Perpisahan

158 17 1
                                    

Keesokan paginya, tepat pukul 7, Luna sudah berdiri didepan pintu apartemen Tante Talitha. Menekan beberapa kali bel yang terpasang disamping kusen pintu. Ia terpaksa datang pagi-pagi dan tanpa mengabari karena Karin tidak kunjung membalas pesannnya. Telepon darinya pun tak diangkat sebelum akhirnya di non-aktifkan oleh saudara tertuanya itu. 

Luna datang seorang diri karena menganggap kedua saudaranya tak bertanggung jawab atas kesalahan yang ia buat. Meskipun Reynata dan Miki sempat memaksa ingin pergi, namun Luna menolaknya. 

Pintu apartemen terbuka, menampilkan wajah Karin yang berhias make up. Luna menghela nafas lega karena ia datang sebelum saudaranya pergi ke kantor. Karin terlihat kaget namun tak lama kembali berekspresi normal. 

"Luna?" ia mengecek waktu pada jam tangannya, "ngapain lu pagi-pagi begini datang ke sini?" 

Hati Luna mencelos mendengar perkataan Karin yang sinis. Raut wajahnya pun tak menunjukkan kesenangan. "Gua mau ketemu sama Tante lu buat minta maaf." jawab Luna dengan tenang. Ia tak mau rasa kesalnya diketahui oleh Karin dan menyebabkan kekacauan yang lebih parah. 

"Emang enggak bisa datang di waktu yang lebih 'masuk akal'?" tanya Karin lagi.

Alis Luna naik sebelah mendengar jawaban Karin, mengerlingkan matanya ke arah lain, menghela nafas panjang karena menahan diri untuk tidak mengomel, lalu menatap kembali pada Karin, "Seandainya lu balas pesan atau angkat telepon dari gua, gua bisa datang di waktu yang 'lebih masuk akal'." jawabnya terdengar dingin. 

Karin menyedekapkan tangan didada sambil menatap tajam pada Luna, sikapnya menunjukkan belum mau mengijinkan saudaranya itu untuk masuk, "Datangnya agak siangan aja, Tante gua masih belum bangun dan gua mau berangkat kerja. Buru-buru."

"Lu enggak kelihatan buru-buru. . ." Luna berkomentar. Karin memang sudah memakai make up tapi belum menyisir rambut, mengenakan sepatu ataupun tas, bahkan mimik wajah ketika membukakan pintu untuknya, terlihat bukan seperti orang yang tengah diburu-buru waktu. 

"Gua buru-buru sebelum akhirnya harus membukakan pintu buat tamu yang enggak tahu waktu kunjungan." balas Karin. 

Luna masih menahan diri, "Gua datang kesini buat minta maaf sama Tante Talitha, bukan mau beragumen sama lu." ia menelan ludah dengan beratm, seberat usahanya untuk tidak membentak saudaranya yang sudah berkata sinis dan menyinggungnya, "oke, gua akan datang lagi kesini agak siangan. Boleh sekarang minta nomor telepon Tante lu, buat ngabarin rencana kedatangan gua nanti? Supaya enggak salah waktu."

"Tunggu sebentar." perintahnya. Ia memutar tubuhnya ke belakang, entah apa yang akan dilakukannya. Luna menunggu di depan pintu apartemen dengan menyandarkan tubuhnya pada dinding diluar. Tak lama, Karin kembali keluar dengan secarik kertas ditangannya. 

"Nih." ia menyodorkan kertas bertuliskan deretan angka tersebut dengan tidak ramah, "udah enggak ada lagi yang diminta, kan?" tanyanya. 

Luna menerima kertas tersebut, kemudian memasukkannya kedalam clutch bag-nya, "Thanks. Sorry udah ganggu." ia berjalan begitu saja tanpa memperhatikan wajah Karin. Karin sempat merasa terkejut melihat sikap Luna yang semula terlihat tenang kini seperti enggan melihatnya. Ia terpaku beberapa saat, sebelum akhirnya menutup kembali pintu apartemennya. 

Dalam perjalanannya menuju untuk keluar dari gedung apartemen, ia mengirim sebuah pesan berisi permintaan pertemuan ke nomor Tante Talitha. Setelah dikirim, ia memutuskan untuk menunggu balasan sembari meminum kopi di cafe terdekat, yang pernah dikunjunginya bersama ketiga saudaranya. 

***

"Siapa yang datang, Rin?" tanya Tante Talitha yang baru bangun. Ia berjalan menuju dapur untuk mengambil sebotol air dalam lemari es. 

My Lovely Sisters 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang