Loving Sisters

287 24 10
                                    

Suasana tegang yang semula sempat menguasai keempat saudara itu berangsur mencair karena kelucuan respons yang ditunjukan oleh Miki. Tawa memenuhi seisi ruang dapur bersamaan dengan erangan manja dari sang adik bungsu agar ketiga saudaranya mau berhenti menggodanya. Berulang kali dirinya menerima pertanyaan soal identitas Dani dan apa yang membuat mereka berdua menjadi dekat. 

"Terus, menurut lu si Dani itu, suka enggak sama lu?" tanya Reynata, "Pasti lu bisa mengira-ngiralah dari cara dia ngomong atau bersikap ke elu." 

"Pas di Pare, udah pernah kencan belum? Apa baru kali ini aja dia ngajak lu jalan dan bela-belain sampai datang ke Jakarta?" susul Karin yang juga ingin tahu. Ia merasa senang karena adik bungsunya terlihat bisa menyukai laki-laki lagi semenjak terakhir kali cintanya bertepuk sebelah tangan.  

Muka Miki sudah memerah sejak awal menjadi bahan godaan. Jantungnya berdegup kencang acapkali kakak-kakaknya menyebut nama Dani, dan membuatnya terbayang dengan wajah tampan teman laki-lakinya itu. Jari-jarinya reflek mengetuk-etuk pelan diatas meja sebagai hantaran kegugupannya. Luna tersenyum-senyum melihat ekspresi Miki yang gugup. Tanpa dikatakan pun, rasanya dirinya sudah tahu Miki begitu menyukai laki-laki bernama Dani itu. Dalam hati, ia jadi begitu penasaran dengan sosok asli Dani. 

"Gua enggak tahu Dani suka atau enggak, cuma terakhir kali ketemu sebelum pisah sama dia... kita pernah jalan berdua bareng ke pantai. Disana dia minta gua supaya mau memperpanjang waktu sampai seminggu lagi supaya bisa ngabisin waktu lebih banyak sama gua. Tapi, terpaksa gua tolak karena, kan gua mau ketemu sama kalian." jawab Miki, "terus, dia minta alamat rumah gua supaya bisa nyamperin kalau kangen, katanya." 

"Jieeee, positif dia tertarik itu mah. Kok bisa, sih? Emang kalian intens ketemu dan ngobrol, ya? Kok dia bisa langsung kayak fallin in love, gitu?" tanya Karin. 

"Yaa, kan disana gua berbaur sama pendatang-pendatang lainnya. Terus, mulai akrab sama Dani. Lambat laun, gua jadi sering ngobrol sama dia dan curhat bareng gitu soal kerjaan, terus merembet ke cita-cita. Kalau menurut gua sih, obrolan kita nyambung dan cerita sama dia tuh enggak ada habisnya. Selalu ada aja cerita yang menarik buat dibahas. Dari situ, gua sama Dani jadi intens berkomunikasi. Terus, pas mau pulang ke Jakarta, dia nganter gua sampai stasiun... ya bareng-bareng sama teman-teman yang lain, sih tapi dia sempat bisikin kalau suatu saat dia mau nyusulin gua ke Jakarta. Gitu. Eh, ternyata dia enggak bohong." raut kebahagiaan terpancar jelas diwajah Miki. 

Mendengar pengakuan adiknya membuat ketiga saudaranya saling memandang satu sama lain dan melempar tersenyum. Mereka sepakat nampaknya Dani memiliki perasaan lebih terhadap adik mereka. 

"Terus, sekarang dia kan disini.. coba sebelum kalian jalan,  bawa dia dulu kesini. Kenalin sama kita-kita supaya bisa menilai, dia itu cowok baik-baik atau bukan." usul Karin. 

"Setuju !" susul Reynata sambil menjentikkan ibu jarinya, "kita mau tahu kira-kira dia bicara jujur sama lu atau cuma main-main karena lu cantik. Gua cukup ahli, lho buat tahu ciri-ciri cowok playboy."

"Main-main karena gua cantik..." Miki berpikir, "emang gua cantik, ya? Perasaan enggak, deh." kemudian mengambil handphone-nya untuk mengecek wajahnya pada layar.

"Enggak, lu enggak cantik. Lu dekil dan item." jawab Luna dengan agak kesal. Sontak komentarnya mendapat respons cubitan ditangan yang cukup menyakitkan dari Karin hingga membuatnya mengerang kesakitan. 

"Kalau ngomong tuh, biasain yang jujur. Keseringan bohong dan simpan rahasia, sih." omel Karin. Luna segera mengusap-usap tangannya yang perih dan panas. 

"Tangan lu beracun, ya? Sakit dan panas, nih cubitan lu." kali ini Luna yang mengomel. 

"Pokoknya, kalau hari ini lu beneran jadi jalan, suruh dia kesini dulu." kata Karin menetapkan keputusannya. 

"Tapi, kan kasihan, dia pasti susah cari jalan kesini." keluh Miki yang merasa permintaan kakaknya terasa sulit. 

"Ya enggak apa-apa, supaya kita juga bisa lihat perjuangan dia kayak apa buat nyamperin lu." kata Reynata. "Kalau beneran suka, pasti diperjuangin laah." 

"Atau... kalau lu merasa kasihan karena dia masih buta arah menuju rumah kita, masih bisa dirubah, kok." Gantian Luna yang memberi usul, "minta dia anter lu pulang sampai rumah. Jadi, kita tetap bisa ngelihat dia. Gimana?"

Miki terlihat mengangguk-anggukkan kepalanya. Merasa ide Luna terasa lebih pas dibanding permintaan Karin. Ia merasa kasihan kalau harus membiarkan Dani datang dengan kondisi buta arah, akan lebih baik kalau dia mengantarnya pulang sehingga Miki pun bisa memperkenalkan jalan-jalan yang  harus dilewati Dani. "Oke. Gua lebih setuju sama usul Luna." mendengar persetujuan Miki pun membuat Karin dan Reynata tak lagi memaksakan kehendaknya. 

"Emang, fix-nya kalian jalan jam berapa?" tanya Reynata. 

"Dia sih tadi kirim pesan, nunggu gua di Monas jam 1." jawabnya. 

"Dani udah tahu Monas?" tanya Karin. 

"Tempat penginapannya dekat Monas." jawab Miki lagi sambil mengecek-ngecek pesan dari Dani. Memastikan dirinya tak salah mengira soal tempat bertemunya nanti. 

"Sekarang jam berapa?" tanya Luna. 

"Hampir jam 11." Miki yang lagi-lagi menjawab sambil melihat jam yang tertera pada layar. 

"Lu enggak siap-siap? Dandanan yang rapi enggak bisa lu dapet dengan waktu yang mepet, lho." kata Karin. 

Miki refleks menggaruk kepalanya yang tidak gatal, "Iya ya, ya udah deh. Gua mandi dulu. Ini pembicaraan 'buka rahasia'-nya udah selesai, kan? Kalau belum, gua masih bisa tunda kok. Nanti, gua bilang sama Dani buat undur waktu ketemuannya." 

Karin mengibas-ibaskan tangannya, "Kalau gua sih udah enggak ada, kecuali tentang keputusan gua buat ikut atau enggak ke Jepang, masih gua pikirin nanti." 

Miki sontak maju dan memeluk lengan kakak tertuanya itu, "Jangan ikut, pleaseeeeee. Disini aja." 

Karin tersenyum, "Lihat nanti ya, adikku sayang." ia mengusap sayang puncak kepala adiknya. "Gua pasti bakal ngasih tahu kalian apa keputusan gua nanti, dan alasannya." 

Miki masih menatap sedih. Luna dan Reynata terdiam. Bingung untuk memberikan komentar, namun mereka kompak akan mengawasi gerak-gerik paman dan bibi Karin dan mencegah Karin menerima informasi yang salah sehingga lebih memilih pergi bersama mereka. 

"Udah sana, mandi. Badan lu bau keringat." usir Karin. 

Miki cemberut sebelum akhirnya benar-benar pergi ke kamarnya untuk mandi yang kedua kalinya. Keheningan kini memenuhi atmosfer ketiganya. Luna memikirkan bagaimana caranya mengetahui pelaku mamanya yang sebenarnya. Reynata memikirkan tentang status dugaan pelaku yang berlaku untuk paman dan bibi Karin. Entah kenapa, kecanggungan mulai terasa sejak Miki meninggalkan mereka. Luna mengusap-usap kepala belakangnya. 

"Selain Miki, enggak ada lagi yang mau pergi, kan?" tanyanya. 

Reynata menggelengkan kepalanya. "Tumben lu nanya-nanya, kenapa? Takut ditinggal sendirian, ya?" tanyanya. 

"Enggak, sih... tapi, orang sakit kan emang enggak boleh ditinggal sendirian." Luna melakukan pembelaan.

"Cih, ngaku orang sakit tapi ngeselinnya enggak berkurang kayak orang sehat." komentar Karin. 

"Tapi sengeselin apapun, gua tetap bakal jadi ngangenin kalau enggak ada. Ya kan?" tanya Luna dengan percaya diri. 

"Ngangenin buat digetok pakai centong. Karena ngeselin." jawab Karin dengan cepat. Reynata tertawa mendengar jawaban saudara tertuanya yang cukup sadis.


My Lovely Sisters 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang