"Enggak kusangka, percakapan singkat itu menjadi percakapan terakhirku dengan mamamu." Bibi Rindi mengakhiri kenangannya. Paman Sophian menghentikan aktifitasnya memakan dessert karena ikut terlarut dengan cerita kakaknya. Untuk pertama kalinya, Luna melihat paman dan bibinya seolah ikut terpukul dengan kematian mamanya setelah bertahun-tahun menghadapi tatapan dan sikap sinis dari mereka.
Dari pengakuan Bibinya, Luna sebenarnya baru tahu kalau maksud dirinya dititipkan pada tetangganya belasan tahun lalu itu karena mamanya akan menemui bibinya. Seingat Luna, mamanya pamit pergi untuk membeli persediaan makanan dan jajanan untuk Luna. Kemudian, di hari itu pula tragedi menimpa mamanya dan mengubah seluruh hidup Luna.
"Ternyata ketakutan mamaku benar-benar terjadi." Luna membuka suara. Dua matanya kosong, tanpa memandang objek yang pasti dan hanya memandang kedepan. "Malam itu... mama menyuruhku untuk tidur lebih cepat supaya bisa dibangunkan ketika Ayah pulang. Mamaku bilang hari itu, aku akan bertemu dengan Ayah yang akhirnya selama berbulan-bulan enggak pulang. Aku dengan senang hati menuruti permintaan mamaku, lalu dalam tidur aku mendengar suara letupan yang enggak begitu keras dari bawah, namun cukup membuatku penasaran. Ketika ku cek, mamaku sudah terkapar bersimbah darah dilantai dengan pintu depan terbuka lebar." kisahnya didengarkan dengan serius oleh paman dan bibinya. Pandangannya kembali fokus. Berganti menatap ke empat orang tua didepannya.
Tangannya meraih amplop yang diberikan oleh Bibi Rindi, "Apa ini isinya surat?" tanyanya pada bibi Rindi, kemudian menerima anggukan darinya. "Mamaku yang menulisnya?" Bibi Rindi lagi-lagi mengangguk. "Kalian udah baca juga isinya?" tanyanya lagi.
"Ya, kami semua membacanya. Surat itu... sepertinya ditulis oleh ibumu sebelum kejadian di kamarnya.
"Oke. Lalu, selain yang udah diceritakan sama Bibi Rindi, apa ada lagi yang ingin kalian sampaikan padaku? Apapun sebelum mamaku meninggal. Apapun perkataannya yang menguatkan kalau keluarga Karina terlibat dalam tragedi itu."
"Ada pengakuan lainnya, tapi sebaiknya lain kali lagi kita bicarakan ini." Paman Rama melihat jam tangannya, "Udah terlalu larut, besok aku harus menghadiri rapat."
Bibi Lita mengangguk, "Aku setuju untuk melanjutkannya lain kali. Besok pagi, aku harus ikut suamiku pergi ke luar kota karena urusan bisnis." lalu dia beralih menatap Luna. "Sebaiknya, kamu atur waktu lagi untuk bertemu."
Luna tak menanggapi. Ia merasakan atmosfir yang begitu berbeda saat ini. Para bibi dan paman yang dulu dia tahu selalu memandang sinis, berkata merendahkan atau menyakitkan kini entah kenapa melunak. Bukan lagi kebencian yang ia rasakan dari mereka melainkan seperti keprihatinan yang diselubungi kesedihan. Mungkin benar, kalau sebenarnya paman dan bibinya itu begitu peduli dan menyayangi mamanya. Mereka terpukul dan ikut merasa kehilangan.
"Aku setuju, untuk melanjutkannya lain waktu. Luna, kamu enggak keberatan, kan?" bahkan sampai seorang Paman Sophian yang terkenal senang melakukan apapun tanpa memikirkan pendapat orang lain kini ikut bertanya padanya.
Luna memandangi paman dan bibinya. "Aku akan memikirkan waktu lain yang tepat." jawabnya.
Kedua paman dan kedua bibinya terlihat bernafas lega. Mereka terlihat mempersiapkan diri untuk pergi.
"Tapi, aku merasa sedikit khawatir akan sulit membuat kita berkumpul lagi seperti ini. Karena, waktu paman dan bibi yang begitu sibuk." kata Luna yang masih berdiam diri di bangkunya.
"Kalau enggak bisa membuat kami berkumpul, kamu bisa datangi kami satu persatu." jawab Bibi Lita. "Itu pun kalau kau mau."
"Boleh? Beneran? Aku enggak akan disinisin, kan, kalau datang tanpa diundang."
"Kabari kami dulu kalau mau datang,supaya enggak bentrok dengan jam sibuk kami." jawab Bibi Rindi.
"Kamu punya nomor kami, enggak? Jangan-jangan malah enggak tahu." kata Paman Sophian.
Luna memberi anggukan, "Aku cuma menyimpan nomor Bibi Rindi. Boleh aku minta nomor kalian?"
"Ckckckckckck, dasar." desis Bibi Lita. "Nomor kerabat aja enggak disimpan. Keponakan macam apa kamu? Kalau ada apa-apa, seperti sekarang, padahal larinya ke kami juga." omel Bibi Lita dengan sinis. "Udah, biar nanti aku yang menghubungimu. Rin, nanti kamu kirimin nomor nih anak." katanya dengan nada ketus. Rindi hanya mengangguk.
"Kamu harus ubah sifat cuekmu itu, Lun. Berikan juga perhatianmu pada Paman dan Bibimu ini. Lagipula, apa yang dikatakan Bibi Lita benar... Kalau ada apa-apa, kamu larinya pasti ke kami. Mamamu juga udah memberi wasiat untuk menjagamu, kan... yaah, walaupun kamu udah cukup besar buat dijaga." kata Paman Raman yang tiba-tiba memberikan nasihat terdengar bijak di telinga Luna.
Luna memberikan senyum tulusnya mendengar perkataan Paman dan Bibinya yang terasa hangat. Layaknya orangtua yang mengomeli anaknya. "Kalau kalian terus seperti sekarang, aku janji akan mengubah sikapku." jawabannya mendapat perhatian dari paman dan bibinya.
"Kalau kamu bisa berhenti membuat kami kesal dan mengikuti nasihat kami, maka kami juga akan bersikap lebih baik padamu." jawab Bibi Lita.
"Oke. Deal !" jawab Luna. Lalu, keempat orangtua itu benar-benar pergi meninggalkan Luna seorang diri di restoran. Ia memanggil seorang pelayang untuk memberikannya tagihan pembayaran.
Beberapa saat kemudian, pelayan itu datang dengan bon ditangannya. Luna membaca tagihan itu dan melihat harga yang cukup fantastis baginya.
"Ini enggak salah hitung, mas?" tanya Luna yang masih tak percaya dengan jumlah nominal diatas kertas bon itu.
"Enggak, mbak. Harga menu udah dijabarkan disana. Totalnya jadi, satu juta lima ratus lima puluh ribu." pelayang laki-laki itu menjelaskan.
Tanpa menghitung ulang, Luna pasrah menyerahkan kartu debitnya yang kemudian diarahkan menuju kasir untuk memproses pembayaran. Ia sekalian membawa tas dan amplop yang diberikan oeh Bibi Rindi.
"Pertemuan berikutnya, mending gua datangi aja satu-satu. Bisa-bisa, enggak balik kuliah gara-gara duit abis buat mereka doang." kata Luna dalam hati. Seusai melakukan proses pembayaran, Luna pergi dari restoran.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lovely Sisters 2
General FictionPertemuan yang terjadi karena permintaan Paman Agung, membuat Karin, Luna, Reynata dan Miki harus menerima kenyataan kalau mereka adalah saudara dari satu Ayah yang sama. Hari demi hari mereka lalui dengan tenang dalam rumah yang diwariskan ole...