Keterbukaan (Part 3)

237 18 1
                                    

Dua hari kemudian, Luna telah kembali ke rumahnya. Kondisinya semakin membaik setelah sadar sehingga dokter sudah memperbolehkannya pulang. Meskipun, wajahnya masih pucat namun tenaganya berangsur-angsur kembali dan sudah bisa berjalan-jalan didalam rumah. 

"Lun, jangan banyak jalan-jalan. Duduk aja di ruang keluarga, ntar ngedrop lagi. Eh, itu obatnya udah diminum belum? Jangan sampe telat." Miki mengikutinya di belakang. Kemudian melihat jam dilayar handphonenya, "Udah mau jam 12, bentar lagi makan siang. Ada obat yang harus diminum sebelum makan, enggak?" 

Luna menoleh ke belakang kemudian menarik si bungsu dan mengalungkan lengan kanannya dileher, "Kayak emak-emak, lu. Bawel." kemudian secara beriringan masuk ke dalam ruang keluarga. 

"Yee, gua perhatian tahu. Ngingetin lu supaya jangan sampai telat minum obat. Kalau gejala tifus lu kambuh lagi, gimana?" 

Luna melepas rangkulannya dan duduk diatas sofa. Meraih remote dan menyalakan tv untuk melihat serial kartun animasi. Miki duduk bersandar dibawah Luna. Ia sibuk memainkan media sosial dan game didalam handphone. 

"Reynata sama Karin, kemana?" tanya Luna yang tak melihat dua saudaranya yang lain beredar. 

Belum sempat Miki menjawab, pintu rumah terdengar dibuka dan samar-samar suara obrolan Karin dan Reynata menggema sampai ruang keluarga. 

"Tuh, baru pada pulang." jawab Miki. 

"Emang abis darimana?" tanya Luna lagi. 

"Supermarket dekat rumah, kayaknya." jawab Miki tanpa melepaskan tatapannya pada layar handphone. Luna memerhatikan adiknya yang sedang bermain game. Lalu, ide iseng muncul di dalam kepalanya. Tanpa suara dan diduga oleh Miki, jari telunjuknya dengan cepat menekan tombol menu sehingga game yang dimainkan tertutup dan kembali ke layar awal. 

Wajah Miki berubah syok kemudian menoleh ke arah Luna yang cengengesan. Reflek tangannya memukul kaki kakaknya itu berkali-kali. "Reseh banget, sih lu. Gua bentar lagi menang." 

Luna terkekeh, "Masih bisa diterusin, kan?" 

"Enggak bisaaaa.. harus dari awal. Ish !" Miki memukul lagi kaki Luna. Aksinya itu dilihat oleh Karin dan Reynata yang baru saja melewati ruang keluarga menuju dapur. 

"Lho lho, kalian ngapain? Miki kok mukul-mukul begitu." tanya Karin. 

Reynata hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, "Bener-bener enggak bisa ditinggal sebentar." komentarnya. 

Miki merengut, "Biasa, Luna, nih enggak bisa banget lihat orang senang. Gua lagi main game malah diganggu. Padahal bentar lagi menang." adunya. 

"Tukang ngadu." ledek Luna. 

"Bodo." 

"Ish ! Udah, jangan berantem. Miki bantu gua masak sayur bayam aja. Rey, lu disini temenin si Luna. Enggak percaya deh, gua kalau ninggalin Miki sama Luna."

Reynata terkekeh, "Kayak bayi aja, harus ditemenin. Gua taroh belanjaan dulu." sambil melangkah terlebih dulu ke dapur. 

Luna tak memedulikan tugas yang diberikan oleh Karin karena menurutnya ada benarnya apa yang dikatakan oleh Reynata. Kenapa dirinya harus ditemani, toh saat ini dia merasa baik-baik saja meskipun masih merasa lemas. Fokusnya kembali terarah pada adegan di acara kartun animasinya. 

Tak lama, Reynata benar-benar datang dengan membawa stoples cookies cokelat. Ia duduk bersandar dibawah Luna. "Ye'elah, Lun tontonan lu enggak pernah berubah. Masih aja, kartun. Yang agak dewasa dikit, gitu." komentarnya kemudian memasukkan sekeping kecil cookies ke dalam mulutnya.

"Disini juga ada orang dewasanya, kok. Ada atuk, cek gu, opah dan lain-lain."

"Bukan. Maksud gua ganti acaranya, jangan kartun. Coba ganti FTV." 

"Ogah. Kebanyakan drama." jawab Luna. 

"Hidup kan, emang penuh drama, Lun. Film dibuat sebagai refleksi kehidupan." 

"Tapi, kalau lagi kesal atau sedih, enggak ngomong sendiri, kali. Emang lu kalau lagi kesel atau sedih, ngomong sendiri? Kayak orang gila." 

"Kadang suka begitu, sih. Tapi, kalau lagi sendirian didalam kamar. Emang lu enggak pernah, gumamin sesuatu?" tanya Reynata. 

Luna mendengus kemudian mengganti channel tv sesuai dengan yang diminta oleh Reynata. Meraih stoples dari tangan Reynata dan memakan cookies didalamnya. 

"Heh, emang lu udah boleh makan itu?" tanya Reynata. 

"Emang kenapa? Enggak ada racunnya, kan?" Luna mengunyah cookies dengan cuek. 

"Bukan... maksud gua emang badan lu udah cocok sama komposisi makanannya. Bukannya harus yang sehat-sehat dulu?" 

"Selama enggak ada racunnya, termasuk makanan sehat." jawab Luna. 

"Terserah lu, deh Lun." jawab Reynata yang enggan berdebat lebih panjang. "Eh, lu kapan siap cerita?"

"Cerita apa'an?" 

"Cerita masalah lu sama keluarga lu itu, lho. Yang ada sangkutannya sama warisan." 

Luna terdiam. Ia agak terkejut ketika Reynata kembali mengungkit tentang permintaan agat dia menceritakan hal yang sebenarnya pada ketiga saudaranya.

"Kalau lu tetap enggak mau cerita, gua bakal semakin penasaran buat cari tahu." jawab Reynata yang kembali mengambil sekeping cookies dari stoples di tangan Luna. 

"Lu kan emang tipe kepo, Rey." jawab Luna dengan merendahkan suaranya. 

Reynata mengangguk perlahan, "Enggak apa-apa kepo, yang penting ikatan saudara kita bisa tetap terjaga dan enggak ada lagi main rahasia-rahasiaan." 

"Emang salah kalau orang punya rahasia?"

Reynata menatap Luna dengan serius, "Salah, kalau rahasia yang disimpan ternyata malah menimbulkan masalah serius dikemudian hari."

Luna tak lagi menjawab. Rasanya dirinya selalu merasa kalah kalau adu argumen dengan Reynata. Sikap saudara ketiganya itu seperti cermin untuk dirinya sendiri. Selalu memiliki sanggahan atas apa yang ia katakan. 

"Jadi.... tetap mau, kan buat ngasih tahu hal sebenarnya?"

Luna tak lagi berniat menolak, dan hanya memberikan dehaman. 

"Secepatnya, kan?"

Luna kembali berdeham. 

"Kapan?" 

"Kalau udah siap." jawab Luna dengan raut cuek. Ia tak benar-benar serius dengan jawabannya. 

"Siapa nih yang siap? Kita atau lu?"

"Semuanya." 

"Kalau kita sih, pasti udah siap. Tinggal lu."

"Iya."

"Jangan lama-lama, lho Lun." kata Reynata lagi. 

"Iya. Lu bawel banget, deh kayak si bungsu." 

Reynata terkekeh dan mengembalikan pandangannya ke acara televisi. 




My Lovely Sisters 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang