Cahaya langit yang sejak pagi meredup akhirnya menurunkan ratusan cairan beningnya. Membasahi tanah-tanah beraspal serta mengisi lubang-lubang kecil yang rusak akibat tak kuat menahan beban berat manusia dan kendaraan yang melintas diatasnya.
Luna sedang dalam perjalanan pulang dengan menumpang mobil Paman Agung. Kepalanya menoleh kearah jendela dengan tatapan mata yang kosong. Otaknya berputar memikirkan setiap jawaban yang keluar dari tiga lelaki paruh baya yang bicara padanya di penjara tadi. Paman Agung hanya memerhatikan perempuan itu dalam diam. Wajahnya penuh keprihatinan karena menduga-duga bagaimana perasaan perempuan itu sekarang setelah akhirnya berkesempatan bertemu dengan para pembunuh ibunya.
"Luna? Kamu baik-baik aja?" tanya Paman Agung yang akhirnya tidak tahan untuk menanyakan kondisi perempuan muda disampingnya.
"Ya."
"Tapi, raut muka kamu sepertinya berkata lain."
"Tenang aja, Paman. Aku baik-baik aja."
"Kamu jangan pikirkan terlalu serius perkataan mereka barusan. Aku udah sering bertanya pada mereka, dan selalu berujung pada kebohongan."
"Oh iya? Kenapa mereka begitu?" tanya Luna tanpa sekalipun mengalihkan pandangannya ke Paman Agung.
"Seperti yang kukatakan dihari-hari sebelumnya... mereka seolah sengaja menutupi sesuatu dan sudah bertekad untuk membawanya sampai mati."
"Kalau begitu enggak ada masalahnya kan kalau kematian mereka dipercepat. Mereka udah enggak ada gunanya, lagi. Dipaksa seperti apapun, mereka bakalan tetap kayak gitu."
Paman Agung terdiam. Dia terkejut mendengar perkataan Luna yang seolah tak memiliki rasa ampun itu. Nadanya terkesan dingin dengan ekspresi wajah yang sulit dideteksi. Ia menghela nafas dan berusaha memahami alasan Luna bicara seperti itu. Siapapun akan merasa tak tenang setelah melihat langsung wajah pembunuh ibu kandungnya, ditambah para pelaku yang juga enggan diajak bekerjasama ketika ada uluran tangan yang bersedia meringankan hukuman mereka. "Biarkan hukum yang melakukan tugasnya, Luna. Tugas kita sekarang mencari bukti kuat lainnya sehingga dengan sendirinya tiga orang itu mau bicara yang sebenarnya."
Luna menghela nafas panjang mendengar tanggapan Pamannya. Hatinya merasa marah dan dendam menyelimuti dirinya.
"Luna, kamu mau langsung pulang atau mau mampir dulu ke kantor Paman. Mungkin, kamu perlu buat menenangkan diri." tawar Paman Agung.
"Aku akan pulang." jawab Luna.
"Baiklah, Paman akan mengantarmu pulang ke rumah." kata Paman Agung.
Luna mengalihkan tatapannya dan memaksakan senyumnya, "Terima kasih."
Tak ada lagi percakapan diantara keduanya. Luna kembali fokus memandangi area luar jendela yang basah karena hujan yang semakin deras. Paman Agung memilih untuk membiarkan perempuan disampingnya berkutat dengan apa yang dilihat dan dipikirkannya. Lelaki paruh baya itu beralih fokus menanggapi pesan demi pesan penting yang masuk ke ponselnya.
Mobil yang mereka tumpangi terhenti karena suasana jalan yang sangat padat. Tiba-tiba, Luna teringat belum mengaktifkan handphone-nya sejak awal keberangkatan. Jari-jarinya menekan tombol On/Off. Sesaat setelah handphone-nya aktif, beberapa pesan masuk diterimanya. Salah satunya dikirim oleh Bibi Rindi. Ia mengatakan ingin bertemu dengan Luna pukul 7 malam hari ini karena ingin melanjutkan pembicaraan kemarin.
Luna menegakkan punggungnya dan membaca dengan serius. Bibi Rindi juga memberitahukannya kalau yang datang bukan hanya dirinya melainkan paman-paman dan bibi Lita. Dalam pesan tersebut, Bibi Rindi menyebutkan lokasi tempatnya, disebuah restoran keluarga di daerah Kemang.
Luna menatap jam pada layar handphone yang sudah menunjukkan pukul 15.00. Masih banyak waktu sebelum pukul 7 malam.
***
Akibat kemacetan yang mengular, Luna baru sampai dirumah pukul 16.30. Setelah mengantar, Paman Agung mohon diri untuk langsung pergi karena masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan di kantornya.
Luna bergerak masuk ke rumah karena pintunya tak dikunci. Ia tak melihat keberadaan siapapun didepannya kecuali suara musik dari arah ruang keluarga. Luna memerhatikan kalau lantai rumahnya agak basah seperti habis dipel. Saat akan meletakkan sepatunya di rak, ia melihat Miki meluncur dengan dua kakinya dari arah ruang keluarga dengan posisi membelakanginya. Adik bungsunya itu kembali masuk ke ruangan tanpa menyadari kehadiran Luna. Tak lama, Miki keluar lagi dengan kegiatan serupa namun kali ini dia terjatuh karena terpeleset di lantai yang licin.
Luna bisa mendengarnya meringis sambil menepuk-nepuk bokongnya yang mendarat lebih dulu ke lantai. Kemudian, Miki kembali berdiri dan saat itu lah ia melihat Luna sudah memandanginya dengan menyedekapkan tangan sambil menggelengkan kepalanya.
"Eh, Lun lu udah pulang? Dari kapan lu, disitu?" tanyanya dengan salah tingkah.
"Udah cukup lama sampai ngelihat lu jatuh kepeleset." jawab Luna sambil melangkahkan kakinya menuju pangkal anak tangga.
Miki menggaruk kepala bagian belakangnya yang tidak gatal. Ia malu karena kelakuannya dilihat oleh Luna. "Gua lagi ngepel... terus bosan nungguin lantai kering, jadi sambil main-main."
Luna hanya berdeham mendengar alasan Miki. Ia melanjutkan langkahnya menaiki anak tangga. Dalam pikirannya, Luna ingin segera mandi karena rambut dan sebagian tubuh atasnya basah terkena hujan. Dalam diam, Miki memerhatikan kakak keduanya itu hingga ia tak lagi nampak dalam penglihatannya.
"Dia akhir-akhir ini lagi kenapa, sih? Jadi, dingin lagi begitu... bermasalah lagi soal warisan, ya?" tanyanya pada diri sendiri sebelum akhirnya berlalu kembali ke ruang keluarga untuk mematikan musik yang diputar melalui handphone dan beralih menonton tv.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lovely Sisters 2
Ficción GeneralPertemuan yang terjadi karena permintaan Paman Agung, membuat Karin, Luna, Reynata dan Miki harus menerima kenyataan kalau mereka adalah saudara dari satu Ayah yang sama. Hari demi hari mereka lalui dengan tenang dalam rumah yang diwariskan ole...