Jalan-Jalan (Part 5)

310 29 3
                                    

Luna menghela nafas lega saat sudah keluar dari kediaman Bibi Rindi. Sebisa mungkin dia meredam emosinya sejak pembicaraan mengenai warisan hingga cercaan yang ditujukan untuk mendiang Ayahnya. Ia tidak habis pikir bagaimana bisa ibunya memiliki saudara-saudara kandung bermulut tajam seperti mereka. 

Matahari semakin terik karena jam sudah menunjukkan pukul setengah 12 siang. Luna paling benci jika harus berjalan dibawah teriknya matahari ditambah ia lupa membawa payung karena tasnya yang kecil. Namun tak ada yang bisa ia lakukan selain terus melangkah karena tak ada tempat berteduh disekitar komplek perumahan bibinya itu. Dalam rasa kesal, Luna teringat kembali dengan perkataan bibi-bibinya mengenai keterlibatan keluarga Karin dengan kematian ibunya. Kemudian, merutuki dirinya sendiri karena terlampau terlena dengan aktifitas dan keluarga barunya hingga tak ingat kalau dulu Paman Agung pernah mengatakan masih mencari dalang pembunuhan yang menimpa Ayah dan Istri-Istrinya. 

Benarkah keluarga Ibu Karin berada dibalik kasus perampokan dulu? Kalau benar semua kejadian itu hanya rekayasa, tapi apa alasannya? Luna menggeleng dengan cepat, "Gua enggak boleh kemakan omongan Bibi Lita.." gumamnya, "Tapi, enggak mungkin kan dia asal ngomong cuma karena benci Ayah yang menikahi empat perempuan sekaligus?"

Saat asyik dalam pikirannya sendiri, tiba-tiba handphone-nya bergetar dari dalam saku. Luna memandangi layar handphone-nya yang berkedip-kedip menampilkan nama Karin yang menghubunginya. 

"Halo, kakak tua." sapa Luna. 

"Apa sih, sebut-sebut kakak tua ? Lu pikir gua burung, apa?" suara penuh protes menyapa salam Luna. 

"Kok burung? Kan emang lu kakak tua.. anak pertama disebutnya, kakak kan? dan elu paling tua." jawab Luna dengan nada santai. 

"Lu bisa pakai sebutan lain, kali.. kakak pertama  atau kakak aja juga, enggak apa-apa." 

"Dilidah udah nyaman kakak tua, jadi enggak usah protes. Lu ngapain ngubungin gua, kakak tua?" 

"Lu masih dirumah Bibi Rindi, Lun?" tanya saudaranya itu. 

"Enggak, lagi perjalanan pulang." 

"Ooh, kita mau jalan, nih? Si Miki bawel banget, ngajak keluar kayak anak anjing enggak diajak jalan-jalan sebulan." 

"Iiiih apa'aan sih, kak ! Masa' gua disamain sama anak anjing !" kalimat sahutan dari Miki terdengar agak jauh dari sisi Karin. 

"Enggak apa-apa, Ki... Anak gukguk kan lucu, imut-imut ngegemesin."  kini sahutan terdengar dari Reynata. 

Terdengar tawa dari Karin, "Jadi, sekarang lu lagi dimana, Lun?" tanyanya. 

"Baru keluar dari komplek rumah Bibi Rindi, sih. Mau menuju halte busway. Kalian rencana mau kemana?" 

"Miki ngajakin ke kota tua." 

"Hah !? Siang bolong begini, ke kota tua? Dia mau sunbathing, apa? Panas banget, tahu.. Mataharinya terik." Luna mulai protes. 

"Tahu, tuh. Gua tadi usul ke mall aja, tapi dia enggak mau. Mohon-mohon sampe gelayutan dikaki gua pas lagi duduk disofa ruang keluarga. Percaya enggak lu, Lun ? Ish, kayak anak kecil banget deh." kata Karin. 

Luna tertawa saat membayangkan saudara bungsunya itu bergelayutan dibawah kaki Karin, dan bagaimana ekspresi Karin saat itu. "Dia masih keturunan monkey, kali tuh. Lagian, dia abis sakit kenapa jadi manja gitu, sih? Obat yang dikasih dokter kemarin ada yang salah kali, tuh. Atau dosisnya berlebihan."

"Woi, Lun! Gua denger ya, lu ngatain gua monkey!" terdengar seruan kesal yang jelas datang dari Miki. "Kalau gua masih keturunan monyet, lu emaknya monyet. Orangutan !" Karin dan Reynata tertawa mendengar perkataan dari Miki. "Eh enggak deh, lu cocok yang monyetnya punya pantat merah, si Yaki !"

Luna berdecak kesal dirinya dikatakan sebagai orangutan. "Heh, kampret, kok banyakan lu ngatainnya? Ya udah, terserah. Kita mau ketemu dimana, nih? Gua males kalau harus pulang ke rumah dulu, capek." 

"Ya udah, kita ketemu distasiun kota, aja gimana? Gua sama yang lain naik kereta, biar cepat." kata Karin. 

"Ya udah, nanti kabarin kalau kalian udah sampai. Gua jalan, nih. Bilangin sama Miki, awas kalau ketemu, gua unyek-unyek kepalanya dan hidungnya gua tarik-tarik, biar mirip sama Bekantan." ancam Luna. Karin tertawa keras saat mendengar perkataan Luna sebelum akhirnya sambungan mereka diputus. 

Sambil cengar-cengir, Luna mempercepat langkahnya menuju halte busway yang akan membawanya kearah kota. 

My Lovely Sisters 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang