"Tapi, Ayah menolak permintaan kami. Begitupun, dengan Mbak Luci karena merasa kasihan dan enggak bisa harus menghancurkan kepercayaan Ayah padanya. Lagipula, mitra utama bisnis Ayah adalah keluarga Budiman. Itulah yang membuatku dan saudara-saudara lain menyalahkan sikap lembek dari Mbak Luci." Bibi Rindi melanjutkan. "Kami enggak nyerah, dan memilih bicara dengan Budiman. Karena, posisinya yang enggak mencintai Mbak Luci, kami berharap dia mau jadi pihak yang mau menceraikan Mbak Lucy sehingga dia terbebas dari tanggung jawab."
Luna dengan susah payah menelan ludahnya. Dadanya terasa agak sesak. "Terus, Bi?"
"Sayangnya, ekspektasi kami terlalu jauh. Ketika, kami datang untuk memintanya menceraikan Mbak Luci, dia menolak. Dia mengatakan jika dirinya berpisah dari Mbak Luci, maka bukan cuma hubungannya aja yang tercerai tapi juga bisnis dan kepercayaan antara Ayahnya."
"Jadi, maksudnya... Ayah lebih mementingkan ikatan bisnis dengan kakek daripada kebahagiaan Mama?"
"Memang itu, tujuan pernikahan mereka diadakan. Ayahmu sama aja kayak dua kakekmu yang memanfaatkan kebaikan dan kepatuhan Mbak Luci demi bisnis." Bibi Rindi menegakan punggungnya. Masih dengan dua tangan yang disedekapkan. "Kemudian, kebencian kami berlanjut ketika Kakek dari pihak ayahmu mengatakan akan mengangkat siapapun dari istri-istri ayahmu yang bisa melahirkan seorang putera, menjadi penerus utama bisnisnya. Padahal jelas-jelas, usaha Kakek dari pihak Ayahmu bisa bertahan juga karena siasat dan rencana bisnis yang dikerjakan oleh Ayah kami. Seharusnya, jika pihak Ayahmu tahu balas budi, enggak perlu dibicarakan pun, keturunan dari Mbak Luci lah yang menerima semua itu. Enggak peduli dia melahirkan putera atau puteri."
Luna agak mendongak keatas. Untuk menahan cairan hangat yang terasa menggenang dipelupuk matanya, agar tidak jatuh. Berhasil. Ia bisa kembali menahan dirinya. "Bibi, aku rasa sudah cukup mendengar soal alasan kebencian kalian terhadap Ayahku..." kata Luna. Suaranya agak bergetar namun tak terdengar oleh Bibi Rindi. "Sedikit-sedikit aku mulai ngerti sikap kalian selama ini, dan aku benar-benar minta maaf karena begitu lambat mencari tahu hal yang sebenarnya." ia kembali memfokuskan pandangannya ke Bibi Rindi. "Tapi, masih ada hal lain yang ingin aku tahu."
Dua bahu Bibi Rindi terlihat sedikit terangkat ketika menarik nafas panjang. Membalas tatapan dari keponakannya itu. "Apa?"
"Bibi selalu mengatakan kalau kematian Mamaku karena ada keterlibatan Ibu Karin. Apa itu.... emang benar?"
"Kamu enggak percaya? Itu urusanmu. Tapi, aku enggak punya kepentingan buat membohongimu. Aku dan saudara-saudaraku cuma mau supaya Mbak Luci mendapatkan keadilan dan hak atas pengorbanannya. Dan sekarang, dia sudah enggak ada.. dulunya kami berharap kamu bisa memiliki satu misi dengan kami tapi nyatanya..." Bibi Rindi mendengus dan menyeringai bersamaan. "Kamu malah jadi pengkhianat."
"Bibi.. kumohon jangan bilang aku seperti itu." kata Luna tanpa ada nada permohonan dari perkataannya.
"Kenapa? Apa penolakanmu itu sebagai tanda kalau sekarang memilih berada dipihak kami?" tanya Bibi Rindi.
"Jangan kasih aku pilihan, Bi. Sekarang yang ingin kulakukan cuma menemukan dalang pembunuhan Mama, dan kuharap Bibi bisa kasih tahu aku apapun mengenai informasi itu."
Bibi Rindi melihat kearah jam kecil keemasan yang melingkar ditangan kanannya. Pukul 3. "Kita bicarakan ini lain waktu. Aku harus pergi sekarang." jawabnya dengan sinis dan raut wajah enggan. Ia beranjak berdiri dari tempatnya duduk.
Luna ikut berdiri sambil menggendong ransel kecilnya dan menenteng paperbag-nya. "Kapan Bibi ada waktu lagi? Aku mau ngobrol lebih lama sama Bibi."
Bibi Rindi mengangkat dua bahunya, "Enggak tahu, deh. Minggu ini aku agak sibuk."
"Tolong luangkan waktu Bibi. Dimana aja, akan aku datangi. Kalau perlu aku yang akan menanggung biaya fasilitasnya kalau Bibi mau bicara diluar."
Bibi Rindi lagi-lagi menyeringai, "Sudah kaya sekarang." gumamnya, "Oke, Bibi akan menghubungimu soal waktunya. Yang paling penting saat ketemu, kamu lebih siap mendengar kebenarannya."
Luna mengangguk, dan bergerak hendak melewati Bibinya menuju pintu keluar.
"Pernyataan Bibi enggak akan berubah tentang Ibu Karin yang terlibat pembunuhan Mamamu. Dia dan dua saudara kandungnya sudah bekerjasama mencelakai ibumu." Bibi Rindi berhenti bicara dan memerhatikan tatapan Luna yang penuh rasa penasaran.
"Aku harap secepatnya Bibi menghubungiku buat ngomongin ini..." Luna memaksakan diri untuk tersenyum, "Makasih udah luangin waktu nerima tamu sepertiku."
"Ya." Bibi Rindi membukakan pintu rumahnya. Luna melangkah keluar. Tak lama ia mendengar pintu dibelakangnya sudah ditutup kembali. Luna menarik nafas panjang dan mengeluarkannya perlahan. Ia meyakinkan dirinya sendiri kalau ia masih baik-baik saja, kemudian melangkah kedua kakinya pergi dari kediaman Bibi Rindi. Ia harus segera sampai di rumah. Dia butuh menenangkan diri di kamar. Tanpa ada gangguan orang lain. Termasuk, saudara-saudaranya.
![](https://img.wattpad.com/cover/95925263-288-k987330.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lovely Sisters 2
General FictionPertemuan yang terjadi karena permintaan Paman Agung, membuat Karin, Luna, Reynata dan Miki harus menerima kenyataan kalau mereka adalah saudara dari satu Ayah yang sama. Hari demi hari mereka lalui dengan tenang dalam rumah yang diwariskan ole...