Miki sedang duduk dan menyandarkan punggungnya ke sofa. Setelah memberitahukan kepada Karin soal sikap Luna yang aneh, ia diminta untuk menunggu sampai Karin selesai bicara dengan kakak keduanya itu.
Ketika menunggu, tiba-tiba handphone-nya berdering pelan. Reynata menghubunginya. Wajah Miki berubah semringah. Akhirnya ada yang bisa dia lakukan selama menunggu Karin selesai bicara dengan Luna.
"Halo, Reyyyyyyyyyy." sapa Miki.
"Halo. Duh, semangat banget sih suaranya. Senang ya, dapet telepon ari gua?" goda Reynata.
"Senang lah. Lu telepon diwaktu yang tepat."
"Oh iya? Untung, deh. Gua pikir lu lagi diluar atau main sama teman-teman lu."
"Seharian ini gua di rumah aja. Kan, gua udah bilang tadi pagi sama lu."
"Hahaha, ya kali aja berubah pikiran. Lu kan tipe yang enggak bisa diem, Ki. Masih sendirian? Karin sama Luna udah pulang belum?"
"Udah. Karin lagi ngobrol sama Luna dikamar Luna. Gua disuruh nunggu sampai mereka selesai ngomong."
"Kok gitu? Kenapa lu enggak diajak?"
"Enggak tahu, kata Karin dia mau coba ngomong empat mata sama Luna."
"Ada masalah, ya?"
"Enggak tahu, nih Rey. Akhir-akhir ini sikapnya Luna aneh."
"Aneh, gimana?"
"Dia jadi jarang ngomong, dan lebih sering di kamar. Dia kayak gitu setelah beberapa kali ketemu sama Paman Agung. Kalau ditanya, dia cuma bilang capek dan keperluannya ketemu sama Paman Agung buat ngomongin warisan mendiang nyokapnya."
"Mungkin ada masalah sama warisan mendiang nyokapnya. Saudara-saudaranya enggak setuju, gitu?"
"Enggak tahu, Rey. Dia sama sekali enggak mau cerita. Nah, sekarang si Karin lagi nyoba ngobrol sama Luna."
"Hmmm, gitu." terdengar helaan nafas panjang dan berat dari Reynata. "Kalau Luna enggak mau ngomong juga, kalian coba tanya Paman Agung aja. Biar kita, si Luna kenapa."
"Iya, nanti gua juga mau usulin begitu ke Karin." Miki berganti posisi menjadi berbaring. "Gara-gara sikap Luna yang aneh, suasana rumah jadi ikutan aneh, Rey. Sepi."
Miki mendengar Reynata berdeham pelan. "Mudah-mudahan sikapnya Luna enggak keterusan begitu. Coba deh, nanti gua ngubungin si Luna... jadi, ikutan penasaran dia kenapa."
"Iya, coba deh lu ngobrol. Kalian kan sesama AB, mungkin dia mau cerita yang sebenarnya sama lu."
"Hahaha, jangan bawa-bawa golongan darah, kali. Ya udah, gua tutup dulu ya. Mau gosok baju, nih."
"Oke. Jangan lupa kabarin gua ya, kalau lu udah ngobrol sama Luna."
"Iya. Bye." percakapan diantara mereka terputus bersamaan dengan kedatangan Karin ke ruang keluarga. Buru-buru, Miki bangun dari pembaringannya dan melempar sorot mata ingin tahu apa saja yang sudah dibicarakan oleh kedua kakaknya itu. "Gimana, Kak? Si Luna mau ngomong?" tanyanya.
"Dia bilang enggak ada masalah apapun, cuma kecapekan dan mau istirahat."
"Bohong, kali tuh jawabannya. Masa' gara-gara kecapekan, sikapnya berubah drastis begitu."
"Gua juga mikirnya begitu... Tapi, dia ngeyakinin gua kalau dia baik-baik aja."
"Terus, Luna-nya mana? Enggak mau keluar lagi dari kamar?"
"Katanya, dia mau bersiap-siap buat pergi ke acara makan malam di Kemang."
"Makan malam sama siapa?"
"Sama Paman dan Bibinya."
"Terus, dia enggak pulang?"
"Pulang, dia bawa kunci cadangan kok."
Miki terdiam. Otaknya berpikir kalau perubahan Luna adalah akibat bertemu lagi dengan paman dan bibinya. Entah masalahnya apa, namun dia yakin ada yang tidak beres dan sengaja ditutupi olehnya.
"Kak, gimana kalau kita coba tanya sama Paman Agung langsung? Dia pasti tahu kenapa Luna jadi begitu."
Karin memandangi Miki dan mengangguk setuju. "Besok, gua bakal hubungin Paman Agung. Atau kalau perlu kita datangi langsung aja kantornya, kebetulan besok butik libur. Lu bisa temenin gua, kan?"
Miki mengangguk dengan semangat.
"Ya udah, gua coba sms Paman Agung dulu soal kedatangan kita besok." Karin mengambil handphone dari saku celana jogger hijaunya dan hendak mengirim pesan untuk Paman Agung. Miki beralih menyalakan televisi namun kedua matanya tak lepas pada jari-jari Karin yang sibuk mengetikkan pesan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lovely Sisters 2
General FictionPertemuan yang terjadi karena permintaan Paman Agung, membuat Karin, Luna, Reynata dan Miki harus menerima kenyataan kalau mereka adalah saudara dari satu Ayah yang sama. Hari demi hari mereka lalui dengan tenang dalam rumah yang diwariskan ole...