Sandiwara (Part 1)

134 18 2
                                    

Keesokan paginya, di lantai satu hanya ada Luna dan Reynata yang sedang duduk bersama di ruang keluarga. Mereka tak tega membangunkan Miki, yang mungkin butuh istirahat lebih lama setelah cekcok semalam. 

"Sekarang gua harus gimana, Rey?" tanya Luna yang terlihat putus asa. 

Keduanya barusan membahas balasan Tante Talitha, yang memberitahu kalau hari ini tidak bisa melakukan pertemuan karena aktivitas bisnisnya yang padat. 

Reynata ikut terlihat bingung, "pas jam makan siang atau nanti malam, dia enggak ada waktu juga?" tanyanya. 

Luna menggelengkan kepalanya, "Lu baca sendiri, kan pesannya? Dia bilang hari ini full sama kegiatannya sendiri dan besok, dia udah balik ke Jepang." 

Reynata menggigiti kukunya, "kalau begini enggak ada jalan lain, selain kita ngomong sekali lagi sama Karin." 

"Kalau dia enggak merubah pemikirannya gimana?" tanya Luna lagi, "dan masih bersikap marah sama gua?" 

"Ck, Lun. . . jangan mikir ini cuma masalah lu aja. . Karin itu enggak cuma marah sama lu, tapi kita semua. Lu enggak lupa, kan apa yang dia bilang semalam dan jelas dia menumpahkan kekesalannya sama kita semua, enggak lu doang." 

Luna terdiam. "Sore ini, kira-kira jam pulang kerjanya Karin, kita kunjungi apartemen Tantenya. Mudah-mudahan, kali ini dia bisa kita ajak bicara dengan baik." usul Reynata. Luna menganggukkan kepalanya.

Reynata teringat sebuah topik lain yang seharusnya juga mereka bahas secepatnya, "Lun?" 

"Hmm?" tanpa menoleh pada Reynata karena fokusnya pada deretan pesan yang dikirimkan oleh Arga. 

"Miki masih belum tahu apa-apa soal dugaan keterlibatan keluarga Karin atas kematian orangtua kita." 

"Hm." tanggap Luna. 

Reynata menghadapkan tubuhnya kepada Luna, menatapnya serius, "Kapan lu mau kasih tahu dia? Gua khawatir kalau nantinya terjadi sesuatu seperti misalnya dugaan itu benar, Miki enggak akan terima. Menurut gua, lebih baik kita kasih tahu sekarang dan kasih pengertian supaya dia bersiap-siap."

"Nanti aja, kalau Paman Agung udah sadar. Biar beliau sendiri yang cerita." jawab Luna. Dalam hatinya, dia enggan jadi orang yang harus menjelaskan lagi dari awal. Bebannya pikirannya sudah terasa berat. 

"Apa enggak kelamaan kalau nunggu Paman sadar? Kita aja enggak tahu perkembangan kesehatannya, sekarang udah sadar atau belum, kita pun enggak tahu. Gua punya firasat kalau kita menutupi ini terlalu lama, situsinya bakal makin memburuk"

Luna menoleh, "Lu punya bakat cenayang, ya? Bisa tahu apa yang bakal terjadi di masa depan. . . waktu resign juga alasannya cuma karena mimpi." kemudian melemparkan pandangannya pada remote didepannya, dan melemparkan fokusnya pada layar. Ia terlihat tak tertarik dengan pembahasan Reynata yang didasarkan pada firasatnya. 

Reynata mendesis, dan memukul pelan lengan Luna, meminta kembali perhatiannya, "Tapi, mimpi gua benar kejadian, kan? Lu sama Karin berantem terus Karin pergi dari rumah. Siapa tahu firasat gua selanjutnya juga bakal jadi kenyataan?" ia bersikukuh. 

"Dibanding percaya sama firasat dan mengira-ngira kapan itu terjadi, bukannya lebih baik lu berdoa supaya firasat lu itu jangan sampai jadi kenyataan. Kalau lu ngomong kayak gini sekarang, malah bikin gua tambah was was." Luna berusaha jujur dengan perasaannya. 

Reynata merasa kecewa dengan tanggapan saudaranya. Ia memilih diam dan ikut memandangi layar berwarna dihadapannya, "Gua cuma ngungkapin apa yang gua rasain, Lun. . . bukan lu aja yang ngerasa khawatir." 

"Iya, gua paham kok. Sorry, kalau jawaban gua barusan menyinggung lu." kata Luna tanpa menatap saudara disampingnya. 

Reynata menghela nafas panjang sebagai pelepasan emosi yang berkecamuk dalam dirinya, "Kita  lupain aja. Pikiran dan perasaan kita lagi sama-sama buruk sekarang." ia mengambil jalan tengah. Luna mengangguk menyetujui perkataan saudaranya. 

"Tapi, itu enggak adil buat gua." sebuah kalimat panjang mengagetkan Reynata dan Luna. Dengan wajah merah karena menahan amarah, Miki berdiri di depan pintu masuk ruangan dan memandangi kedua kakaknya. 

"Ki? dari kapan lu disitu?" tanya Reynata. 

"Sejak kalian bilang kalau keluarga Karin terlibat atas kematian orangtua kita." jawab Miki dengan ketus. 

"Lu nguping?" tanya Luna. 

"Iya, kenapa? Enggak suka? Kalau gua enggak nguping, kalian berencana nyembunyiin semua hal dari gua, kan? Sampai kapan? Sampai kapan kalian berdua bikin gua jadi pihak yang enggak tahu apa-apa? Apa gua disini cuma jadi badut penghibur?" Miki memberikan pertanyaan beruntun yang membuat Reynata merasa tertohok. Firasatnya lagi-lagi berubah menjadi kenyataan. Luna memandangi adiknya sampai selesai bicara. 

"Kalau udah tahu, kenapa enggak langsung buru-buru keluar? Kita bilang begitu karena enggak mau menambah masalah yang udah ada. Enggak salah kan, kalau kita mikir tentang waktu dan cara yang tepat buat nyampein sesuatu yang penting ke lu?" jawab Luna menanggapi kemarahan adik bungsunya. 

Reynata berusaha menghilangkan keterkejutannya, dan menampakkan ketenangan. Ia harus bisa bicara dengan baik supaya Miki tidak tambah emosi, "Iya, Ki. . . jangan ambil kesimpulan secara sepihak, ya? Keputusan kita belum ngomongin itu sama lu, cuma karena waktu dan kondisinya yang belum tepat." 

"Tapi, kalau lu udah dengar ya enggak ada gunanya lagi kita mikirin tentang waktu yang tepat. Kalau lu mau tahu sekarang, kita enggak keberatan buat cerita." susul Luna. Meskipun di awal ia memutuskan tidak mau menceritakannya dengan mulut sendiri, namun karena Miki sudah mencuri dengar, terpaksa harus ia beberkan dibanding harus melihat kemarahan Miki yang mungkin akan berkepanjangan. Reynata mengangguk setuju dengan jawaban Luna. Ia bersyukur sebentar lagi tak akan ada lagi rahasia diantara mereka, kecuali Karin yang masih belum tahu apa-apa. 

Miki terdiam sebentar. Bimbang mengenai apakah akan meneruskan kemarahannya sejenak atau memilih mengakhiri saja kekesalannya dan mendengarkan penjelasan saudara-saudaranya. 

"Gua minta maaf karena bikin lu jadi salah satu pihak yang enggak tahu apapun, tapi itu bukan tanpa sebab. Gua terlalu khawatir sama respon lu, makanya gua menunda-nunda waktu buat cerita." kata Luna lagi yang tahu kalau saat ini Miki tengah bimbang, "Situasinya udah buruk karena Karin yang tiba-tiba pergi, gua harap lu mau meringankan beban untuk enggak ikutan marah, walaupun sebenarnya gua pantas menerima sikap kayak gitu." katanya lagi. 

Miki merasakan kesedihan saat mendengar perkataan Luna yang terasa seperti sebuah permohonan. Ia menghela nafas panjang dan memutuskan untuk maju mendekati kedua kakaknya, lalu duduk diantara Reynata dan Luna, "Kalau gitu ceritain sekarang." sambil menyedekapkan dua tangan didada. Melihat sikap Miki yang melunak, membuat Reynata dan Luna tersenyum lega. Luna memulai cerita dengan sesekali disusul pendapat Reynata yang juga sudah mengetahui sedikit kisah sebenarnya.  


My Lovely Sisters 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang