Selesai minum, Luna menyandarkan tubuhnya. Ia merasa membuat pergerakan sedikit saja membuatnya semakin lemas. "Jadi, gimana bisa si Arga bantu gua ke rumah sakit? Kalian ngubungin dia? Emang kalian punya nomor teleponnya?" tanya Luna secara beruntun.
"Lu nanya apa interogasi? Kasih jeda, kali." keluh Miki. Ia menyerahkan sekeping biskuit susu ke arah Luna. "Makan, nih... dari kemarin asupan badan lu cuma suntikan sama infusan."
"Bau susu." protes Luna dengan menyingkirkan biskuit itu dari jangkauan penciumannya.
Miki menepis pelan tangan Luna, "Makan! Ini biskuit sehat." perintahnya.
Luna mengerang protes namun tak diindahkan oleh Miki yang masih memaksanya untuk makan. Akhirnya ia menyerah dan menerima biskuit tersebut. "Enggak dikasih racun, kan?" tanya Luna sambil takut-takut menggigit biskuit yang diberikan.
Miki sudah bersiap akan memukul kakaknya, kalau dia tidak ingat Luna saat ini sedang sakit. "Enggak. Itu isinya kasih sayang dan kekhawatiran gua."
"Hiih, jijik." balas Luna. Dahinya mengernyit.
"Sakit aja masih banyak komen dan protes." omel Miki lagi.
"Lu jadi galak, ih."
"Elu sih yang nyebelin." balas Miki.
Luna menggigit lagi biskuit itu. Ia mengernyit ketika merasakan aroma dan rasa susu menjalari lidah dan tenggorokannya. "Jadi... jawab dong pertanyaan gua yang tadi."
"Jadi, kemarin... tiba-tiba pacar lu datang ke rumah. Dia khawatir karena lu enggak ngasih kabar dan susah buat dihubungi. Eh, pas datang ke rumah malah nyaksiin lu pingsan. Dia yang gendong lu ke ruang keluarga sampai masuk ke dalam taksi."
Luna terdiam karena tersedot dalam bayangannya sendiri tentang bagaimana paniknya Arga menolong dirinya. Lalu, tiba-tiba rasa bersalah memenuhi relung hatinya karena sudah membuat semua orang panik akan kondisinya.
"Dia jenguk lu setiap abis pulang kerja sampai jam besuk habis. Kayaknya hari ini, dia pasti datang lagi."
"Hmm, abis ini gua pasti kena omel." gumam Luna. Ia tahu jika Arga mendapati dirinya sudah sadar maka hal pertama yang akan dilakukannya adalah marah karena Luna telah membuatnya khawatir.
Miki mengangguk, "Apalagi Karin... lu sih, kemarin pakai ngunci diri di kamar seharian. Bikin kita semaput." lalu ia bergerak untuk menyerahkan lagi biskuit susu ke arah Luna.
"Belum abis, Ki.." protes Luna lagi. Rasa ngeri akan bau susu membuatnya mulai kesal.
"Tinggal sedikit itu." jawab Miki yang tak mau kalah.
"Nanti, bungsu." jawab Luna, menekankan .
Kali ini Miki menyerah. Ia meletakkan kembali biskuit di tangan ke bungkusnya. Lalu, melanjutkan pembacaan pada modulnya.
"Lu belajar?" tanya Luna.
Miki mengangguk, "Nungguin lu sadar, ngebosenin tahu. Jadi, gua bawa aja modul-modul di kamar."
"Cari pacar, jangan belajar mulu."
"Berisik !" protes Miki yang langsung kesal karena mengungkit dirinya yang terlalu fokus belajar. Luna tertawa kecil. "Tunggu aja kabar bahagianya." lanjutnya.
"Emang udah ada calon?" Luna semakin memancing percakapan.
"Nanti aja cerita-ceritanya. Kalau lu udah balik ke rumah." tolak Miki.
"Emang kenapa kalau disini? Kan lumayan membunuh kebosanan gua dibanding ngelihat tampang lu doang."
"Njir... omongan lu enggak ada yang lebih jujur, Lun?"
Luna tertawa, "Emang mau dengar?"
"Enggak." Miki memilih memfokuskan diri untuk membaca bab terakhir modulnya. Sedangkan Luna, berusaha keras menghabiskan biskuit di tangan yang semakin lama membuatnya mual.
"Ki, lain kali beliin gua biskuit yang rasa kelapa atau apa lah.. asal jangan susu." kata Luna lagi yang dibalas Miki dengan berdeham.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lovely Sisters 2
Ficção GeralPertemuan yang terjadi karena permintaan Paman Agung, membuat Karin, Luna, Reynata dan Miki harus menerima kenyataan kalau mereka adalah saudara dari satu Ayah yang sama. Hari demi hari mereka lalui dengan tenang dalam rumah yang diwariskan ole...