Karin membuka pintu apartemen dengan tak bergairah. Ia tak mengerti kenapa situasinya berubah menjadi kacau, padahal ia berharap bisa mendekatkan tantenya dengan saudara-saudaranya dalam pertemuan ini.
"Apa semua baik-baik aja, Rin?" Tanya Tante Talitha yang melihat kelesuan dari wajah sang keponakan.
Karin berusaha tersenyum, "Enggak terlalu baik. " ia berjalan menghampiri sang Tante dan duduk di meja makan. "aku minta maaf ya, Tante atas sikap Luna tadi. . . kalau di rumah, dia emang biasa ngomong secara to the point atau enggak segan nanya kalau ada hal yang bikin dia penasaran tapi, aku enggak nyangka dia bakalan bersikap sama ke Tante, orang yang baru pertama kali ditemuinya."
Tante Talitha mengambil sebotol anggur dan gelas, lalu ia tersenyum memandang keponakannya, "Kamu mau ikut minum, enggak?" tawarnya.
Karin menggelengkan kepalanya, "Enggak, Tante. Makasih."
"Kenapa? Kamu udah, kan udah dewasa." tanyanya lagi.
"Enggak, Tante. Aku enggak minat buat nyoba."
Tante Talitha berhenti membujuk kemudian memilih menyodorkan kentang goreng yang ia panaskan dan tersajikan di atas piring. "Ya udah, makan ini aja. Pasti mau, kan?"
Karin tersenyum kemudian mengambil satu potong kentang goreng, "Aku pikir setelah kejadian tadi, Tante akan milih buat istirahat di kamar, tapi ternyata masih semangat buat minum dan manasin kentang." ia sedikit terkekeh.
"Hufhh, justru Tante enggak akan bisa tidur dengan membawa perasaan kayak, gitu. Lebih baik dihilangkan dulu secara perlahan dengan minum atau ngemil." katanya.
Karin mengangguk mengerti, Tante Talitha duduk disisi berlawanan sehingga bisa menghadap pada keponakannya dengan gelas tersampir ditangannya. "Dilihat dari sifat anak-anak tadi, Tante yakin kamu enggak pernah kesepian. Ya kan?" tanyanya.
Karin mengangguk, "Yah, gitu deh Tante. Aku udah pernah cerita, kan kadang aku sampai sakit kepala sendiri kalau lagi ngadepin mereka. Kayak masalah barusan, aku harus negur Luna karena udah bersikap enggak sopan sama Tante. Padahal kalau dipikir-pikir, kami ini seumuran, tapi kesannya aku ini kayak seorang ibu yang lagi mendidik anak-anaknya yang baru beranjak dewasa." ia memberikan keluhan.
Tante Talitha mencecap minumannya, "Mungkin, mereka cuma mau bersenang-senang. Dengan menggoda atau menjahili satu sama lain."
"Yah, aku juga berpikiran begitu, sih tapi kadang aku juga punya keinginan satu hari itu suasana rumah bisa lebih tenang. Kalau Tante tahu ya, setiap Luna dan Miki ketemu, pasti ada aja diributin. Hal-hal sepele, padahal. Ya, tante bisa lihat sendiri lah, Miki pun udah ngeluhin sikap Luna yang kurang baik sama dia." tanpa sadar Karin menggelengkan kepalanya.
Tante Talitha terkekeh pelan, "Bisa gitu, ya? Padahal seingat Tante, mama-mama kalian akur banget, lho."
Karin mengangkat bahunya, "Enggak tahu lagi, deh Tan. . . apa yang salah dari otaknya Luna, sampai sekarang sikapnya pun enggak banyak berubah."
"Terus, kegiatan saudara-saudara kamu apa? Kalau kamu, kan kerja." tanya Tante Talitha lagi.
"Reynata baru aja resign dari kantornya. Luna sebenarnya kuliah di luar negeri, tapi kebetulan disana lagi liburan musim panas kalau Miki, dia juga baru pulang belajar dari Pare dan rencananya dia mau nyari beasiswa kuliah S2 di luar negeri." terang Karin.
Talitha menganggukkan kepalanya, "Eum, Rin. . ."
"Ya, Tan?"
"Cita-cita kamu itu sebenarnya apa, sih? Maksud tante, sekarang kamu emang kerja tapi itu kan karena emang kebutuhan, tapi dari segi keinginan atau passion, kamu maunya jadi apa? terus. . . kamu juga udah dewasa, udah ada rencana buat target menikah, belum?" tanyanya lagi.
Karin tertegun mendengar pertanyaan beruntun dari Tantenya. Hingga saat ini, sebenarnya dirinya belum memikirkan masa depan selain kehidupan bersama saudara-saudaranya. "Aku belum tahu, sih kalau soal target menikah. Pacar aja lagi enggak ada." ia sedikit malu, "soal passion, aku juga belum tahu. Yang aku tahu kerjaan aku di butik, mempengaruhiku untuk kembali menggambar baju-baju ciptaanku sendiri. Tapi, itu masih sekadar iseng-iseng aja."
"Hobby kamu itu enggak mau diseriusin? Mumpung kamu masih muda, kesempatan berkarir masih panjang, dan bisa mencapai kesuksesan seperti yang kamu inginkan. Asalkan tekun, sebisa mungkin akan Tante dukung. Kamu masih ingat, kan waktu Tante bilang siap nguliahin kamu di jurusan designer. Tante serius, lho." Tante Talitha berusaha meyakinkan, "Tante cuma enggak mau, kamu mengalami keterlambatan karena baru sadar dengan apa yang mau kamu capai. Mumpung otak dan stamina kamu masih fresh, digunakan semaksimal mungkin sebelum kamu bertambah umur."
Karin diam mendengarkan perkataan Tantenya.
"Tante senang sih saat tahu kamu hidup dengan baik selama di Jakarta, dan Tante bersyukur kamu dikelilingi sama saudara-saudara yang enggak bikin kamu kesepian. Tapi, untuk cita-cita juga jangan diabaikan. Suatu saat kalian pasti punya kehidupan sendiri, misalnya menikah. Kamu tentu enggak mau, kan belum mencapai apapun ketika udah menikah?" kata Tante Talitha lagi. "Jangan sampai kayak mama kamu dulu."
"Emang mama kenapa, Tan?" Karin penasaran.
"Dulu, Mama Karina sempat curhat sama Tante nyesel belum meraih apapun sebelum menikah. Dia punya minat dibidang yang sama kayak kamu, tapi enggak bisa jadi designer karena terlanjur menikah, dan Ayah kamu dulu melarang mama kamu untuk bekerja. Tapi, kalau sekedar dijadikan hobby enggak apa-apa. Baju-baju bayi kamu juga, kan kebanyakan buatan mama kamu, Rin. Dia baru kehilangan minatnya setelah masalah menimpa keluarganya." Tante Talitha bercerita. "Makanya, Tante enggak mau kamu mengalami hal yang sama kayak mama kamu. Tante mau kamu bisa lebih berhasil dan mencapai apa yang kamu inginkan."
Karin menghela nafas panjang, "Aku. . . aku juga punya keinginan sama, sih. . . tapi--"
"Kamu masih mempertimbangkan kehidupan saudara kamu disini, ya?" tanyanya.
Karin menganggukkan kepalanya. Pembicaraan Tantenya ini membuatnya berpikir ulang tentang cita-citanya. Tapi, sebesar apapun keinginannya, tetap ada sesuatu yang membuatnya tak bisa sembarang pergi begitu saja.
"Tante yakin, kok kalau mereka bakal baik-baik aja. Harusnya mereka senang kalau tahu kamu mau ngejar cita-cita kamu. Menurut tante, seharusnya kamu enggak terbebani dengan sandangan 'ibu', karena kamu itu seumuran dengan mereka, dan berhak mendapatkan apapun yang kamu mau untuk hidup kamu. Kamu ini udah bersikap dewasa dan seharusnya saudara-saudara kamu juga bersikap sama." Tante Talitha memberi nasihat. Karin masih diam. Tante Talitha menghela nafas berat, "Tante harap kamu enggak salah paham sama perkataan Tante, ya. . Tante cuma mau kamu mendapatkan yang terbaik dan berhasil dalam hidup sampai nanti , menikah dan punya anak."
"Iya, aku paham kok Tante. Aku rasa ada benarnya, dan akan memikirkan baik-baik nasihat Tante." kata Karin. "Kalau enggak keberatan, aku tidur duluan ya, Tan."
Tante Talitha menganggukkan kepala, mengijinkan. Karin turun dari kursinya dan melangkah menuju kamar. Dua mata Tante Talitha mengikuti gerakan sang keponakan hingga ia menutup pintu kamarnya. Lalu, ia tersenyum tanpa sebab dan meminum habis sisa anggur dalam gelasnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/95925263-288-k987330.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lovely Sisters 2
General FictionPertemuan yang terjadi karena permintaan Paman Agung, membuat Karin, Luna, Reynata dan Miki harus menerima kenyataan kalau mereka adalah saudara dari satu Ayah yang sama. Hari demi hari mereka lalui dengan tenang dalam rumah yang diwariskan ole...