Masa Lalu (Part 4)

211 15 1
                                    

"Apa yang dia katakan, kak?" tanya Rindi yang menahan nada keingintahuannya yang besar. 

"Dia bilang, bukankah udah seharusnya aku mengakhiri pernikahan dengan Budiman. Sampai kapanpun Budiman enggak akan mencintaiku atau menyamakan posisiku seperti Budiman yang mencintai Karina. Jadi, kenapa aku masih menghabiskan waktu untuk hidup bersama Budiman..." jawab Luci, tiba-tiba ia merasakan sesak dan sakit pada bagian dadanya ketika mengingat betapa sinisnya perkataan Karina. Sebuah reaksi dan ucapan yang tak pernah diduganya akan diberikan oleh seorang Karina. "Dia juga mengatakan, seharusnya aku yang paling tahu kapan harus berhenti... berhenti berharap bisa menerima cinta dari Budiman dan.... berhenti menerima apa yang seharusnya diterima oleh Karina. Saat sebenarnya aku bisa mendapatkannya dari siapapun dan kapanpun karena keluargaku yang terpandang. Dia bilang mulai muak melihat Budiman berbagi dengan para istrinya saat jelas cuma dia yang dicintai oleh Budiman." Luci menurunkan satu kaki yang ia topangkan pada kaki lainnya.

"Tapi, dia memang ada benarnya, kak... Mau sampai kapan kakak berada diposisi seperti sekarang? Dengan lepas dari Budiman, maka kakak bisa memulai hidup yang baru dan enggak terancam seperti sekarang." komentar Rindi.

Luci meletakkan telapak tangannya di kening, memejam dua matanya, ekspresinya berubah menyakitkan seolah menyimpan beban tanggungan yang berat. "Aku enggak bisa." 

"Kenapa sih, kak?" tanya Rindi dengan nada rendah. 

"Yang paling penting, aku enggak bisa membiarkan Luna menjadi anak korban perceraian. Sampai sekarang pun, dia enggak tahu soal Budiman yang yang memiliki empat istri. Yang dia tahu hanya Ayahnya yang mencintai ibunya dengan kesibukan kerja yang sangat tinggi. Kedua, Ayah akan sangat marah besar padaku dan enggak akan memudahkan usahaku bercerai dari Budiman. Dia sudah melihat peluang bisnis yang besar ketika Bisma memberikan perhatian lebih pada Luna."  Luci menatap adiknya, ia memikirkan hal lain, "Selain itu, jika aku benar-benar bisa bercerai... apa kamu pikir Ayah akan membebaskan hidupku?" Dia menggeleng, "Pasti dia akan kembali menjodohkanku dan Ayah hanya akan memikirkan kekayaan, bukan kebahagiaanku." 

Rindi terdiam. Semua pandangan kedepan yang diutarakan oleh kakaknya kemungkinan besar bisa terjadi, jika dia mengingat kembali tabiat Ayahnya yang menjunjung tinggi prinsip kebahagiaan berasal dari kekayaan yang ia punya. Ia menghela nafas panjang. Terdapat perasaan benci mengenai kenapa dia harus memiliki seorang Ayah kejam seperti ayahnya. Ia menyadari memang tak akan ada jalan keluar apapun bagi mereka selama Ayah mereka masih hidup. "Jadi, setelah ini apa keputusanmu, kak? Karina udah memintamu seperti itu." 

"Aku katakan padanya, aku enggak mau bercerai. Tapi, dia salah paham. Mengira alasanku sebenarnya adalah agar Bisma bisa tetap mendidik Luna menjadi pewarisnya dan supaya Budiman juga memberikan perhatiannya padaku." Luci menarik nafas, "Lalu, dia bilang muak denganku, Manda dan Renny. Kami dibilang enggak tahu terima kasih." 

Rindi menyeringai dan mendesis bersamaan, "Astaga... enggak kusangka, Karina seperti itu. Mungkinkah, ini sifat asli yang dia tutupi dari kalian? Sok baik dan ikhlas tapi nyatanya, dia mengharapkan kalian bisa membalas kebaikannya." 

Luci reflek menggelengkan kepalanya pelan. Ia pun masih tak menyangka dengan perubahan sikap Karina yang begitu drastis. "Kemudian, dia mengingatkanku.. untuk berhati-hati dengan apa yang sudah kuputuskan. Mungkin aja, keputusanku itu akan mengambil pengorbanan yang besar." Gestur tubuh Luna kembali tidak nyaman, "Aku enggak terlalu yakin bisa mengerti dengan kalimat terakhir yang ia ucapkan, tapi itu... seperti ancaman." 

Raut Rindi kini berubah syok. Kalimat itu sudah pasti adalah ancaman. Karina benar-benar berubah, menurutnya. Karina yang pernah ia temui adalah perempuan yang sangat ramah, bahkan tutur katanya pun sangat terjaga dan sopan meskipun hanya dari keluarga pengusaha biasa. Beberapa kali, ia juga melihat bagaimana Karina melemparkan senyum tulus pada kakaknya, tiap kali ada kesempatan bertemu bersama. Tapi... mendengar kata-kata barusan... benarkah dari mulut seorang Karina? 

"Aku merasa masalahku sekarang bukan hanya hidup bersembunyi dari musuh bisnis Budiman... tapi, perubahan Karina justru terasa lebih menyeramkan untukku." 

Rindi tak berkomentar melainkan hanya menghembuskan nafas panjang dan berat. Ia bisa ikut kesulitan kakaknya yang makin bertambah karena Karina. 

"...dan setelah menerima telepon dari Budiman.... aku semakin memiliki perasaan mungkin hidupku enggak akan selama Luna, tapi enggak akan kubiarkan Luna juga ikut terluka karena masalah ini. Karena itu... Rindi, aku butuh dirimu, Lita, Rama bahkan Sophian untuk menjaga Luna. Kalian yang paling tahu masalahku dan kita memiliki posisi yang sama, bisakah kau dan saudara-saudara yang lain ikut menjaga anakku?" Luci menatap dengan memohon. 

Rindi didera rasa bingung, dan takut. Merasakan kalau permintaan kakaknya adalah permintaan terakhir. 

"Rindi? Aku benar-benar memohon padamu. Kita sama-sama enggak bisa mengandalkan Ayah, tapi kita bisa bergantung sama lain, kan? Aku yakin Luna enggak akan merepotkan karena dia anak yang pintar dan cepat mengerti kalau diajari." 

Rindi terlihat ragu, "Keputusan enggak cuma ditanganku, kak. Aku punya suami dan anak-anak, seenggaknya aku perlu meminta izin pada suamiku." katanya. "Tapi, aku akan usahakan buat dia mengerti... dan aku juga akan bicara pada Rama, Lita, dan Sophian. Atau menurutku, kakak juga perlu bicara langsung dengan mereka." 

Luci mengangguk dengan cepat, "Aku juga berencana seperti itu." ia menarik nafas panjang, dan menatap adiknya dengan tersenyum. 

Rindi beranjak dari duduknya dan mendekati kakaknya. Mengusap pelan pundaknya, "Berdoalah, semoga semua yang kau takutkan atau khawatirkan enggak terjadi. Aku pun ikut mendoakan agar kehidupanmu secepatnya membaik,kak." sikap Rindi melunak. Bagaimanapun, Luci adalah kakak kandung yang dulu sangat disayanginya. Menjadi teladan karena kebaikan, ketulusan dan kepintarannya. Kini melihatnya, yang bahkan tidak bisa tersenyum dengan lepas, membuat Rindi prihatin dan merindukan sosok kakaknya yang dulu bebas tanpa beban. 

 Luci merasa terharu. Akhirnya, ia bisa kembali melihat sosok manis adiknya yang dulu. Yang selalu mendukungnya ketika merasa jatuh ataupun sedih. "Aku.. merasa beruntung memiliki adik sepertimu, Rindi. Meskipun sudah kecewa dengan semua keputusan yang kubuat, kau tetap bersedia membantuku."

Rindi mengangguk dan memeluk kakak ketiganya itu. Mengusap punggung dan tidak mengeluarkan suara apapun selain membiarkan kakaknya membalas pelukannya. 

"Baiklah. Aku harus pulang. Jangan sampai aku mengganggu waktumu terlalu banyak." kata Luci yang sudah melepaskan pelukannya. 

"Jangan bicara begitu, kak. Mulai sekarang, datanglah kalau kau perlu teman bicara. Tapi, tolong kabari aku dulu jika mau datang." kata Rindi mengingatkan. 

Luci mengangguk. Ada raut senang terpancar dari wajahnya mendengar perkataan adiknya. Kemudian, keduanya beralih keluar ruangan menuju pintu depan karena Luci harus segera kembali. Mendapat telepon dari Budiman serta peringatan Karina membuatnya tak bisa berlama-lama meninggalkan putri tunggalnya. 

"Aku pergi." 

Rindi mengangguk, "Hati-hati." Ia kembali masuk ke rumah saat Luci sudah menjauh dari area rumahnya


My Lovely Sisters 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang