Menjauh (Part 3)

155 15 0
                                    

Pukul setengah 7 malam, seperti yang dijanjikan pagi tadi, Luna dan Reynata duduk di kafe kopi terdekat apartemen tante Karin. Keduanya sudah berada disana selama 30 menit sambil menunggu kedatangan Karin dan Miki, yang mengabari sedang dalam perjalanan dari rumah sakit. 

Reynata menggosok-gosok tangannya yang terasa agak dingin karena hujan yang sempat turun, ditambah suhu AC kafe yang rendah. Ia mengembuskan nafasnya ke dalam tangkupan tangan agar merasa sedikit hangat. "Lun, enggak mau pindah tempat aja? Disini dingin banget, cuy." katanya sambil menggerak-gerakkan kaki. 

Luna tak merasakan rasa dingin yang sama dan dengan santai mencecap kopinya, "Bentar lagi, mereka sampai. Tahan aja. Lagian, kita mau kemana, di sekitar sini isinya kafetaria sama butik doang kalau pindah-pindah, cuma akan ngehabisin duit." 

"Tapi, disini dingin banget. Lu enggak kedinginan, apa?" tanya Reynata. 

Luna menjawab dengan gelengan kepala, "Lagian lu pakai pesan es kopi. .  . udah tahu, abis hujan." ia memberikan komentar lain. 

Reynata memutar bola matanya karena malas berdebat, padahal yang ia inginkan hanyalah bisa keluar dari ruangan yang sedingin freezer dalam lemari es ini, dan mengembalikan suhu hangat tubuhnya. Ia kembali menggosok-gosok dua telapak tangannya dan mengembuskan nafasnya lagi. "Lu kayaknya cocok deh, tinggal di kutub selatan. Tinggal sama penguin dan anjing laut." ledeknya. Luna tak menghiraukan komentar saudarinya itu. 

Tak lama bel yang dipasang dekat pintu kafe berbunyi, tanda ada pengunjung yang baru masuk. Luna dan Reynata mengalihkan pandangannya dan mendapati Karin bersama Miki menghampiri tempat duduk mereka. Kedua saudari yang baru datang mengernyitkan dahinya ketika melihat Reynata duduk agak bungkuk, seperti kedinginan. 

"Lu kenapa, Rey? Kayak orang kedinginan." tanya Karin. 

"Iya, gua kedinginan disiniiiiiii. . pindah tempat, yuk. Bisa-bisa gua langsung flu dan meler, nih." bisiknya, takut terdengar dan menyinggung staff dalam kafe. 

"Luna enggak kelihatan kedinginan?" tanya Karin, yang melihat pemandangan kontras diantara dua saudarinya. 

"Mas, pesan dong !" Miki yang tak peka dengan kondisi Reynata yang hampir membeku, malah memanggil pelayan untuk memesan. 

Reynata meletakkan kepalanya, dan menempel pada permukaan meja.  Ia merasa putus asa ketika mendengar adik bungsunya mulai memesan, disusul oleh Karin. Ia tak bisa membayangkan berapa lama lagi, ia harus bertahan di suhu sedingin ini. Luna menahan geli melihat kondisi saudarinya. 

Karin terkekeh, "Take away, ya Mbak." 

"Enggak minum disini aja?" tanya Miki. 

"Janganlah, lu enggak lihat Reynata udah mau berubah jadi batu es. Meringkuk." kata Karin. 

Miki menaikkan sebelah alisnya, "Lu kedinginan, kak?" tanyanya dengan tampang polos. 

Reynata mendongak dan menatap adik bungsunya itu, tanpa mengalihkan kepalanya yang masih menempel pada permukaan meja. Ia menggeleng, "Enggak, disini panas banget. Lihat enggak, gua sampe keringetan? Muka merah kebakar? Lihat, enggak?" ia berkata dengan sinis. Luna terkikik. "Jangan ketawa, lu." Reynata mulai mengomel. Luna tak mengindahkan dan tetap tertawa. 

Tak lama, pesanan yang dipesan oleh Karin dan Miki datang. Setelah membayar, keempat perempuan itu keluar dari kafe. Akhirnya, Reynata bisa merasakan suhu yang lebih hangat dan menggerakkan tubuhnya dengan lebih bebas. 

"Tante lu ada di apartemennya?" tanya Luna. 

"Enggak tahu juga, sih. . .  soalnya, tadi pagi dia bilang punya acara makan malam sama temannya dekat-dekat sini, entah udah pulang atau belum. Tapi, gua udah sms kalau kalian akan datang." jawab Karin. 

My Lovely Sisters 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang