Mobil yang ditumpangi Luna dan Reynata berhenti di depan sebuah bangunan berlantai dua yang di sekitarnya terdapat taman yang luas. Jarak bangunan dengan gerbang pun tidak dekat.
"Ini...lahan kosongnya lebih banyak dibanding bangunannya." komentar Luna, "di Jakarta masih ada tanah luas kayak gini, ya." Reynata tak menjawab, dia lebih mengkhawatirkan situasi saat ini. Lagipula, dia tidak mengerti kenapa Luna masih sempat memerhatikan area sekitarnya dibanding memikirkan apa yang akan terjadi pada mereka setelah bertemu dengan Tante Talitha.
Keduanya kemudian digiring masuk ke dalam bangunan dan diarahkan pada sebuah ruangan yang mirip dengan kantor. Disana sudah ada Tante Talitha duduk di belakang meja berukuran cukup besar bersama seorang pria paruh baya yang juga duduk disampingnya. Keduanya tersenyum.
"Halo, gimana perjalanannya? Kena macet?" tanya Tante Talitha dengan wajah ramah. Ia kemudian mengisyaratkan keduanya untuk duduk berhadapan dengannya. "Kalian pasti capek, dari rumah sakit langsung kesini. Mau dibikinin minuman apa?" tanyanya lagi.
"Enggak perlu. Kita selesaikan ini dengan cepat, supaya kami bisa segera kembali ke rumah sakit dan omong-omong Tante apain Karin? Tadi, salah satu anak buah yang menjemput kami bilang dia pingsan." tanya Reynata dengan dingin.
"Enggak diapa-apain, cuma sedikit berjaga-jaga, siapa tahu ada yang mau mengkhianatiku." jawabnya dengan enteng, "mmm, gimana kalau jus jeruk dingin. Kalian pasti butuh yang segar-segar, kan?" Tante Talitha tersenyum kemudian tanpa menunggu tanggapan dari Luna dan Reynata, ia mengisyaratkan pada salah satu anak buahnya yang masih berdiri di dalam ruangan untuk membuatkan minum yang dimintanya. "Jadi, mana laptopnya?" tanyanya lagi.
"Tanya aja sama anak buah Tante, dia yang ambil, bahkan Hp kami juga disita." jawab Luna dengan ketus.
Salah satu anak buah lainnya bergerak maju dan menyerahkan laptop Reynata. Tante Talitha menerimanya, "kalau Hp memang aku yang perintahkan, siapa tahu selama di mobil kalian menghubungi seseorang melalui pesan singkat dan mengatakan mau bertemu denganku." jawabnya.
Luna mendecak, "Padahal sendirinya yang mengajukan jalan damai, begitu dituruti, tapi tetap aja kami dicurigai secara penuh." komentarnya.
"Wajar, kan?" tanya Tante Talitha, "kalau penjahat curiga sama orang-orang yang berpikir mau jadi pahlawan?"
Luna berekspresi mengerti dengan maksud perkataan Tante Talitha, "Aa iya, aku lupa kalau lagi berhadapan sama penjahat. Makasih udah diingetin." sindirnya.
Tante Talitha hanya memberikan senyuman sinisnya, "omong-omong, karena sejauh ini kalian enggak melanggar permintaanku, bagaimana kalau aku memberikan sedikit apresiasi. . ." ia melirik kepada pria disampingnya kemudian kembali menatap dua perempuan itu dihadapannya, "perkenalkan, dia Iqbal, Pamannya Karin, atau bisa dibilang dia juga adalah paman sah kalian."
Luna menaikkan sebelah alisnya saat Tante Talitha memperkenalkan pria yang dari wajahnya memang terlihat sama liciknya dengan perempuan disampingnya. "Dia adalah adikku dan yang kuajak bicara dalam rekaman itu." tambah Tante Talitha.
"Oh, jadi ini Paman Iqbal." tanggap Luna, sedikit memberikan beberapa kali anggukan kepala. Reynata pun menatap cukup lama pria disampingnya itu. Pria itu adalah salah satu orang dari keluarga Karin yang dicurigai oleh Paman Agung sebagai dalang pembunuhan orangtuanya. Ia masih ingat dengan seluruh cerita Luna.
Berbeda ekspresi, Paman Iqbal dan Tante Talitha justru heran dengan tanggapan yang diberikan oleh Luna. "Kamu . . . pernah mendengar nama saya?" tanya Paman Iqbal.
"Ya . . . dari Paman Agung." jawab Luna dengan jujur.
"Oooh, sepertinya dia menceritakan sesuatu tentang aku pada kalian, ya?" tanya Paman Iqbal.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lovely Sisters 2
Ficção GeralPertemuan yang terjadi karena permintaan Paman Agung, membuat Karin, Luna, Reynata dan Miki harus menerima kenyataan kalau mereka adalah saudara dari satu Ayah yang sama. Hari demi hari mereka lalui dengan tenang dalam rumah yang diwariskan ole...