Dia bawa kunci cadangan."
"Oh, berarti dia pulang."
"Mungkin." balasan Miki tak lagi ditanggapi oleh Reynata. Ia berusaha berhenti memikirkan hal buruk mengenai kabar Luna yang akhir-akhir ini sering keluar. Reynata sendiri tidak melihat perubahannya secara langsung, yang membuat Karin dan Miki begitu memikirkannya dan menganggap kalau sikap Luna mengkhawatirkan. Menurutnya, bukankah selama ini Luna memang tipe yang suka bertindak atas kemauannya sendiri?
Reynata merebahkan tubuhnya diatas kasur tanpa penyangga. Ia memilih untuk beristirahat karena besok ada rapat pagi yang harus dihadiri bersama teman-teman satu divisinya.
![](https://img.wattpad.com/cover/95925263-288-k987330.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lovely Sisters 2
Ficción GeneralPertemuan yang terjadi karena permintaan Paman Agung, membuat Karin, Luna, Reynata dan Miki harus menerima kenyataan kalau mereka adalah saudara dari satu Ayah yang sama. Hari demi hari mereka lalui dengan tenang dalam rumah yang diwariskan ole...