Catatan : siapin tissue sebelum baca part ini, kali aja dibutuhin. Yang gak kuat dengan peristiwa berikut bisa tunggu part selanjutnya. Happy reading !
------------------------------------------------------------------------------------------
Jam terus bergerak dan membawa hari menjelang malam. Luna merasakan tubuhnya terguncang-guncang dan menjadi pemicu dirinya tersadar. Ia membuka mata perlahan dengan rasa pusing yang mendera. Tiga orang pria besar duduk membelakanginya. Didepannya terdapat sebuah kardus berukuran persegi cukup besar, terlihat bergerak-gerak seperti ada sesuatu didalamnya yang ingin keluar.
Luna menegakkan tubuhnya dan menyadari dirinya berada di sebuah kapal boat yang melaju membelah perairan berwarna keabu-abuan. Ia tak bisa mengeluarkan suaranya karena selotip hitam yang menutupi mulutnya. Fokusnya terus mengarah pada kardus yang bergerak-gerak didepannya. Tak lama dia menyadari, dia hanya seorang diri tanpa ada kehadiran Reynata. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri. Mengarahkan pandangannya ke depan, mencari kalau mungkin saudaranya itu berada di posisi terdepan diantara ketiga pria yang masih belum sadar dirinya sudah sadar. Ia menatap ngeri pada kardus dihadapannya ketika tak menemukan siapapun dan menduga Reynata, mungkin, dikurung dalam kardus yang bergerak-gerak itu.
Salah satu pria didepannya yang duduk dekat kardus bergerak itu akhirnya menoleh dan tahu Luna sudah sadar. Ia tersenyum sinis, "dia udah bangun, seperti saudaranya yang ada dalam kardus ini." pria itu meletakkan tangannya diatas kardus. Dua temannya yang berkonsentrasi mengendarai kapal boat ikut menoleh ke belakang, menampilkan wajah tak tertarik dan kembali memandang kedepan.
"Kita harus segera selesaikan ini dan kembali. Kalian pastikan enggak ada orang yang memerhatikan kita dari daratan." kata pria berkuncir kuda, yang duduk disamping temannya sebagai pengemudi.
"Aku rasa disini sudah cukup aman." jawab si pengemudi.
Pria berkuncir kuda itu kemudian berdiri menghampiri pria yang duduk dekat kardus yang masih bergerak-gerak itu. Luna mulai menangis saat mendengar jeritan yang tertahan didalamnya. Permintaan maaf terus ia ucapkan dalam hati karena merasa bersalah sudah membuat saudaranya mengalami kejadian paling buruk dan berbahaya ini.
Pria berompi hitam itu memerhatikan dengan tatapan penuh tanya saat melihat Luna menangis. Luna membalas tatapan itu dan memberikan sorot memohon. "Kenapa memandangiku seperti itu? Semua ini terjadi karena ulah kalian sendiri. Jangan mengira kami yang enggak tahu apa-apa ini--yang cuma menjalani tugas, kalian anggap sebagai orang yang jahat pada kalian." omelnya.
Luna menjerit, bermaksud agar mereka mau membuka selotip di mulutnya. Kedua pria itu saling pandang dan nampaknya mereka mengerti dengan maksud isyarat Luna.
"Kayaknya dia mau ngomong sesuatu, coba buka, mungkin dia mau memberikan kata-kata terakhir." perintah pria berkuncir kuda. Pria berompi itu maju dan melepaskan setengah selotip di mulutnya.
"Tolong tolong, jangan sakiti saudara saya. Kalian boleh membunuhku, terserah. . . tapi tolong bawa dia kembali dan bebaskan dia. Saya yang bersalah jadi kalian boleh menjalankan hukuman untukku." pinta Luna.
Pria itu menutup kembali mulut Luna dengan selotip. "Udah kuduga dia akan memohon seperti ini." katanya pada teman berkuncirnya, "kita jangan buang-buang waktu mendengarkannya, nanti malah berujung kegagalan dan kemarahan si Bos Iqbal." Temannya itu mengangguk setuju.
Kedua pria itu mulai mengangkat kardus didepannya. Luna menjerit keras tak sanggup melihat aksi kejam yang akan terjadi didepan matanya.
"Enggak perlu menjerit kayak gitu, kalian akan bertemu lagi nanti." kata pria berompi hitam, "di alam baka." lanjutnya. Kardus dilemparkan. Hati Luna mencelos melihat perlahan kardus itu tenggelam ditelan perairan.
Selanjutnya, kedua pria itu beralih padanya. Mengangkat tubuhnya dan mengarahkannya keluar kapal. Luna berhenti meronta-ronta, dan hanya terisak melihat saudaranya tenggelam. Ia memohon dalam hati, meminta kepada Tuhan supaya diberi mukjizat keselamatan. Jika bukan dia yang selamat, setidaknya dia akan berusaha membuat Reynata hidup.
Kedua pria itu menghitung sampai tiga sebelum akhirnya melemparkan tubuh Luna yang udah lemas itu ke dalam lautan. Tubuh Luna tersedot ke dalam karena tidak bisa menggerakkan kedua kaki dan tangannya yang terikat. Ia memilih membalikkan tubuhnya untuk diarahkan ke kardus yang bergerak tak jauh di bawahnya. Ia menggeliat menuju kardus itu. Kedua tangannya yang diikat ke depan memberikannya kemudahan untuk merogoh ke dalam saku celananya. Mengambil sebuah pisau lipat kecil yang sempat diambilnya dari dalam tas di kamarnya, sebelum keberangkatan mereka ke tempat Talitha dan Iqbal. Pisau yang sempat dibelinya di luar negeri dengan harga diskon--yang memiliki bentuk kecil dan bisa dibawa dengan mudah. Pria yang mengawasi waktu itu tak menyadari kebohongannya dan pisau itu terus berada di kantong yang semula ingin digunakan untuk berjaga-jaga.
Luna terus bergerak mendekati kardus yang berputar secara perlahan didepannya. Mengarahkan pisau itu pada bagian-bagian yang terselotip dan terikat tali rafia yang bersimpul-simpul. Dalam hati, ia merasa lega karena pisau itu bisa bekerja dengan baik meskipun di dalam air. Ia menggerakkan pisaunya dengan hati-hati, takut kalau malah mencelakai Reynata.
Dalam hitungan detik, ia berhasil membuka kardus dibagian dalam. Ia bergidik ngeri melihat betapa niatnya mereka ingin membunuh Reynata. Memasukkannya ke dalam dua kardus agar tak bisa keluar dengan mudah. Setelah berhasil merobek-robek kardus, ia membantu Reynata keluar yang juga dalam keadaan terikat. Dengan susah payah serta mengabaikan rasa sesak di dadanya karena tekanan air dan kekurangan oksigen, Luna bergerak memotong tali ditangan Reynata yang terikat kuat. Reynata menatap sedih melihat usaha Luna menyelamatkannya sedangkan dirinya tak bisa melakukan apapun selain menunggu ikatan di tangannya terlepas. Dirinya juga mulai sesak didadanya.
Diam-diam Luna menyembunyikan rasa sakit yang mulai mendera tubuhnya karena tak ada oksigen baru yang mengisi. Kedua matanya mulai lelah, namun tangan dan tubuhnya terus bergerak ke bagian kaki Reynata. Saat sedang memotong tali terakhir, ia merasakan selotip yang membekapnya dibuka dan membuat gelembung besar keluar dari dalam mulut. Setelah tali terlepas, ganti Reynata yang merebut pisau kecil itu dari tangan Luna. Berlomba dengan waktu dan keadaannya yang semakin terdesak untuk melepaskan tali ditangan saudaranya. Tali berhasil dilepaskan, namun konsentrasi Reynata mulai terganggu ketika akan bergerak kearah kakinya.
Luna menyadari itu. Ia mengambil alih pisau dari tangan Reynata. Berniat akan memotong tali itu sendiri. Reynata memberikan pandangan tak mengerti, namun Luna memberikan isyarat dengan kepalanya agar Reynata segera pergi menuju keatas. Gelembung besar kembali keluar dari dalam mulutnya. Reynata menolak dengan menggelengkan kepalanya. Ia tidak mau selamat seorang diri. Kemudian, mengabaikan kedua kaki Luna yang terikat, Reynata menarik tangan Luna dan berenang keatas bersama-sama.
Situasi yang dihadapi Reynata ternyata tak semudah yang dibayangkan meskipun kedua tangan dan kakinya sudah bebas dari ikatan. Beban tubuh Luna ditambah kondisinya yang sudah mulai lelah, membuatnya tak bisa berenang ke atas dengan cepat. Luna dengan sisa-sisa kesadarannya menyadari kesulitan itu. Ia memaksa melepaskan tangannya dari Reynata. Membuatnya sedikit menjauh.
Luna menggerakkan jarinya menunjuk keatas, "Cepatlah naik keatas dan cari bantuan. Gua bakal berada dibelakang lu. Gua bisa berenang." itulah isi dari setiap gerakan isyarat yang diberikannya. "Percaya sama gua. Kita bakal selamat."
Reynata yang memiliki telepati tinggi itu pun mengerti dan memilih percaya dengan isyarat yang disampaikan Luna. Ia bergerak keatas sedangkan Luna kembali mengarahkan pisaunya ke tali yang mengikat kakinya. Gelembung besar kembali keluar dari mulutnya. Tali akhirnya terlepas, dan Luna berusaha bergerak menyusul saudaranya ke atas.
Sayang, beberapa saat ia berenang, pandangannya mulai kabur. Tubuh Luna yang belum terlalu membaik pasca kecelakaan, terlalu lelah menuruti kemauannya. Ia tetap berusaha menggerakkan kaki dan tangannya untuk menggapai ke atas. Namun, sekitarnya tiba-tiba berubah gelap. Air mulai masuk ke dalam hidung dan kerongkongannya. Membuatnya mengalami penderitaan paling menyakitkan selama hidupnya. Ia terbatuk-batuk saat air yang terasa asin itu terlalu banyak masuk kedalam tubuhnya. Luna berhenti bergerak. Kedua matanya menutup rapat. Ia tahu tak bisa lagi menyusul saudaranya keatas. Ia merasa ini adalah akhir dari hidupnya. Dengan dua tangan memegangi leher, tubuhnya mulai bergerak kebawah. Dalam hitungan detik dan penderitaan, Luna kehilangan kesadaran sepenuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lovely Sisters 2
Narrativa generalePertemuan yang terjadi karena permintaan Paman Agung, membuat Karin, Luna, Reynata dan Miki harus menerima kenyataan kalau mereka adalah saudara dari satu Ayah yang sama. Hari demi hari mereka lalui dengan tenang dalam rumah yang diwariskan ole...