Luna sudah bersama dengan kedua paman dan kedua bibinya. Mereka duduk melingkari sebuah meja bertaplak warna putih dengan bahan yang mengkilap. Beberapa piring kosong dihadapan mereka diambil satu persatu oleh pelayan pria yang melayani mereka dengan ramah. Tiga pelayan wanita datang dari belakang untuk menyajikan dessert berupa puding, sepotong cake, waffle bersiramkan madu dan beberapa cangkir kopi.
Luna merasa lega ketika paman dan bibinya tak membawa serta anak-anak atau pasangannya. Karena pertemuan malam ini tentunya untuk membahas kematian mamanya, maka tak seharusnya ada orang luar yang ikut terlibat meskipun itu adalah anak-anak atau pasangan mereka.
"Aku mau ngucapin terima kasih, karena udah diundang ke acara makan malam keluarga seperti ini. Aku pikir paman dan bibi enggak mau lagi menganggapku sebagai keponakan karena sikapku yang menurut kalian menyebalkan." Luna membuka pembicaraan saat paman dan bibinya mencicipi dessert yang disediakan oleh pihak restoran.
Sebenarnya, hampir satu jam setengah suasana diantara mereka terasa canggung. Luna tak bisa dengan mudah ikut masuk dalam perbincangan paman dan bibinya yang hampir keseluruhan topiknya adalah bisnis dan keberhasilan anak-anak mereka.
"Kami memang masih berpikir kamu itu menyebalkan, tapi bagaimana pun kami ingat kamu ini keponakan kami. Anak dari adikku." kata Paman Rama yang kemudian menyeruput kopinya.
Luna mengangguk, "Terima kasih, Paman. Aku senang mendengar Paman masih menganggapku sebagai keponakan.. dan bibi Rindi juga, udah mau kasih aku kesempatan ketemu sama kalian. Makasih juga buat Bibi Lita dan Paman Sophian yang mau ngasih waktunya."
"Jangan sungkan, Paman paling senang kalau diundang makan gratis seperti ini. Entah siapa yang akan bayar, tapi Paman cukup tersanjung diberi makanan dan minuman yang enak direstoran berkelas seperti ini." perkataan Paman Sophian mendapat sambutan kekehan kecil dan senyuman dari paman dan bibinya yang lain. Luna sudah mengerti kalau disaat terakhir, maka dirinyalah yang akan bertanggung jawab dengan pembayarannya.
"Aku juga senang kalau kalian semua senang." kata Luna dengan ramah. "Kalau enggak keberatan, aku mau bercerita sedikit dengan kalian terlepas tentang bisnis dan anak-anak kalian yang sukses."
Paman Rama, Sophian, serta Bibi Rindi dan Lita terdiam dan mendengarkan lanjutan perkataan keponakannya itu.
"Hari ini, aku sudah menemui langsung pembunuh mamaku." aku Luna. "Enggak banyak yang bisa kubicarakan dengan mereka karena nampaknya mereka sudah muak dengan pertanyaan-pertanyaan yang sudah sering mereka dengar dan jawab. Tapi, kemungkinan besok aku akan menemui mereka lagi."
"Apa yang kamu harapkan dengan bertemu mereka, Luna? Mereka itu sudah disumpah agar hanya mengaku kalau alasan membunuh mamamu itu untuk merampok." sahut Paman Sophian.
"Aku mengharapkan mereka bisa mengakui yang sebenarnya." jawab Luna yang langsung mendapat tatapan serius dari paman dan bibinya. Luna meminum air putih yang tersisa sedikit didalam gelasnya, "Walaupun enggak tahu caranya, tapi aku pasti akan membuat mereka mengakui yang sebenarnya..." ada jeda sebentar dari cara bicaranya untuk membalas tatapan dari paman dan bibinya, "Apapun caranya, akan kulakukan." Luna menarik nafas perlahan, "Lalu... selain dari mereka, malam ini aku juga ingin mendengarkan hal yang sebenarnya dari kalian tentang keterlibatan keluarga Karin atas kematian mamaku."
Paman Raman dan Paman Sophian terlihat mendengus lalu kembali meminum kopinya. Bibi Lita mulai memotong perlahan kue cokelatnya dan bibi Rindi mulai memakan wafle-nya.
"Aku udah dengar sedikit cerita dari Bibi Rindi soal mamaku yang menikah atas dasar bisnis. Dan harus kukatakan, aku bersyukur enggak ingat pernah ada kenangan dengan kakekku, yang sudah memaksakan pernikahan itu, dan aku ikut prihatian untuk paman dan bibi yang memiliki kondisi sama seperti mamaku." Luna memotong dan memasukkan potongan kecil kue cokelatnya kedalam mulut. Teksturnya begitu lembut sehingga ia bisa memakan kemudian menelannya dengan cepat. "Tapi, aku juga harus bersyukur karena kalian enggak bernasib senaas mamaku." ada kegetiran dalam kalimatnya yang mulai menarik simpati paman dan bibinya.
Tiba-tiba Bibi Lita berdeham karena merasa tidak nyaman dengan aura kesedihan yang sengaja disebarkan oleh keponakannya itu, "Keadaan mamamu pasti jauh lebih baik sekarang, karena sudah tenang dan enggak akan merasakan kesakitan lagi."
Luna memandangi Bibi Lita sambil menusuk-nusukkan sendok kecilnya keatas kuenya. Tatapannya menunjukkan ketidaksetujuan atas perkataan bibinya. Menurutnya, mamanya belum tenang selama kenyataan atas kematiannya belum terbuka seluruhnya. Luna hanya berdeham menanggapi perkataan bibinya.
"Jadi... berhubung waktu yang terus berjalan dan larut, aku mau tahu kenapa ada keterlibatan keluarga Karin dalam kematian mamaku?" tanya Luna kembali ke topik awal.
Belum terdengar jawaban yang akan memulakan cerita untuk pertanyaan Luna. Melainkan Bibi Rindi yang bergerak mengambil sesuatu dari dalam tasnya dan menyerahkan sebuah amplop usang kepada Luna. Amplop itu sudah memiliki noda-noda berupa garis cokelat yang kotor.
"Apa ini, Bi?" tanya Luna yang hendak membuka amplop itu.
"Baca itu kalau sudah sampai di rumah. Sekarang dengerin apa yang mau kami sampaikan, supaya kamu enggak berulang kali menanyakan hal yang sama." kata Bibi Rindi.
Luna menuruti perkataan bibi Rindi dan mengalihkan amplop tersebut kedalam tasnya. Kemudian, kembali memandangi paman dan bibinya dan mengira-ngira siapa yang pertama kali akan berceloteh untuknya.

KAMU SEDANG MEMBACA
My Lovely Sisters 2
Ficção GeralPertemuan yang terjadi karena permintaan Paman Agung, membuat Karin, Luna, Reynata dan Miki harus menerima kenyataan kalau mereka adalah saudara dari satu Ayah yang sama. Hari demi hari mereka lalui dengan tenang dalam rumah yang diwariskan ole...