Luna mengambil handphonenya diatas sofa. Lagi-lagi, deretan nomor tak dikenallah yang telah menghubunginya. Ia kembali menghubungi nomor itu karena khawatir kalau si penelepon adalah orang penting.
"Halo?" sapa Luna.
"Halo? Ini Luna, ya?" sang penerima telepon yang langsung menyebut nama Luna, membuatnya mengira-ngira karakter suara yang berasal dari perempuan itu.
"Iya, betul. Anda menghubungi saya dua kali ya?"
"Iya, aduhh kenapa enggak kamu angkat-angkat, sih!?" nadanya terdengar kesal.
"Maaf, tadi saya lagi melakukan hal lain dan enggak pegang handphone. Ini siapa, ya?" tanya Luna.
"Lha, kamu udah enggak ngenalin suara Bibi, Lun? Ya ampun, mentang-mentang udah bisa hidup mandiri kamu ngelupain Bibi?"
Luna mengernyit tak suka mendengar ucapan sang penelepon. "Bibi?"
"Iya, ini Bibi Rindi? Inget, enggak? Kebangetan kamu kalau enggak ingat."
Luna menghela nafas panjang saat sipenelepon memberitahukan identitasnya, "Oh, Bibi.. maaf, aku emang udah lupa sama suara Bibi. Abis udah lama juga, Bibi enggak kontak aku."
"Kamu tuh, ya.. dimana-mana anak muda yang telepon orangtua, nanyain kabar atau gimana keadaannya, gitu lho." Luna mulai malas mendengar nada tinggi dari bibinya itu.
"Iya, maaf ya Bi. Aku lagi banyak banget kegiatan yang harus diselesaikan jadi enggak sempat menghubungi Bibi. Tapi, Bibi dan keluarga baik-baik aja, kan?"
"Yah, begitulah." jawab Bibi Rindima dengan nada tidak tertarik.
"Bibi menghubungi aku ada apa?" tanya Luna yang yakin kalau bibinya memiliki maksud lain.
"Hari Minggu besok, pengacara ahli waris minta anak-anak dari Kakekmu untuk berkumpul dirumah Bibi. Kamu juga diminta buat datang."
"Apa urusannya denganku, Bi? Aku kan bukan anaknya Kakek." jawab Luna dengan santai.
"Itu karena Ibu kamu yang sudah meninggal, dan sekarang kamu diminta datang sebagai perwakilan dari ibu kamu."
"Aku enggak bisa. Hari Minggu besok, aku udah ada janji pribadi."
"Enggak ada penolakan, ya Lun. Jangan sampai cuma karena keegoisan kamu, pembagian warisan kakek kamu ke anak-anaknya jadi terhambat."
"Ya pertemuannya dilanjutkan aja tanpa aku. Nanti Bibi kabari aku hasil akhirnya."
"Kalau memang bisa kayak gitu, Bibi enggak akan repot-repot ngehubungin kamu sampai dua kali. Pengacara kakek maunya kita semua kumpul dan lengkap. Udah deh Lun, emang kamu enggak ngerasa bersalah apa? Pembacaan warisan ditunda sampai selama ini demi nunggu kamu berumur 22 tahun?"
Luna mulai jengah mendengar kata demi kata yang dikeluarkan oleh bibinya itu dengan ketus.
"Itu bukan salahku. Salahin aja Kakek yang udah bikin persyaratan kayak gitu. Aku enggak mau. Janjiku besok enggak bisa dibatalkan. Kalau kalian tetap butuh kehadiranku, ubah aja jadwalnya." kata Luna tak mau tahu.
"Kamu itu ya, benar-benar enggak ada sopan santunnya sama orangtua. Harusnya kamu mendahulukan permintaan orangtua dibanding kepentingan pribadi. Lagian janji kamu kan sebenarnya juga masih bisa dirubah ke hari lain."
"Enggak bisa, Bi. Jum'at dan Sabtu aku sudah punya acara bersama saudara-saudaraku yang lain. Sedangkan, hari Minggu aku juga udah buat janji sama orang lain. Kalau mau ya, Senin. Masih tanggal merah, kan?"
"Saudara? Saudara yang mana maksud,kamu?" tanya Bibinya.
"Oh iya, aku belum bilang. Sekarang, aku tinggal bersama anak-anak Ayah yang lain."
"Apa? Jadi...kamu udah tahu kalau Ayah kamu punya istri-istri yang lain?" tanyanya.
"Ya."
"Kamu tinggal bersama anak-anaknya?"
"Itu yang aku bilang barusan, Bi."
"Kenapa kamu tinggal sama mereka!?"
"Ini permintaan dari pengacara Ayah."
"Dan kamu nurut aja!?"
"Iya. Duuuh Bibi ini kenapa sih senang banget teriak-teriak. Emangnya kenapa kalau aku tinggal bareng? Mereka baik kok dan aku juga senang punya saudara yang satu darah sama aku."
"Kamu !" tiba-tiba Bibi Rindi mengeluarkan decak kesal. "Pokoknya Hari Minggu kamu harus datang, kalau enggak, Bibi seret kamu datang kesini. Bibi akan cari tempat tinggal kamu." tiba-tiba sambungan diputus begitu saja. Luna pun jadi kesal menerima telepon yang penuh emosi seperti itu.
"Sifatnya enggak pernah berubah. Tetap ngeselin." gumamnya. "Nyesel udah ngubungin." ia memasukkan handphone-nya kesaku celana.
Bibi Rindi adalah adik ketiga dari ibu Luna. Dialah yang merawat Luna sejak ibunya meninggal hingga Luna menginjak bangku kelas 2 SMA. Namun, karena sifatnya yang menyebalkan, suka memerintah dan sering menjelek-jelekkan ibu Luna, membuat Luna akhirnya memutuskan keluar dari rumah bibinya. Sejak kepergiannya, Luna tidak mau lagi sering-sering berhubungan dengan kerabat ibunya itu. Bukan hanya itu saja, kakak serta adik ibunya yang lain pun memperlakukan Luna dengan tidak baik. Mereka sering membanding-bandingkan Luna dengan anak-anaknya atau mengungkit kekurangan yang dia punya.
"Lu nelepon siapa sih, Lun? Suara lu kayak orang lagi berantem." tanya Karin yang baru selesai memasak didapur.
"Bibi gua telepon. Orangnya emang suka heboh sendiri, jadi ya gua ikutan aja." jawab Luna, "Lu udah selesai bikin telornya?"
"Lagi direbus. Miki bisa diajak turun, enggak? Kita makan bareng."
"Enggak tahu, coba ditanya aja. Eh, iya menurut lu kita perlu panggil dokter enggak sih?" tanya Luna.
"Kita lihat kondisinya setelah makan, kalau enggak ada perubahan gua mau telepon Paman Agung aja. Mungkin dia punya kenalan dokter yang mau datang ke rumah." jawab Karin yang hendak menaiki tangga. Luna menganggukkan kepalanya, lalu mengikuti langkah Karin ke kamar Miki.
![](https://img.wattpad.com/cover/95925263-288-k987330.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lovely Sisters 2
Ficción GeneralPertemuan yang terjadi karena permintaan Paman Agung, membuat Karin, Luna, Reynata dan Miki harus menerima kenyataan kalau mereka adalah saudara dari satu Ayah yang sama. Hari demi hari mereka lalui dengan tenang dalam rumah yang diwariskan ole...