Keterbukaan

244 24 4
                                    

Saat Luna memilih untuk memejamkan kedua matanya agar Reynata mau berhenti bicara, tiba-tiba ia bisa mendengar pintu ruang perawatan kembali dibuka dari luar. Ia mengira kalau mungkin itu adalah Miki yang sudah kembali dari makan.

"Rey? Gimana? Tadi si bungsu whatsapp gua, katanya Luna udah sadar." ternyata bukan Miki, melainkan Karin yang datang dengan peluh mengalir dari keningnya. Ia buru-buru meminta izin lebih awal pada atasannya dan datang ke rumah sakit saat mendengar kabar terbaru dari adik bungsunya.

"Iya, tadi udah sempat sadar. Sekarang, dia lagi tiduran." jawab Reynata. 

Karin meletakkan tasnya diatas kursi yang kosong. "Jangan dibiarin tidur terus, dia kan udah enggak sadar selama dua hari." tangannya bergerak menggoyang lengan Luna dengan perlahan. "Lun?" panggilnya.

Mendengar semua perkataan Karin dan perlakuannya yang menyiratkan rasa khawatir membuatnya terpaksa membuka mata kembali. 

"Oi, Rin..." sapanya. "Rasanya gua baru aja mau lelap."

"Jangan tidur lagi, Lun buat sementara. Seenggaknya, sampai jam makan siang. Gua khawatir kalau ngelihat lu tidur dan enggak gerak-gerak." katanya. "Gimana? Feeling better?"

Luna menganggukkan kepalanya, "Sorry, udah bikin lu dan yang lain jadi khawatir." katanya.

Karin menghembuskan nafas perlahan, "Ya, jujur aja, lu emang udah bikin gua khawatir dan semaput. Gua jengkel banget sama lu yang keras kepala. Tapi, gua maafin kali ini... asal lu janji jangan lagi berbuat kayak gini. Oke?"

Luna tersenyum, "Iya, kakak tua."

Karin bergerak hendak mengambilkan biskuit susu diatas meja, "Lu belum makan apa-apa dari kemarin. Sementara sampai jam makan siang, lu makan biskuit ini dulu."

"Jangan." Luna memberi perintah dan mendapat tolehan heran dari Karin. "Gua udah makan itu biskuit, dan itu bikin gua ngerasa semakin enggak enak." protesnya.

"Hah? Kenapa?" dia mengangkat bungkus biskuit itu, "Udah expired, kah?" tanyanya sambil membolak-balikkan bungkusnya untuk mencari tanggal kadaluwarsa yang tertera. 

"Bukan, Rin.. dia enggak suka rasa dan ingridients-nya. Susu." Reynata membantu menerangkan.

"Astaga, gua lupa kalau lu benci susu. Ya udah, gua beliin biskuit yang lain, deh." kata Karin sambil meletakkan bungkus biskuit.

"Enggak perlu, tadi Luna udah titip pesan sama Miki buat beliin biskuit dengan rasa lain. Dia sekalian cari makan." cegah Reynata.

"Oh gitu. Ya udah." Karin bergerak ke sisi ranjang yang lain. Sisi kanan Luna dan duduk di atas kursi yang kosong. "Ngomong-ngomong, masih jam segini, kok lu bisa disini, Rey? Emang enggak ada kegiatan di asrama? Gua tadi enggak sempat tanya sama bungsu, selain tahu lu udah datang ke rumah sakit."

"Gua ijin, Rin."

"Oh, tapi enggak ada masalah kan soal ijin lu ini?" tanyanya lagi.

Reynata menggelengkan kepalanya, "Instruktur gua ngerti kok, kalau saudara gua lagi sakit kronis."

Karin mengangguk. Raut khawatir diwajahnya berkurang. "Lun, lu masih ngerasa sakit dibagian tertentu enggak?" ia beralih bertanya pada Luna.

"Cuma pusing dan badan rasanya pegal semua. Mungkin karena terlalu banyak tidur." jawab Luna.

"Kalau lu ngerasain sakit yang enggak biasa, buru-buru kasih tahu gua dan saudara-saudara yang lain. Jangan ditahan-tahan lagi, oke?"

"Iya, kakak tua."

"Hish, stop panggil gua kakak tua." protes Karin. "Nanti, gua jejelin lu sama biskuit susu."

"Duuh, ancemannya serem banget." balas Luna sambil terkekeh. 

Karin hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, "Oh iya, Rey.. lu udah makan? Kalau belum, mending susul Miki gih, ikutan makan. Gua enggak mau ada diantara kita yang sakit lagi."

"Tenang aja. Sebelum kesini, gua udah makan dan ngemil-ngemil kok." jawab Reynata.

Karin mengangguk mengerti. "Eh, Lun.."

"Hm?"

"Pokoknya lu harus cepat sembuh. Gua enggak mau lu lama-lama disini."

"Iyaaaa. Gua juga enggak betah kali lama-lama nginep disini."

"...terus, sampai di rumah... lu harus ceritain semua kegiatan lu kemarin. Gua yakin lu udah mendem masalah, dan berkaitan sama paman dan bibi lu."

"Bukan begitu, Rin."

"Sst ! Jangan bantah, insting gua kuat soal ini. Sifat lu berubah drastis semenjak sering ketemu sama paman dan bibi lu... dan gua enggak mau ada yang ditutupin kalau ini adalah masalah yang besar. Oke?"

"Karin.." Luna kembali memanggil Karin, mengisyaratkan agar ia tidak memaksanya bercerita.

"Nolak, berarti kita musuhan."

"Ye'elah. Ancaman lu kayak anak SD, ah." ucap Luna dengan kesal.

"Gua serius."

"Enggak usah diancem, Rin.." Reynata masuk ke dalam percakapan, "Tadi, gua sempat ngobrol hal yang sama ke Luna, dan dia udah janji kok bakal ceritain semuanya kalau udah di rumah. Ya kan, Lun? Jangan bohong, tadi kan lu yang bilang kalau mau menjaga ikatan persaudaraan kita."

Luna menatap tidak mengerti atas kebohongan yang diciptakan oleh Reynata. "Gua enggak--,"

"Terus, selain Luna.." Reynata buru-buru memotong perkataan Luna, "Gua juga mau menceritakan sesuatu yang selama ini udah gua tutupin cukup lama."

Karin memandang dua saudaranya secara bergantian. Lalu, lagi-lagi dia membuang nafas yang cukup panjang seolah juga sedang melepaskan beban yang menggelayuti hatinya.
"Oke. Tapi, semua baik-baik aja, kan? Enggak seburuk seperti apa yang gua lakuin dulu?"

Reynata dan Luna mengangguk secara berbarengan.

"Enggak separah yang lu pikir dan pernah lu lakuin, kok." Reynata menjawab dengan tenang.

Sekarang, Karin bisa bernafas lega. Atmosfer yang sempat terasa aneh diantara mereka mulai mencair dan berganti dengan obrolan-obrolan ringan.




My Lovely Sisters 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang