Dua mata Luna terasa menghangat saat selesai membaca untaian kalimat yang dituliskan langsung oleh Mamanya. Ia menahan diri untuk tidak menjatuhkan air mata dan membiarkan cairan itu hanya menggenang dipelupuk matanya sehingga membuat penglihatannya kabur. Perasaannya bercampur aduk, namun yang paling mendominasi adalah kerinduannya yang mendalam dengan kehadiran sosok perempuan yang telah melahirkannya itu. Mamanya adalah satu-satunya orang yang ia tahu tak akan membiarkannya terluka dan menyerahkan hidupnya sendiri menjadi tameng perlindungan bagi Luna.
Ia memejamkan dua matanya, dan membuat genangan air yang menumpuk mulai mengalir lembut di pipinya. "Ma... terima kasih karena sampai akhir hayat, aku lah yang selalu ada dipikiran Mama. Aku enggak marah. Perjuangan Mama melindungiku enggak seharusnya mendapatkan kemarahan atas alasan apapun." ia berkata dalam hati dengan sungguh-sungguh. Seolah yakin, semua kalimat itu akan sampai dan didengar oleh Mamanya. "Mama enggak perlu khawatir lagi sekarang, karena aku enggak lagi merasa kesepian... dari atas sana Mama juga pasti sudah tahu, kan alasannya? Bukan karena Paman dan Bibi yang menarikku dari kesepian melainkan saudara-saudara tiriku." kali ini ia tersenyum. "Ya. Aku udah bertemu sama mereka, Ma... Mereka semua sangat baik dan bisa mengurusku walaupun berisik serta kadang menyebalkan."
Dalam pejamannya, satu persatu wajah saudaranya muncul dalam kepala. Wajah Miki yang kesal ketika dijahili... Reynata yang tertawa melihat dirinya diomeli... kemudian Karin, yang mengomel tiap kali dirinya menyanggah perintah atau perkataan Karin. Senyumnya seketika menghilang ketika mengingat Karin. Kedua matanya terbuka kemudian sebelah tangannya mengusap air mata dari pipinya. Ia mengambil handphone dari atas meja. Berniat mengirimkan pesan pada Paman Agung.
"Paman, maaf kalau pesanku ini mengganggu kegiatan Paman. Tapi, apa besok Paman punya waktu untuk bertemu denganku? Ada yang ingin kutanyakan." ia menekan tombol send. Tak lama kemudian, ia menerima laporan kalau pesannya telah terkirim.
"Rey..." Luna memanggil. Membuat Reynata harus berhenti membaca. Menatap penuh tanya ke arah Luna. "Besok, gua mau ketemu sama Paman Agung. Mau ikut?" tawarnya. Ia berpikir mungkin kali ini tidak apa-apa kalau mengajak Reynata yang juga sudah tahu tindakannya.
Reynata bangun dari tidurnya tanpa melepaskan tatapannya dari Luna. Menyandarkan tubuhnya ke sisi belakang tempat tidur dan bertumpu pada bantal yang didirikannya. "Ngapain?" tanyanya heran.
"Ada yang mau gua tanyain sama Paman." jawab singkat Luna.
"Tentang apa?" tanyanya lagi, "apa... lu nemuin petunjuk, ya dari surat nyokap?"
Luna menggelengkan kepalanya, "Cuma ada yang terlintas aja di kepala dan mau gua konfirmasi ke Paman. Mau ikut, enggak?"
"Mau... tapi, gua enggak bisa karena harus balik gawe." jawab Reynata dengan raut sedih. "Eh, tapi lu harus kasih tahu gua yah, apa aja yang lu omongin sama Paman." tuntutnya.
Luna mengangguk, "Oke." ia membalikkan badannya dan memasukkan amplop kedalam laci meja belajarnya. Ia melihat jam pada layar handphone yang sudah menunjukkan pukul 3 sore. Ia ingat ada kartun kesukaannya yang diputar dijam itu. "Gua mau nonton tv. Lu jangan berantakin kamar gua, lho." Luna berdiri hendak menuju pintu luar.
Reynata buru-buru beranjak dari tempat tidur, "Gua balik ke kamar aja, deh." setelah keluar dari kamar Luna, ia masuk kedalam kamarnya sendiri dan menutup rapat pintunya. Sedangkan, Luna tanpa mengatakan apapun lagi dan terus bergerak ke lantai bawah.
Di kamar lain, Karin terlihat memandangi layar handphone-nya. Ia baru saja mendapat pesan dari Bibi Talitha yang memintanya bertemu dan makan siang bersama besok. Ia mengubah posisi berbaringnya menjadi telungkup. Jari-jarinya bergerak untuk membalas pesan tersebut.
"Aku mau, Tante... tapi, aku boleh ajak orang lain enggak? Aku mau ajak saudara-saudaraku juga." ia menekan tombol send. Karin berharap Tantenya akan membalas kalau dirinya tidak keberatan menerima orang lain selain dirinya besok.
Tak lama handphone-nya bergetar dan menampilkan pesan balasan dari Bibi Talitha.
"Sebenarnya, tante mau ngobrol aja sama kamu. Kalau ajak saudara-saudara yang lain, takut enggak leluasa. Gimana kalau pertemuan kayak gitu, kita atur dihari lain? Besok, tante mau temu kangen sama kamu dulu.Yah?"
Karin menghela nafas panjang ketika menerima balasan dari tantenya. Ia agak kecewa karena sebenarnya merasa tak enak kalau harus meninggalkan saudara-saudaranya di rumah kala ia bersenang-senang dan makan enak bersama tantenya. Besok, Reynata akan kembali ke mes dan di rumah hanya tinggal Luna dan Miki. Ia tak bisa tenang kalau harus meninggalkan dua saudaranya yang sering bertengkar karena masalah sepele itu. Apalagi, ia juga masih harus melihat perkembangan kesehatan Luna. Ia tertegun. Kali ini, ia menyadari kalau kekhawatirannya sudah sangat mirip seperti seorang ibu yang tidak ingin lepas dan tidak nyaman berada jauh dari anak-anaknya. Ia tertawa kecil. "Astaga... saking terbiasanya ngurus mereka, bikin gua lebay kayak gini. Karin.. Karin... Lu tuh seumuran ama mereka." pikirnya. Ia berdecak dan menggelengkan kepalanya. Jari-jarinya kembali membalas pesan Bibinya. "Oke, Tante... aku paham dan akan kuusahakan. Tapi, aku enggak bisa sepenuhnya janji karena enggak tenang kalau mau ninggalin rumah di tangan saudara-saudaraku yang lain. Takut porak poranda karena perang lokal. Hehehe. Nanti kasih tahu aku tempat ketemuannya dan jam berapa, ya Tan.. See youu :* "
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lovely Sisters 2
General FictionPertemuan yang terjadi karena permintaan Paman Agung, membuat Karin, Luna, Reynata dan Miki harus menerima kenyataan kalau mereka adalah saudara dari satu Ayah yang sama. Hari demi hari mereka lalui dengan tenang dalam rumah yang diwariskan ole...