Luna tertegun ketika kini dirinya sudah berpindah tempat setelah berpamitan dengan Arga. Ia agak bingung melihat ombak bergelung didepannya dengan situasi malam. Setelah menatap sejenak, Luna pun sadar pesisir pantai tempatnya berdiri adalah bagian dari peristiwa naas yang menimpanya. Ketika tubuh matinya dibawa ke tempat ini.
"Kenapa gua kesini?" tanyanya dalam hati. Ia menoleh ke kiri dan kanan mencari sesuatu yang bisa dijadikan alasannya berada di tempat ini.
"Nona Luna." Luna menoleh ke belakang dan menemukan sosok Andreas berdiri 5 langkah darinya. Laki-laki itu memakai atasan kemeja celana sepanjang lututnya dengan warna senada, putih. Kedua kakinya dibiarkan tanpa alas. Kedua tangannya dimasukkan kedalam saku celananya.
Luna memutar tubuhnya kemudian menatap laki-laki itu dengan penasaran. "Apa dia yang bikin gua ada disini?" tanyanya lagi dalam hati, "jangan-jangan ada yang mau disampaikannya juga."
Andreas melangkah mendekati Luna, hingga berdiri berdampingan. Tatapannya mengarah pada lautan lepas dihadapannya. "Saya enggak nyangka akhirnya keinginan saya terkabul, untuk ketemu sama Nona sekali lagi."
Luna mengikuti arah pandangan laki-laki itu, "kenapa kamu membayangkan tempat ini?"
"Sejak saya melihat tubuh Nona dibawa oleh tim penyelamat dalam keadaan enggak bernyawa, tempat ini selalu membayangi pikiran saya bahkan ketika sedang tidur."
Luna mendeham karena mengerti kondisi yang diceritakan oleh Andreas, "jangan-jangan ini refleski dari rasa bersalahmu, ya?" tanyanya.
Andreas mengangguk sekali, "Sepertinya begitu. Saya merasa telah melakukan kesalahan besar karena gagal datang di waktu yang tepat. Waktu yang saya perlukan terlalu lama hingga bisa datang ke tempat ini dan enggak menyangka ketika saya melihat tubuh Nona sudah membiru dan tak bisa lagi diselamatkan."
Luna memilih duduk di atas pasir yang terasa dingin itu. Dengan posisi bersila, ia menutupi lututnya dengan bagian bawah dress putihnya. "Jangan merasa kayak gitu, kamu udah melakukan yang terbaik untuk menyelamatkanku. Aku yang terlalu gegabah dalam menghadapi dua penjahat itu."
Andreas menatap perempuan dibawahnya. Baru kali ini rasanya, ia melihat rambut lurus perempuan itu tergerai dengan bebas. Ia merasa kulitnya di malam hari juga terlihat semakin putih, dan bercahaya. "Soal rekaman itu, saya merasa Nona memiliki rencana sendiri sehingga menyimpannya tanpa mengatakan pada siapapun hingga akhirnya memilih mengirimkannya pada saya."
"Ndre, buat kali ini. . . kita ngomong secara informal aja, ya. . . kuping gua ngerasa terganggu dengan sebutan 'Nona' dan 'Saya'. Kata 'Aku' dan 'Kamu' juga biasanya cuma gua pakai buat Arga." Kata Luna. "Lagian, gua juga enggak suka cara lu ngomong yang seolah ada level diantara kita, padahal kenyataannya lu lebih tua dan berpengalaman."
"Nona enggak suka?" tanya Andreas.
Luna mengangguk, "Iya, sejak awal gua enggak pernah suka dengan kata sebutan 'Nona' tapi gua diemin aja, karena kayaknya lu ngerasa lebih nyaman dengan pakai kata-kata itu. Dalam keluarga pun, gua melarang Miki nyebut gua 'kakak' karena seumuran. Gua mau jadi saudara sekaligus sahabat yang selalu ada disamping mereka tanpa embel-embel julukan enggak penting kayak gitu."
"Kalau gitu . . . karena itu permintaan terakhir Nona, akan saya lakukan." jawab Andreas, "tapi . . . kalau boleh jujur, enggak masalah kalau Nona mau pakai bahasa informal tapi karena kenyataannya saya jauh lebih tua, bisa panggil saya Abang? Abang Andre?"
Luna terkekeh mendengar permintaan Andreas, "Abang? Kayaknya enggak cocok sama image-nya. . . Kak aja gimana?"
Andreas menggeleng, "lebih akrab pakai Abang."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lovely Sisters 2
Ficción GeneralPertemuan yang terjadi karena permintaan Paman Agung, membuat Karin, Luna, Reynata dan Miki harus menerima kenyataan kalau mereka adalah saudara dari satu Ayah yang sama. Hari demi hari mereka lalui dengan tenang dalam rumah yang diwariskan ole...