Sore harinya, Luna diantar oleh Paman Agung sampai didepan rumahnya, sesuai dengan permintaan Karin yang siang tadi meneleponnya. Keduanya keluar dari mobil yang dikemudikan oleh Andreas.
"Ayo, Paman mampir dulu ke rumah. Ajak Andreas sekalian." Tawar Luna dengan nada agak memaksa. Ia merasa tak enak ketika mendengar Paman Agung seolah diperintahkan oleh Karin untuk mengantarnya pulang. "Kita makan malam bersama-sama." lanjutnya.
Paman Agung mengangkat sebelah tangannya dan memberi isyarat menolak, "Lain kali aja, ya Lun... abis ini, Paman harus ke Sudirman untuk menghadiri undangan makan malam dari klien dan ada beberapa hal penting yang juga harus dibicarakan."
Wajah Luna berubah cemberut, dan tanpa sadar ekspresi yang sangat jarang itu terlihat oleh Andreas didalam mobil. Laki-laki itu sempat tersenyum melihat ekspresinya, begitupun dengan Paman Agung. Laki-laki paruh baya itu meletakkan tangannya di pundak Luna, "Paman janji lain kali akan datang lagi untuk makan bersama." katanya sambil tersenyum, "kalian harus selalu jaga diri dan kesehatan.. ingat." Paman Agung menatap lekat wajah perempuan didepannya, "kalau ada apa-apa, entah kalian sakit atau ada masalah yang urgent, segera hubungi Paman. Jadikan nomor Paman diperingkat pertama orang yang harus dihubungi dalam handphone kalian."
Luna terkekeh "Iya, Paman. Akan aku lakukan."
"Oke. Kalau gitu, Paman pamit dulu. Istirahatkan tubuh dan pikiranmu, Luna.. jangan berpikir terlalu keras tentang apa yang kukatakan padamu. Biarkan Paman yang bekerja untukmu. Oke?"
Luna menampilkan eye smile-nya yang ramah, "...kalau soal itu, aku enggak bisa janji, Paman..." ia mengarahkan telunjuknya ke sudut kepala bagian depan, "otakku ini agak susah diperintah untuk berhenti berpikir."
"Yang penting, jangan terlalu dipaksakan. Jika ada yang mengganggu pikiranmu atau butuh teman untuk berdiskusi, jangan sungkan untuk menghubungi Paman." Paman Agung menepuk-nepuk pelan pundak Luna dan mendapatkan balasan anggukan darinya.
"Paman Agung ??" sebuah suara menginterupsi pembicaraan Luna dan Paman Agung. Keduanya menoleh ke asal suara dan melihat Miki yang datang dari arah berlawanan menampilkan senyum lebarnya ke arah mereka. Kemudian dengan setengah berlari, Miki menghampiri keduanya. "Paman, apa kabar?" ia menyalami tangan Paman Agung, "lama banget, Paman enggak mengunjungi kami."
Tangan Paman Agung berpindah mengelus puncak kepala Miki, "Paman baik-baik aja. Sehat. Maaf karena Paman belum sempat menjenguk kalian karena waktu Paman tersita pekerjaan."
"Paman nganter Luna?" tanya Miki sambil menunjuk kearah saudara keduanya. Paman Agung mengangguk. "Harusnya enggak usah dianter, nanti makin menjadi ngerasa kayak Putri Raja." ejek Miki. Luna memberikan tatapan tak terima sambil berdecak sebal.
Paman Agung hanya tertawa, "Kamu habis pergi?" tanyanya.
"Iya." jawab si bungsu sambil cengengesan.
"Abis darimana?"
"Kota-"
"Pacaran, Paman." Luna menyela, membuat Miki jadi sebal kemudian menyikut kasar lengan Luna.
"Bukan, Paman. Aku nemenin teman dari luar kota buat jalan-jalan selama di Jakarta." Miki memberikan konfirmasi. "...dan tadi aku abis ngunjungin kota tua."
Paman Agung tertawa kecil, kemudian meletakkan dua tangannya di masing-masing pundak dua perempuan muda yang sudah dianggapnya sebagai anak atau keponakannya sendiri. "Kalian akur-akur, ya.. Jangan sampai berantem apalagi saling meninggalkan satu sama lain." Luna membalas permintaan Pamannya hanya dengan tersenyum.
"Enggak akan, Paman. Walaupun aku sebal banget sama Luna sampai ada satu titik pengen jitak dia berkali-kali.."
"Cih, enggak sopan." gerutu Luna.
Miki mengabaikan,"... aku enggak bakal ninggalin dia atau Karin atau Rey. Kita bakal terus bareng-bareng.. eummm, kecuali nanti udah nikah hehehe."
Paman Agung tertawa sambil mengangguk pelan, "Ya, kalau sama kamu Paman percaya.. dan semoga, janji ini juga diterapkan sama saudara kamu yang lain." kemudian melirik Luna. Miki yang bingung dengan ekspresi misterius dari Pamannya, ikut-ikutan melihat kearah saudara keduanya.
"Janji kalau diumbar, biasanya enggak jadi atau enggak akan terwujud." Luna berniat menjawab kalau dirinya pun memiliki janji yang sama seperti adik bungsunya, namun kalimat yang dikeluarkan malah membingungkan bagi yang mendengar kecuali Paman Agung yang mengerti maksud perkataan Luna.
"Ya udah, Paman pamit dulu, ya." Kata Paman Agung.
"Lho, Paman enggak mau mampir? Mumpung udah disini, makan malam bareng aja, yuk? Paling sebentar lagi Karin juga pulang. Udah lama kan, kita enggak kumpul bareng." bujuk Miki yang merasa kecewa dengan kepergian Pamannya.
"Ya, lain kali, yah? Paman benar-benar minta maaf karena kali ini enggak bisa mampir karena ada urusan bersama klien yang juga penting. Paman harap kalian enggak marah."
"Kami enggak akan marah, kalau Paman benar-benar bikin jadwal untuk datang lagi ke sini." pinta Luna dan disambut anggukan setuju oleh Miki.
Paman Agung tertawa, "Ya, nanti secepatnya akan Paman hubungin tentang waktunya, ya.. Paman pergi dulu."
"Hati-hati, Paman." Luna dan Miki bicara berbarengan dengan nada yang berbeda. Luna dengan nada biasa sedangkan Miki dengan nada yang riang. Saat Paman Agung telah masuk kedalam mobil, dan kendaraannya berputar arah, kedua saudara itu membalas lambaian tangan perpisahan dari Paman Agung yang mengeluarkan kepala dan tangannya dari jendela yang diturunkan.
Luna mengalungkan sebelah tangannya pada leher sang adik dan memandunya masuk ke dalam rumah. "Jadi, hari ini ada progress apa sama si Dani? Udah ditembak, belum?" tanyanya.
Seketika, tanpa bisa dikontrol, wajah Miki memerah. "Progress apa'an sih, kak?" jawabnya malu-malu.
"Ih, apa'an sih muka lu jadi merah-merah, gitu... aaaaaa, pasti tadi ada something terjadi, ya? Ngaku." tuntut Luna sambil mencubit pipi adiknya.
Miki berusaha melepaskan pipinya dari cubitan, lalu memberikan cengiran pada Luna, "Nanti gua ceritain." jawabnya dengan riang. "tapi, gua mandi dulu yaa.. badan udah lengket karena keringat."
"Plus bau." tambah Luna.
"Apa'an, sih? Gua anti bau kali, badan selalu harum minyak wangi."
"Perasaan, tuh.. atau hidung lu kesumbat debu jadi enggak nyium." Luna bicara dengan langkah kaki menaiki anak tangga.
"Hidung lu yang enggak beres, Lun." balas Miki dengan tangan menutup pintu rumah. Tanpa diketahui olehnya, Luna menyunggingkan senyum mendengar balasan Miki. Namun, senyuman itu tak lama. Ia kembali memasang ekspresi dingin ketika mengingat cerita Paman Agung mengenai ibu Miki dan kehidupan Miki. Lalu, ia masuk kedalam kamarnya disusul dengan Miki yang juga ingin mandi.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lovely Sisters 2
Fiksi UmumPertemuan yang terjadi karena permintaan Paman Agung, membuat Karin, Luna, Reynata dan Miki harus menerima kenyataan kalau mereka adalah saudara dari satu Ayah yang sama. Hari demi hari mereka lalui dengan tenang dalam rumah yang diwariskan ole...