Sandiwara (Part 3)

155 21 1
                                    

Raut wajah jutek Miki belum hilang dari wajahnya setelah mendengar kebenaran cerita dari dua kakaknya. Ia mengarahkan tangannya ke lengan Luna dan mencubitnya keras. 

"Aaa aa aa, Ki sakit Ki. . ." Luna berusaha menghindar dari capitan tangan adik bungsunya, yang malah membuat kulit lengannya semakin tertarik. 

"Masalah serius kayak gini, baru lu ceritain sekarang? Otak lu dimana, Lun?" omel Miki yang telah melepaskan cubitannya. Luna meniupi kulitnya yang memanas dan menemukan jiplakan jari kemerahan. 

"Udah, Ki. . . maafin aja, dia juga udah nanggung beban yang berat selama ini." Reynata memberi nasehat. 

Miki mendengus kesal. Menyandarkan tubuhnya dan melirik ke arah Luna yang masih mengusap-usap lengannya. Ia memberikan tepukan keras pada lengannya itu, membuat Luna mendelik karena membuat kulitnya semakin perih dan panas. "Apa, lihat-lihat? Gua masih kesel sama lu." omel Miki. "Seandainya lu cerita dari awal, gua kan bisa inisiatif nyari tahu dan bantu Paman Agung buat cari bukti-buktinya. Kalau cuma lu doang, semuanya jadi gantung !" lanjutnya lagi. 

"Emang lu pikir bisa bantu sampai sejauh apa, sih Ki?" tanya Luna tanpa mau menatap mata adiknya. 

"Ya gua bisa cari tahu dengan nanya ke paman dan bibi gua. Mereka pasti tahu sesuatu kalau emang hubungan keluarga kita enggak baik." kata Miki. 

Reynata menyentuh pundak Miki, memintanya berhenti mengomel, "Menurut gua, yang terpenting sekarang bukan membuktikan keluarga Karin benar terlibat atau enggak, Ki. Tapi, bagaimana caranya kita berbaikan dengan Karin. Mencari tahu penyebab dia pergi begitu aja, seperti orang yang tengah memendam dendam sama kita. Gua ngerasa dia bersikap kayak gini bukan murni merasa gerakannya dibatasi oleh kita." ia memberikan pandangannya dan membuat sikap Miki melunak. 

Miki menyedekapkan dua tangannya dengan kesal, "Karin juga. . . asal pergi gitu aja setelah ngomel-ngomel. Dia tuh sebenarnya nganggep kita ini apa, sih?! Dipikir kita enggak sakit hati dengar kata-katanya dan ngeliat sikapnya yang kayak gitu." keluhnya. 

Luna dan Reynata memerhatika adiknya yang sedang berada dalam mood yang tidak bagus. Nampaknya, ia juga terluka dengan perdebatan semalam. 

"Atau jangan-jangan, dia pikir enggak apa-apa nyalah-nyalahin kita karena pada akhirnya kita yang akan tetap ngerasa bersalah dan minta maaf sama dia?" ia bertanya tanpa tahu ditujukan pada siapa pertanyaan itu ditujukan. "Kalau benar dia berpikiran kayak gitu, jangan harap deh gua mau minta maaf. Ini udah kedua kalinya dia pergi dengan cara yang sama." 

"Heeh, Ki. . . jangan ngomong gitu, ah. Lu malah bikin situasinya makin buruk." tegur Reynata. 

"Lho, siapa yang duluan memulai? Gua atau dia? wajar dong kalau situasinya berubah buruk, karena Karin aja bisa ngelakuin hal ini ke kita dan seolah enggak mikirin dampaknya?" Kata Miki yang masih merasa tidak terima. "gua masih enggak habis pikir ya dengan kata-kata dia semalam. Gampang banget bilang benci dan muak, emang yang kita lakuin selama ini ke dia sebegitu kejamnya? Kita ini bukan saudara tiri jahat yang ada dalam cerita Cinderella, kali. Lebay, banget." 

Luna dan Reynata tak memberikan tanggapan apapun dan membiarkan Miki melampiaskan amarahnya. 

"Dia bikin kita jadi orang yang paling buruk, padahal lebih dari setahun kita tinggal bareng. Apa selama ini dia melakukan semuanya seorang diri? Toh, kalau dia terlibat masalah pun kita enggak ninggalin dia malah sebisa mungkin nyari cara supaya masalahnya selesai." kemudian Miki berdecak sebal, "enggak ngerti lagi deh, jalan pikiran tuh orang." 

Luna meletakkan telapak tangan kirinya pada puncak kepala Miki, kemudian menepuk pelan. Miki menatapnya dengan heran. "Kesal banget, ya?" tanya kakak keduanya itu sambil mengusap pelan. "Jangan emosi, nanti malah bikin lu kepikiran terus sakit. Gua ngelihat asap mulai ngebul dari dalam kepala, tuh." kakaknya tersenyum. Miki menghela nafas panjang dan mengalihkan pandangannya ke depan. Membiarkan tangan sang kakak masih di puncak kepalanya.  

Reynata ikut mengusap punggung sang adik, "Bukan lu doang kok, yang kesal tapi kita juga enggak boleh biarin Karin bertindak kayak gini. Kita bertiga akan selesaikan masalah ini."

"Tapi,  jujur aja ya gua jadi malas buat ketemu dia." ucap Miki dengan ketus. "gua lebih pilih nyari tahu kebenaran keterlibatan keluarganya Karin aja deh, dibanding ketemu sama orang yang dengan gampangnya bilang benci, muak dan nyesal dipertemukan sama kita." lalu, dia menoleh kepada Luna, " lu udah nyari tahu kemana aja?" tanyanya dengan serius. 

"Paman Agung, Paman dan Bibi gua terus para pelaku di penjara. . . tapi, gua enggak yakin informasi dari para pelaku itu benar." 

"Oke, gua bakal ke sana dan mengkonfrontir para pelaku itu biar mau bicara jujur." kemudian Miki berdiri. Semangatnya membuncah saat tahu akan mulai memecahkan kasus kematian orangtuanya. 

"Lu kesana mau sama siapa?" pertanyaan Luna menginterupsi semangat Miki, "lu enggak bisa sembarangan berkunjung kesana, lho. Biar gampang, mending didampingi Paman Agung." 

"Tapi, Paman Agung aja belum ada kabar sadar dari komanya. Kita enggak bisa lama-lama nunggu, dong." kata Miki. 

"Jangan buru-buru, Ki. . . menurut gua kita tunggu Paman Agung sadar dulu, kalau lu masih mau mencari tahu lebih baik datangi dulu keluarga lu. Kayak lu bilang tadi, mereka pasti tahu sesuatu selama orangtua kita masih hidup." saran Reynata. 

"Oke. Gua berangkat sebentar lagi setelah mandi." Miki hendak pergi keluar dari ruangan. 

"Eh, Ki !" panggilan Reynata menghentikan langkahnya, "Sore nanti, rencananya kita mau ke apartemen Karin buat ngomongin masalah kemarin. Lu nyusul, enggak?" 

"Enggak." Miki bergerak keluar. Dari dalam Reynata dan Luna bisa mendengar langkah Miki menaiki anak tangga. 

Kedua saudara itu menghela nafas panjang mendengar keputusan adik bungsunya. "Sakit hati banget, kayaknya dia." kata Reynata. 

"Dari kemarin kelihatannya cuma sedih karena Karin pergi dari rumah, tapi ternyata. . . sekarang, kita tahu perasaan dia yang sebenarnya." tanggap Luna. 

Reynata menyandarkan kepalanya pada bantalan sofa dibelakang. Membuatnya mendongak ke atas, "Masalah ini bikin gua lapar, deh." 

Luna menyanggah kepalanya dengan sebelah tangan yang ditegakkan pada pegangan sofa, "Kita emang belum sarapan. . . lu enggak mau bikin sesuatu?" tanyanya.

"Enggak mood buat masak." jawab Reynata. "Kalau enggak mood gini, biasanya rasa makanannya juga enggak karu-karuan." 

"Gitu, ya?" tanggap singkat Luna. 

"Sarapan diluar aja, yuk." ajaknya. 

"Sarapan apa'an? Paling bubur ayam." Luna menunjukkan ketidakminatannya pada jenis makanan tersebut.

"Lu enggak suka?" 

"Lagi enggak mau makan itu."

"Terus, pengennya makan apa?" 

"Nasi uduk, gimana?"

"Boleh, mungkin disekitar supermarket ada yang jualan."

"Tapi, Miki kan lagi mandi. Mau ninggalin dia?" tanya Luna. 

"Gua tanyain deh, sekalian ambil dompet di kamar." Reynata beranjak dari sofa, diikuti Luna yang juga ingin mengambil dompetnya di kamar. Begitu sampai di lantai atas, Reynata masuk ke dalam kamar Miki untuk menanyakan keikutsertaannya mencari sarapan. 



My Lovely Sisters 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang