Pukul 2 lewat 30 menit, Luna sudah berada di depan pagar rumah Bibi Rindi. Selama diperjalanan, ia telah menghubungi bibinya dan memberitahukan kalau Luna akan datang berkunjung. Untungnya, Bibi Rindi saat ini sedang berada dirumah walaupun perempuan paruh baya itu sempat mengaku akan pergi pukul 3 sore untuk arisan.
Luna membuka pintu pagar dan melangkah masuk menuju pintu rumah. Ia mengetuk sebanyak tiga kali hingga akhirnya pintu dibukakan dari dalam. Bibi Rindi menyambutnya dengan senyuman seadanya, kemudian mempersilakannya masuk.
"Kamu tumben sekali tiba-tiba ingin berkunjung. Mendadak lagi." kata Bibi Rindi saat mereka sudah sampai diruang tamu.
"Iya. Aku mau ngobrol sama Bibi. Oh iya, ini buat Bibi." Luna menyodorkan plastik besar berwarna putih ke arah Bibinya.
"Apa ini?"
"Sedikit camilan dan buah. Maaf, aku enggak bisa membawa yang lebih berharga dari itu. Karena, waktunya yang mepet buat bisa sampai di rumah sebelum Bibi pergi."
Bibi Rindi menghela nafas pelan, "Ya, okelah. Jadi, apa yang bikin kamu akhirnya datang lagi ke rumah ini? Bibi pikir setelah pembagian harta warisan kemarin, kamu anti buat menginjakkan kaki lagi disini." Bibi Rindi duduk berhadapan dengan Luna. Dia meletakkan segelas air mineral dihadapan Luna.
Luna memposisikan duduknya senyaman mungkin, "Jangan bicara seperti itu, Bi. Kesannya sikapku buruk banget."
"Lho, memang. Dari dulu sikapmu kan, emang kayak gitu. Mirip banget sama Ayahmu."
Luna tersenyum pahit. Ia menarik nafas panjang sebelum mengutarakan maksud kedatangannya. Bibi Rindi menatapnya dengan heran."Bibi... aku tahu enggak pantas datang seperti ini setelah aku bersikap enggak menyenangkan terhadap kalian. Tapi aku enggak tahu harus bicara sama siapa selain Bibi, karena Bibi lah yang udah merawat aku sejak Mama meninggal."
Bibi Rindi mengernyit. Ia menangkap keseriusan dari cara bicara Luna.
"Bi... bisa beritahu aku hal yang sebenarnya, tentang kenapa Bibi dan saudara-saudara Mama yang lain begitu benci terhadap Ayah? Dan mengatakan kalau Mamaku adalah wanita bodoh karena mau menikah sama Ayah."
Bibi Rindi tersenyum sinis, "Baru sekarang kamu tanyakan ini?"
Luna terdiam. Wajahnya berubah murung.
"Mama kamu meninggal karena dibunuh, terus kemarin kamu dengan bangganya mengatakan tinggal bareng sama anak-anaknya yang lain. Mengatakan juga kalau kamu percaya sama pengacara yang dipilih oleh Ayahmu. Dan sekarang.. kamu baru tanyakan soal ini?" Bibi Rindi terdengar emosi. Luna hanya diam saja.
"Kenapa Bibi harus menjawab pertanyaan kamu itu? Kalau Bibi lihat, kamu kayaknya udah bahagia hidup bersama anak-anak Ayahmu yang lain dan mempercayakan harta kamu ke pengacara yang diutus Ayahmu. Terus, kenapa juga kamu memusingkan kenapa kami begitu benci dengan Ayah kamu?"
"Karena... Bibi Rindi, Bibi Lita, Paman Rama dan Paman Sophian juga keluargaku."
Bibi Rindi terdiam ketika mendengar jawaban perempuan didepannya.
"Aku enggak mau memiliki hubungan yang buruk dengan saudara-saudara kandung Mama, karena bagaimanapun kalian lah yang kudatangi dulu saat Mama meninggal."
Bibi Rindi mendengus, "Harusnya kamu pikirkan itu dari dulu."
"Maaf, Bi... Tapi, apa Bibi enggak berpikir kalau perlakuan kalian lah yang membuatku seperti ini. Aku yang dulu enggak tahu apa-apa selalu mendengar Bibi dan Paman menjelek-jelekkan Mama dan Ayah, tentunya sangat marah. Kenapa kalian begitu membenci kedua orangtuaku, apa kesalahan mereka? Aku sama sekali enggak tahu alasannya selain hanya mendengar hinaan dari kalian. Apa aku salah, kalau setelah itu memilih untuk pergi karena tak tahan mendengar semua perkataan kalian tentang Mama dan Ayah?" Luna menahan cara penyampaiannya agar tidak terdengar emosional.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lovely Sisters 2
Ficção GeralPertemuan yang terjadi karena permintaan Paman Agung, membuat Karin, Luna, Reynata dan Miki harus menerima kenyataan kalau mereka adalah saudara dari satu Ayah yang sama. Hari demi hari mereka lalui dengan tenang dalam rumah yang diwariskan ole...