Kekhawatiran (Part 4)

218 20 1
                                    

Selesai mengisi mangkuk dengan bubur, Miki buru-buru kembali ke kamar Luna. Saat akan menaiki tangga, ia berpapasan dengan Karin yang sibuk bicara dengan operator taksi melalui telepon rumah. 

Seusai menelepon, Karin berniat kembali bergerak menuju kamar Luna sekaligus menyiapkan diri mengantarnya ke rumah sakit terdekat. 

"Permisi !" Karin berhenti saat mendengar ada seseorang diluar rumahnya. Gagang pintu pagar besi terdengar digerakkan hingga menimbulkan suara dentingan.

Karin membuka pintu depan. Kemudian, melihat seorang laki-laki memakai kemeja kotak-kotak hitam dan putih berdiri diluar pagar. Laki-laki itu mengangguk sopan dan melempar senyum canggung ke arah Karin. 

"Ya? Ada apa, ya?" tanya Karin yang hanya berdiri diambang pintu. 

"Maaf, ganggu. Saya temannya Luna. Luna ada di rumah, enggak ya?" 

Karin baru bergerak keluar menghampiri laki-laki itu. Ia tidak tahu kalau dia adalah Arga, kekasih Luna. Tangannya bergerak menggeser pintu besi didepannya. 

"Ada. Tapi, dia lagi kurang sehat. Emang udah janjian mau ketemu sama dia?" tanya Karin. 

Dengan rasa berterima kasih, Arga masuk ke area teras depan rumah. Karin juga mempersilahkannya untuk  memasukkan motor. "Enggak, sih. Cuma saya khawatir, soalnya dia susah dihubungi dari kemarin." Arga menyodorkan tangan kanannya untuk bersalaman. "Saya Arga. Teman kuliah... dan sebenarnya, pacarnya juga." 

Karin mengangguk mengerti kemudian tersenyum. "Ooh pacarnya. Ya udah masuk dulu. Lu lihat sendiri kondisinya Luna." bahasanya berubah non formal saat tahu Arga adalah kekasih saudaranya. 

"Dia sakit dari kapan?" tanya Arga sambil melepas sepatu dan meletakkannya di rak. 

"Kariiinnnnnn ! Kariin !" 

Karin tak sempat menjawab pertanyaan Arga karena kaget mendengar panggilan Miki yang panik. Sontak, keduanya bergegas mendatangi kamar Luna. Kemudian, melihat Luna yang sedang berbaring diatas tempat tidur dengan darah yang mengalir dari salah satu lubang hidungnya. Kedua matanya terpejam. Miki terlihat sedang menggoyang-goyangkan tubuh Luna agar terbangun. 

Karin dan Arga menghambur ke atas tempat tidur. "Kenapa, Ki?" tanya Karin. Ia mengambil selimut Luna untuk mengusap darah yang keluar. 

Miki menggelengkan kepalanya. Raut wajahnya sudah menunjukkan dia akan menangis. "Awalnya pas makan, Luna ngeluh bagian belakang kepalanya terasa sakit. Terus, tepar dan tidur. Enggak lama, darah keluar dari hidung. Dibangunin tapi enggak bangun-bangun." 

"Kita langsung bawa aja ke rumah sakit." kata Arga yang sudah bersiap akan membopong Luna ke bawah. 

Karin ikutan panik. "Gua emang udah pesan taksi buat antar Luna ke rumah sakit. Tapi, enggak nyangka kondisinya bakal segawat ini." katanya.

"Ya udah, jangan panik. Kalian siap-siap, bawa apa yang perlu dibawa ke rumah sakit. Gua bakal bawa Luna ke bawah sambil usaha nyadarin dia sampai taksinya datang. Oh ya, ada yang hubungin supir taksinya lagi, deh.. biar dia cepat sampai." usul Arga yang sedang berusaha agar tetap tenang. Dua tangannya meraih tubuh Luna yang terkulai lemas. Menggendongnya menuju lantai bawah. 

"Ki, tolong lu telepon lagi operator taksi. Tanya dimana supir taksi yang bakal jemput. Nomornya udah gua catat dibuku telepon, dibawah. Gua siap-siap dulu." Kata Karin yang kemudian melesat masuk ke kamar. 

Miki mengangguk dengan cepat dan melesat menuruni tangga. Arga membawa Luna ke ruang keluarga seperti yang diarahkan oleh Miki sebelum dirinya menelepon operator. 

"Lun? Luna?" Arga menepuk-nepuk keras wajah Luna yang pucat. Tak ada respon. Bahkan nafasnya pun terdengar terlalu halus hingga Arga harus mendekatkan telinganya ke hidung Luna. "Bangun, Lun." katanya lagi yang sia-sia karena Luna tak kunjung memberikan respons. Darah kembali mengalir dari lubang hidung yang sama. 

3 menit kemudian, taksi yang ditunggu akhirnya sampai di depan rumah. Karin sudah siap dengan tas berisikan dompet dan beberapa pakaian Luna, jika nanti saudara itu diputuskan untuk dirawat. Arga segera menggendong Luna yang masih tak sadarkan diri ke dalam taksi. Setelah mengunci pintu rumah dan pagar. Taksi langsung melaju cepat sesuai dengan permintaan Arga. 

My Lovely Sisters 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang