Sandiwara (Part 2)

156 22 3
                                    

Di rumah sakit, Andreas bersama beberapa anak buah Paman Agung berdiri melingkari tempat tidur atasannya. Andreas tersenyum lega saat jam 6 pagi tadi, Paman Agung sudah sadar dari komanya. Kini beliau sudah bisa diajak mengobrol secara perlahan. 

"Kemarin Luna dan saudara-saudaranya menyempatkan diri datang untuk menjenguk Tuan." Kata Andreas yang sedang berdiri di sisi kanan tempat tidur. 

"Benarkah? Bagaimana mereka bisa tahu kondisi saya?" tanya Paman Agung. 

"Saya yang menghubungi mereka." jawab Andreas. "Mereka datang secara terpisah. Luna bersama dengan Reynata datang pada pagi hari, tidak lama dari saya menghubungi mereka kemudian disusul Miki, baru Karin yang langsung datang setelah selesai bekerja. Mereka semua terkejut dengan berita kecelakaan Tuan dan terlihat sangat khawatir. Saya belum mengabari lagi soal Tuan yang sudah sadar." 

"Begitu." komentar Paman Agung, ada rasa hangat dalam hatinya ketika tahu dirinya dijenguk oleh keempat perempuan itu. Ia tersenyum. 

"Saya akan segera mengabari mereka." 

Paman Agung menganggukkan kepalanya. 

"Selain itu, saya ingin tahu apakah Tuan mengetahui sesuatu sebelum kecelakaan itu terjadi?" tanya Andreas dengan ekspresi keingintahuan. 

Paman Agung memejamkan kedua matanya seolah merasa berat untuk menceritakannya, "Bagaimana kondisi Fathir?" tanyanya. 

"Fathir. . . tewas setelah kejadian, saya sudah datang ke kediaman keluarganya dan mengurus semua termasuk pemakaman hingga biaya belasungkawa." 

Paman Agung menatap Andreas dengan penuh rasa terima kasih, "Terima kasih karena sudah membantuku mengurus semuanya." Andreas memberikan senyuman tulusnya, "Aku enggak menyangka hal seperti ini akhirnya menimpaku. Padahal aku sudah bersiap, tapi tetap saja momen yang terjadi tanpa diduga waktunya ini membuatku syok." katanya. Andreas tak memberikan tanggapan apapun karena ia tahu Tuannya itu akan menceritakan hal yang sebenarnya. 

***

Malam itu, Paman Agung baru saja selesai menjamu tamunya dengan makan malam di salah satu restoran ternama di Jakarta Pusat. Setelah berjabat tangan untuk terakhir kalinya, ia pergi menuju mobilnya yang terparkir. Ketika itu, ia melihat Fathir, anak buah yang bertugas mengantarnya hari itu, terlihat berlari menghampirinya. 

"Lho, kamu habis darimana, thir?" tanya Paman Agung yang heran. 

"Saya habis mengantar seorang ibu tua ke jalan besar disana, Tuan. Barang bawaannya besar-besar dan berat, jadi saya enggak tega juga dan menawarkan diri untuk mengantar sebentar sampai beliau menaiki bus." kata Fathir sambil menarik nafas panjang. 

Paman Agung mengangguk mengerti, dan merasa bangga dengan kebaikan yang ditawarkan oleh anak buahnya. "Oke, ayo kita berangkat." ajaknya sambil membuka pintu mobil.

"Mau ke kantor dulu atau langsung pulang, Tuan?" tanya Fathir yang sudah duduk di kursi setir. 

"Langsung ke rumah aja, Thir, tubuhku akhir-akhir merasa lemas. Mungkin ini sinyal supaya saya mulai mengurangi jam lembur di kantor."  

Mobil mulai bergerak maju, "Menurut saya, Tuan harus mulai banyak beristirahat dan kontrol ke rumah sakit. Meskipun enggak punya penyakit serius, tapi setidaknya Tuan tahu kondisi terkini kesehatan sendiri. Kalau ada yang enggak beres, para dokter akan memberikan saran supaya Tuan bisa menjalani pola hidup yang lebih sehat." saran Fathir. Lelaki yang baru memasuki umur 30 tahun itu kemudian memutarbalikkan mobilnya ke arah jalan menuju kantor Tuannya. "Sejujurnya, saya merasa khawatir saat Tuan mengeluhkan sakit kepala hebat kemarin tapi tetap memaksakan diri untuk bekerja." 

My Lovely Sisters 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang