Tiga Saudara (Part 2)

252 23 1
                                    

Miki mengikuti Luna ke dapur kemudian melihat saudaranya itu baru saja selesai mencuci mangkuknya. 

"Lun.." 

"Hmm?"

"Laper. Bikinin sarapan dong." pinta Miki. 

"Ada mie instan, bikin aja sendiri." kata Luna yang menjawab dengan cuek. 

"Enggak mau mie instan." 

"Terus?"

"Apa aja, tapi enggak mau mie instan. Mau makanan yang dimasak sendiri." 

"Mie instan juga dimasak pakai tangan sendiri, kan?" Luna membasuh dua tangannya yang basah ke kain perlak yang disampirkan dengan rak penirisan piring. 

"Lu jangan jadi orang bego, deh kak. Lu pasti ngerti lah apa yang gua maksud makanan yang dimasak sendiri." Miki mulai kesal. 

Luna terkekeh, "Enggak ada bahan buat dimasak, kita kemarin lupa belanja karena keasyikan makan diluar." 

"Ya udah, belanja dulu yuk." ajak Miki. 

"Lu udah mandi? Gua enggak mau ngajak orang yang belum mandi. Malu." Luna menatap Miki yang sedang menguap sambil ditutupi dengan dua tangan. 

"Biarin lah. Lagian gua enggak mandi pun masih cantik, kok. Orang enggak akan ada yang tahu. Lu sendiri, emang udah mandi?" 

"Udah lah. Lu enggak lihat aura dan kecantikan gua udah maksimal? Buta ya?"

 "Najis, kenarsisan lu bikin gua eneg."

 "Enggak nyadar kenarsisan lu juga udah parah?" 

Miki tertawa kecil, "Gua kan belajar dari ahlinya." mengarahkan jari telunjuknya ke Luna, "Belajar dari lu, hahaha."

Luna mendesis, "Seenggaknya lu cuci muka dan sikat gigi lah." 

"Udaaaahhh ! Enggak usah dikomando, keleus." Miki bergerak keluar dari dapur setelah meletakkan cangkirnya secara sembarang di westafel. Ia kembali lagi dengan hanya memunculkan kepala dan pundaknya di sela pintu masuk, "Eh, Lun tapi duit belanjanya pake punya lu, ya." ia menyeringai sebelum akhirnya benar-benar pergi. 

Luna menggeleng pelan sebelum akhirnya ikut keluar dari ruang dapur. Bedanya, ia harus ke kamar terlebih dahulu untuk mengambil dompetnya. Sedangkan, Miki sudah menunggu didepan pintu rumah. 

***

Di butik, Karin sudah kembali ke meja resepsionisnya sebelum dua jam yang lalu membantu rekan-rekannya mempersiapkan pemotretan. Dila, sang pemilik butik, mengatakan sepasang kekasih akan datang hari ini untuk pemotretan prewed. Butik Aurora memang bukan hanya menyiapkan pakaian-pakaian yang cantik dan bagus melainkan juga menyediakan tempat untuk pemotretan pra-wedding yang tempatnya berada dibagian belakang bangunan dan sudah di-desaign khusus. 

"Rin, nanti kalau Mba Kalinda udah sampai langsung dibawa ke ruangan aku aja, ya." pesan Dila. 

"Iya, Mbak. Emang katanya mau datang jam berapa?" 

"Tadi, sih Kalinda-nya bilang sebentar lagi sampai." katanya, sebelum akhirnya Dila berpamitan untuk masuk ke dalam ruangan. 

Karin kembali berkutat dengan komputernya. Membaca deretan pertanyaan yang masuk ke dalam e-mailnya. Ia menjawab satu persatu pertanyaan email tersebut dengan gaya bahasa yang ramah. 

Tak lama kemudian, terdengar pintu didorong oleh seseorang dari luar. Membuat bel kecil yang sengaja digantungkan pada bagian atas tepi pintu berbunyi dan membuat Karin menoleh untuk melihat tamu yang baru saja datang itu. 

Seorang perempuan masuk dengan menyunggingkan senyum kearah Karin. Perempuan itu terlihat seumuran dengan Karin serta memiliki tinggi badan yang juga sama seperti dirinya. Kulitnya putih, dua bola mata bulat berwarna hitam hampir memenuhi bagian putih matanya, dan jelas dia menggunakan lensa kontak. Rambutnya sebahu dengan gelombang agak berantakan yang membuat wajahnya terlihat lebih manis dan sensual. Bibirnya agak tebal diberi lipstik berwarna merah. Ia memasangkan jepitan kecil berbentuk pita dirambutnya dengan warna senada dengan lipstik bibirnya. Karin harus mengakui perempuan yang kini sudah berdiri didepannya sangat cantik dengan gaya agak kekanak-kanakkannya. 

"Selamat pagi, Mbak. Saya  Kalinda, udah buat janji pemotretan sama Mbak Dila." katanya dengan ramah. 

"Oh, Mbak Kalinda, ya? Udah ditunggu kedatangannya sama Mbak Dila." Jawab Karin, tapi dia merasa ada yang kurang. "Tapi, Mbak-nya kok cuma sendirian? Hari ini pemotretan prewed, kan?"

"Oh, iya.. tunangan saya masih di mobil, lagi telepon. Katanya sebentar lagi nyusul."

 "Oh gitu, ya udah mari Mbak saya antar." Karin keluar dari meja resepsionisnya dan bergerak mendampingi tamunya itu ke ruang Dila. 

Saat kembali ke meja resepsionisnya. Karin melihat seorang laki-laki berdiri sambil memandangi handphone ditangannya, gerak geriknya seperti sedang menunggu sosok yang seharusnya menempati meja resepsionis didepannya itu. Karin berpikir mungkin dia adalah tunangan perempuan tadi yang kini kebingungan ingin menyusul kekasihnya. Buru-buru, Karin menghampiri laki-laki yang mengenakan berpakaian formal itu. 

"Maaf, Pak ada yang bisa saya bantu?"

 Laki-laki yang semula fokus dengan handphone ditangannya menoleh, menampilkan wajah yang tak asing lagi bagi Karin. Membuat perempuan itu mematung ditempat dengan dua mata terbelalak. Bibirnya mengatup rapat. Raut wajah keterkejutan yang sama juga ditunjukkan oleh laki-laki didepannya. 

Fathian. 

Nama itu terucap hanya di dalam kepala Karin. Tiba-tiba jantungnya berdetak dengan cepat karena kemunculan seseorang yang tak disangkanya akan dilihatnya lagi.

"Karin?" Akhirnya Fathian bersuara. 


My Lovely Sisters 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang