Extermination (Part 1)

231 22 0
                                    

Keesokan paginya, saat Luna dan Miki bangun dari tidurnya dan turun ke bawah mendapati informasi dari Karin kalau Reynata sudah pergi. Mereka bertemu dengan kakak tertuanya itu sedang sarapan seorang diri sembari menonton televisi yang memutarkan acara gosip. 

"Gua cuma masak telur ceplok sama kangkung buat sarapan.. Males bikin yang ribet-ribet." kata Karin. Tak ada jawaban yang dilontarkan dari kedua saudara berwajah masih mengantuk itu. Miki berjalan lebih dulu ke dapur dengan Luna yang mengekor dibelakang. Ia belum terlalu lapar saat ini namun tenggorokannya terasa kering. 

"Lun, obatnya jangan lupa dimakan kalau udah selesai sarapan." Karin menginstuksikan dengan sedikit berteriak supaya bisa didengar oleh Luna yang semakin menjauh. Tetap tak ada respons yang diberikan oleh Luna melainkan terus melangkah masuk ke dapur. Sikapnya dari luar seperti tengah kesal namun sebenarnya ia hanya masih belum sepenuhnya sadar dari rasa kantuk dan mood-nya juga masih mengambang. 

Luna bergerak mengambil segelas dari rak peralatan makan kemudian mengisinya dengan air hingga penuh. Sambil minum, ia memperhatikan adiknya bergerak tidak seimbang mengambil sepiring nasi dan lauk-pauk yang disebutkan oleh Karin. "Laper, cuy?" tanyanya yang kemudian mendekat ke arah Miki. 

"Enggak juga, sih. Cuma habis ini gua mau mandi karena mau nemenin Dani jalan-jalan lagi.. makanya, sekarang gua isi perut dulu." jawab Miki yang tengah menggaruk kepalanya yang tiba-tiba gatal dengan satu tangannya memegangi piring. 

"Pagi-pagi?" tanya Luna yang sudah duduk dikursi makan. 

Miki menganggukkan kepalanya. Ia melangkah menuju lemari untuk mengambil gelas. "Katanya biar bisa explore tempat lebih banyak daripada kemarin dan katanya lagi... biar bisa lebih berlama-lama jalan sama gua." ia menyunggingkan senyum senang.  

"Hemm... kayaknya dia juga punya perasaan sama lu, ya Ki?" tanya Luna. 

"Enggak tahu juga, sih... tapi, menurut lu, gimana?" Miki malah bertanya balik. 

"Ya tadi, gua bilang.. kayaknya doi juga punya perasaan spesial sama lu. Buktinya ngajak jalan mulu dan bilang mau menghabiskan waktu lebih lama sama lu... itu kan, artinya dia nyaman sama lu." 

Miki ikut duduk dikursi makan dan berhadapan dengan Luna, "Gitu ya.." tanggapnya, "kalau diingat-ingat lagi, sih.. setiap jalan, kita emang enggak pernah kehabisan topik buat diomongin.. selera humor kita juga sama, makanya guaenggak pernah ngerasa bosan kalau lagi jalan sama Dani.. dan kayaknya, Dani juga ngerasain hal yang sama." 

Luna mengangguk-anggukan mengerti, "Gua doain setelah hari ini, lu bisa cepat-cepat jadian sama dia, deh Ki.." 

"Amiiiinnn." Miki tersenyum senang mendapat doa baik dari Luna, "baru kali ini, gua ngerasa senang bangeettt sama omongan lu. Coba bisa begitu terus, enggak frontal mulu." 

Luna mengangguk pelan kemudian tersenyum, "Ya udah, ah.. gua mau mandi soalnya mau pergi juga." ia berdiri. 

"Lho, mau kemana? Emang diijinin sama Karin?" tanya Miki yang heran. 

"Mau ke kantor Paman Agung. Gua udah bilang, kok sama dia..." lalu dia menghilang karena sudah menaiki tangga menuju kamar.

"Mau ngapain lagi dia ke kantor, Paman?" gumamnya. Buru-buru, ia berdiri dan bergerak pergi menuju ruang keluarga, tempat Karin berada. "Kak, Luna katanya mau ke kantor Paman, hari ini?" tanyanya dan ikut duduk dibawah. 

Karin menganggukkan kepalanya, "Iya."

"Kakak ngijinin?"

Dia menganggukkan kepalanya sekali lagi. 

"Ditemenin sama lu, kah?" tanya Miki yang ingin tahu lebih jauh lagi. Ia menyuapkan potongan telur ke dalam mulutnya.

"Enggak, dia jalan sendiri. Tadinya, gua mau nemenin tapi waktunya enggak cocok, karena hari ini juga ada janji temu sama tante gua. Sekalian makan siang." jawab Karin. 

"Hoo, tapi... apa enggak apa-apa ngebiarin dia jalan sendiri?" tanya Miki yang diam-diam khawatir. 

Karin mengendikkan bahunya, "Dia yang bersikukuh buat jalan sendiri... tadinya, gua mau ngutus lu buat nemenin dia hari ini, tapi enggak mau." 

"Oh gitu... tapi, kalaupun dia minta gua buat nemenin, gua tetap enggak bisa ikut, sih." kata Miki mengeluarkan suara sesal. 

"Kenapa?"

"Mau jalan sama Dani." jawab Miki.

"Oh.. jadi gitu. Lu lebih mentingin jalan sama cem-ceman dibanding nemenin saudara lu pergi yang bahkan kondisinya belum jelas udah sehat atau belum?" Karin menggelengkan kepalanya perlahan, berakting seolah kecewa dengan pilihan yang diambil oleh adik bungsunya itu. "jadi, cuma sebatas itu rasa sayang dan peduli lu sama saudara? langsung teralihkan begitu dihadapkan sama pilihan harus jalan sama cem-ceman atau nemenin saudara lu?" tambahnya lagi. 

Miki melongo mendengarkan ucapan sinis yang dilontarkan oleh saudara tertuanya itu. Tangan kanannya yang sedang memegang sendok pun langsung kaku. Tatapan dua matanya tak lepas dari wajah kakaknya. Perlahan ia menurunkan sendoknya, matanya berubah sendu karena perkataan Karin barusan sukses menciptakan rasa bersalah. "Maksud gua bukan, gitu Kak... suer, kesannya gua kejam banget."

"Terus, kalau bukan itu maksud lu.. jadi, maksud lu yang mana?" tanya Karin meneruskan keusilannya. Ia merasa seru juga kalau sesekali mengusili adik bungsunya itu. Ia menahan tawa geli saat melihat ekspresi rasa bersalahnya. "Gua aja sebenarnya segan buat ketemu sama tante gua.. karena terpaksa aja, akhirnya gua jadi jalan.. tadinya mau gua batalin, tapi Luna ngelarang." katanya lagi. 

Perlahan bibir Miki mulai mengerucut. Ia meletakkan piringnya, "Sumpah deh, Kak bukan kayak gitu maksud gua." dia diam dan berpikir. Karin penasaran reaksi Miki selanjutnya, "ya udah, gua batalin aja deh jalan-jalan hari ini.. gua emang o'on banget, padahal udah tahu Luna masih belum sehat betul, malah milih jalan-jalan sama orang lain." 

Karin mulai tak tega melihat perasaan bersalah dari sang adik. Kemudian, ia mencairkan suasana dengan tertawa geli. Miki mengangkat wajahnya dan bertanya-tanya kenapa tiba-tiba kakaknya tertawa begitu geli. Apa yang begitu lucu? Melihat Miki yang tak kunjung mengerti dengan keusilannya, akhirnya Karin berhenti tertawa. "Sorry sorry.. gua cuma becanda, kok.. enggak maksud buat bikin lu merasa bersalah. Jangan dibatalin, yah." kata Karin sambil memegangi pundak adiknya. 

"Tapi... benar juga apa kata, lu Kak... Luna kan belum sepenuhnya sehat, kalau ada apa-apa, gimana? Mending gua nemenin dan jagain dia,kan?" 

Karin tersenyum, "Walaupun lu ngomong, begitu.. emang Luna mau dengerin? Dia aja ngelarang gua buat ikut apalagi elu.." dia menepuk-nepuk pelan, "gua tadi cuma becanda, kok... jangan baper, ya.." lalu ia terkekeh. "Nanti, gua bakal ngehubungin Paman Agung, supaya bisa antar Luna pulang ke rumah dengan selamat." 

Bibir Miki kembali mengerucut. Alisnya bertaut. Rautnya berubah kesal. "Ih, lu kok jadi suka ikut-ikutan Luna, deh Kak.. ngusilin gua." omelnya. 

"Sesekali, Ki.. hahaha, gua kan juga mau tahu gimana rasanya bisa ngusilin lu.. ternyata, asyik juga.. apalagi, pas lihat lu ngerasa bersalah, tadi. Lucu, hahaha." 

Miki semakin sebal, "Iiih, apa'an, sih.. Tadi, gua beneran baper, tahu gara-gara kata-kata lu, Kak." omelnya lagi. 

Karin menepuk-nepuk pelan kepala adiknya, "Iyaa, maaf deh maaf.. enggak diulangin, lagi. Janji." 

Miki memeletkan lidahnya, tanda tak mudah percaya. Kemudian, membalikkan badannya agar bisa ikut menonton televisi. 



My Lovely Sisters 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang